Mengurai Benang Emas
Muslim, ada dua hal yang unik darinya. Menjadikannya terasa lebih indah
dari biasa. Muslim. Uniknya ada dua perkara. Ketika ia dilimpahi nikmat dan
kesenangan, maka ia bersyukur. Ketika ia tertimpa musibah, maka ia bersabar.
Tiada berlebihan, tiada mengurang-ngurangkan. Hanya syukur dan sabar. Indahlah.
Tak ada mimik kesombongan ketika berlimpah nikmat. Tak ada raut kesedihan
ketika dirundung kekurangan.
Tentang syukur, ingatlah firman Allah yang ini:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzabku sangat
berat.” (QS. Ibrahim: 7)
Bukan ultimatum, tapi hanya peringatan. Dia dengan terang menjanjikan
penambahan nikmat jikalau kita bersyukur. Tapi indahnya dan begitu santunnya
ayat-ayat Allah adalah disini tidak dikatakan kalau mengingkari nikmat akan
dicemplungkan ke dalam adzab dan neraka. Hanya cukup disini diberitahu bahwa
selain nikmat, Allah juga memiliki adzab yang pedih. Kalaulah logika kita
jalan, pasti kita mampu menyimpulkan pengingkaran nikmat berkonsekuensi adzab
didapat.
Syukur. Alhamdulillah. Sebagaimana iman, ia di hati , tenang bersemayam. Ia
di lidah, tulus terikrar. Ia di badan, ikhlas menyatu dalam perbuatan. Maka
syukur pun begitu.
Muslim. Tentang nabi. Tentang beliau teladan mulia. Manusia terbaik yang
pernah ada. Kalau kita menganggap sedikit cerita tentang beliau, itu kitanya
saja yang jarang membaca, jarang mendengar. Banyak sekali bahkan melimpah
cerita-cerita tentang belian, dulu dan kini. Oleh orang-orang yang sudah tiada
dan masih ada. Belian milik kita, seharusnya kita menjadikan risalah beliau
sebagai hak kita.
Kita bicara tentang orang-orang terbaik. Kita bicara tentang kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan peradaban. Kita bicara tentang masa depan yang
menjadi harapan. Kita sholat berkiblat ke Ka’bah. Tapi peradaban kita berkiblat
ke barat. Kita lupa atau mungkin terlupakan tentang sejarah yang tak bisa
dihapus dari waktu. Tentang kegagahan dan kegigihan orang-orang dulu. Lupa atau
terlupakan.
Tentang Salman Al-Farisi sang penggagas strategi perang parit. Yang
mengilhami strategi Perang Dunia I, 1914-1919 M di Eropa. Tentang pemuda tampan
yang semerbak, bernama Mush’ab bin Umair. Tentang
Tentang Adurrahman bin Auf yang kaya
yang bersahaja. Sosok entrepreneur sejati. Percaya diri tinggi. Kemampuan
tinggi. Dan keimanan yang sangat kokoh. Sampai rela menginfakkan dagangannya
sebab dikabarkan ia dikabarkan akan cukup lama untuk masuk ke surga dikarenakan
kekayaannya. Anehnya, semakin ia habiskan hartanya yang melimpah itu di jalan
Allah, harta itu tak pernah surut, malah makin bertambah.
Tentang gigihnya para ulama, yang
membangun dasar-dasar ilmu pengetahuan. Dulu tak ada mobil dan motor. Perjalanan
lintas negara ditempuh demi ilmu. Dan anehnya, berbuku-buku mereka hafal. Kita?
Mungkin perjuangan dalam mencari ilmu sebanding dengan barakahnya.
Harusnya kita—Muslim lah yang paling
berhak tentang ke-paling-an, atau menyandang ‘ter’ untuk predikat-predikat
baik. Paling kaya, paling cerdas, paling disiplin, paling baik integritasnya,
paling semangat, paling baik etos kerjanya, paling gigih dan ulet usahanya,
paling sering mendekat kepada-Nya, paling brilian ide-idenya, paling bisa
diandalkan, paling kuat fisiknya, paling tajam pemikirannya, dan semua ‘paling’
penyangatan yang belum tersebut satu persatu. Itulah hak kita. Mengapa?
Lagi-lagi kita lupa atau mungkin terlupakan. Kita yang punya teladan terbaik. Harusnya
kita yang berhak. Kita punya Muhammad Rasulullah saw. Kita punya sahabat nabi
dan dua generasi setelahnya dengan kekhasan dan keunikan masing-masing. Sungguh
miris kalau kita tak mengenal mereka. Atau bahkan meragukan kapabilitas mereka
selaku generasi terbaik. Maka baca, dengar, dan lihatlah!
Hidup dan kehidupan memang terkadang
berat. Akan tetapi, ya inilah hidup. Penuh ketidakpastian kalau kata pengusaha.
Kadang kau di atas, kadang kau di bawah. Ada saat dimana harus berbahagia, ada
saat dimana sedih melanda. Maka ingatlah Allah apapun kondisinya. Syukur,
syukur indahnya selalu ada dalam bagian hidup seorang muslim, hingga yang
terkecil, meski dalam kesedihan. Sabar, adanya selalu menjadi penyejuk dalam
kesukaran. Bahwa kita punya Allah yang akan memudahkan. Tawakkal, ianya
menghalau resah gelisah merasuk dalam kalbu. Islam, bukan sekadar agama, tapi
jalan hidup. Teramat lengkap. Alhamdulillah terlahir sebagai muslim.
Just say, “I’m Moslem before
everything!”
0 komentar: