Teknik 10000 Suara
Saatnya mengklarifikasi dan menyampaikan yang sebenarnya. Kemarin malam yang membuat statement "Teknik Pemira Ulang dengan 10000 surat suara" adalah saya. Jumlah mahasiswa aktif yang menjadi pemilih di atas 10000. Tapi sangat sadar bahwa angka 10000 itu tidak realistis. Berdasarkan pengalaman, kurang lebih yang berpartisipasi kurang lebih seperempatnya, antara 3000 sampai 4000 mahasiswa (Ini yang terjadi di fakultas terbesar di Undip). Saya bukan siapa-siapa memang, dilantik saja belum. Tapi saya mahasiswa yang juga berhak bicara saat semua bicara tentang kepentingan dan egonya. Statement tersebut sengaja saya lontarkan agar menjadi opini publik, saya tak peduli apakah pro atau kontra. Tapi yang saya rasakan malam ini hal tersebut sudah menjadi bahasan publik, terutama di media sosial.Puncak dari statement tersebut adalah klarifikasi ini. Yang ingin saya sampaikan bukanlah Pemira Ulang Teknik dengan 10000 surat suara. Jelas ini statement lemah dari beberapa segi. Pertama, pemira di FT berjalan lancar tanpa kendala berarti. Kedua, realitas pemilih yang berpartisipasi relatif sama dari tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, berdasarkan regulasi yang ada, tidak ada alasan untuk diadakan pemira ulang.Semalam saya keluarkan statement tersebut saat Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III FISIP masih ada dalam ruangan. Saya masuk ke dalam sekretariat KPR dan menyampaikan beberapa hal.Jadi apa sebenarnya yang menjadi maksud dari statement saya itu?Ketika orang-orang sudah ramai dengan pro dan kontranya dengan statement "Teknik Pemira Ulang dengan 10000 Surat Suara", maka saya ingin semua mendengar klarifikasi inti ini dan menjadi agenda kita bersama.
Pertama, KPR bebas intervensi dan tekanan, yang saya dengar Ketua KPR disembunyikan dan dikejar-kejar. Saya tidak tahu bagaimana sebenarnya.
Kedua, peraturan yang ada benar-benar ditegakkan secara menyeluruh kepada pihak-pihak yang terkait.
Ketiga, semua pihak dan fakultas diperlakukan sama, tidak boleh ada yang diistimewakan atau didiskriminasi.
Keempat, Pemira FISIP harus dilaksanakan secara langsung, terbuka, jujur, dan adil. Jangan sampai ada pelanggaran yang terjadi semisal penggelembungan suara. Sebab itu hal ini harus menjadi pengawalan kita bersama.
Kelima, kemarin saya melihat sendiri surat suara dari TPS FEB dibakar. Dan disini saya menuntut supaya hak pilih mahasiswa FEB tetap tersampaikan. Alternatif yang saya tahu adalah adakan Pemira lagi di FEB seperti yang dilakukan di FISIP. Ini untuk menjamin semua hak mahasiswa dapat terakomodir. Tak banyak, hanya empat poin. Semoga bermanfaat. Dan harapan kita, Satu Tekad Undip Jaya!
Taufik Aulia Rahmat
Bung Adillah
Bung, jalan-jalanlah dulu… Jangan kau langsung pulang ke rumah Coba kau lihat dunia
Sebab kalau tidak, kau tak akan dapat apa-apa
Kau akan terlalu bangga dengan kebesaranmu, berikut istana dan makanannya
Lalu kau lupa tentang hakikat, dan matamu terbutakan
Kau menganggap abadi ambisi, lalu kau tak menganggap penting nurani
Akal sehat terlalu banyak kau gunakan untuk berprasangka
Lidah mungilmu terlalu banyak kau pakai untuk mencibir di halaman belakang rumah tetanggamu
Cobalah sini kau tengok sedikit,
Tak perlu kau melebih atau terlalu bangga dengan istana berikut mahkotamu
Tak melulu semuanya adalah timur, atau barat
Matamu memanglah dua, tapi kau bisa melihat banyak hal
Lidahmu memanglah satu, tapi kau bisa mengatakan banyak hal
Telingamu memang dua, tapi kau bisa mendengar banyak hal
Otakmu masih terlau bersih, sehingga kau amat bagus sebenarnya untuk mencerna
Jangan kau palingkan mukamu ke arah arang yang makin legam
Tapi tengoklah kesini
Duduk barang sesaat di sampingku
Biar kuajari kau bagaimana cara berdiri tegak yang tak terlalu busung dadanya
Biar kuajari kau bagaimana cara menatap mantap yang tak terlalu mendangak dagunya
Biar kuajari kau bagaimana cara tidak mubazir dalam ceritamu
Bung, kendalikan perahu layarmu… Jangan sesumbar membentang layar, kerana layar kadang tak baik jika terlalu lebar dibentang
Adillah, Bung!
Surat dari Ayah untuk Pemenang
Penentu kemenangan bukan disini (sambil nunjuk otot) Atau pun disini (sambil nunjuk otak) Tapi disana (sambil nunjuk langit)
Disana di atas langit
Oleh Dia yang bersemayam agung di atas arsy-Nya
Tiap lomba lari mustahil taka da pelari yang ingin tertinggal
Mustahil ada pelari yang ingin kalah, mustahil
Tak mungkin ada yang membenci kemenangan
Kemenangan, ini yang dicari
Lebih dari itu, muaranya adalah kemuliaan
Di hadapan Yang Maha Mulia
Pesan ayah di rumah:
Ingat Nak, kau kudidik untuk jadi seorang pemenang! Bukan pecundang
Menangnya seorang pemenang, ia tak akan meninggi, justru semakin merunduk
Kau lihat kakinya, masih menyentuh tanah, tapi namanya sudah sampai langit
Menang dengan kesahajaan
Kau boleh kalah
Kalau pun kalah, kalahlah dengan cara pemenang
Kalah yang bermartabat
Lebih dari itu, ayah percaya kau adalah pemenang…
Yang akan melesat, melewati roket-roket yang ditembakkan di sana
Kau adalah pemenang sejati di hati ayah, saat semua orang berlomba menjadi pemenang dengan cara pecundang
Kau pemenang, saat kau mampu” mengambil hati” yang membolak-balikkan hati
Kau bisa berlari sampai berdarah-darah, dan biarkan pasir menjadi saksi bisu
Kau adalah pemenang, dengan kesantunan, kesahajaan, dan keikhlasan
Banggakan ayahmu, Nak!
NonSense
Hujan yang merintik kecil kemudian deras
Hanyalah tanda bahwa hidup itu terus
Dari air, semua hidup, semua mengalir
Hanyalah tanda bahwa rahmat selalu berlimpah
Kecil-kecil, tapi banyak
Hujan makin menderas
Diselingi kumandang adzan yang sayup-sayup terdengar
Hujan sedikit mengalah perlahan
Dan kecil
Ini interaksi alam yang saling sinergi
Aku hanya lelaki kumuh yang mencoba menggenggam hujan
Bersahabat dengan rintik-rintik yang permai
Kompromi dengan kilat yang menyambar
Selasa siang ketika hujan mengadu
Menyapa Aurora
Memandangi aurora yang anggun berkata pada malam
Di malam sejuta bintang tersenyum pada semesta
Di malam ketika cahaya rembulan datang temui pungguk
Aurora menampakkan kibaran anggunnya
Buatku tertegun tanpa gumaman, dalam.
Aku tegak sendiri di tengah rerumputan yang ramah bergoyang
Mencari tempat paling tinggi ‘tuk menggapai auroraku, meski hanya ujungnya
Aku hanya bisa tersipu oleh parasnya
Aku hanya terbata menjawab sapanya
Aku hanya bisa menunduk dari tatapannya yang dalam
Aku hanya bisa diam memandangi sikapnya
Aku hanya bisa menggores tinta di atas kertas dan tengadah tangan untuk menjaganya
Aurora membuatku tak kuasa
tak mampu bergerak, tak berkutik aku
Seperti aku tersihir pesonanya
Dan berlutut
Kan kucari temali yang menggantung ke pangkal langit
Kan ku tapaki ribuan anak tangga
Kan kudaki puncak gunung tertinggi
Kan ku bersamai kepakan sayap burung
Hingga jelas hadirnya auroraku
Dengan halus kubuka lembaran buku harianku
Di dalam aurora menghiasi
Aurora yang selalu tinggi, elegan dalam anggunnya, santai dalam lakunya
Disini tinggal aku di daratan, yang memandangi, dan mendaki
Karena Kita Laskar #Kunang2
Al-Qur'an, Manual Book Kehidupan
Untuk mengabadikan mentoring-mentoring kita, terobosan baru nih. Untuk dituliskan dan dibagi. Simak ya!
Kalau ada yang berminat melihat versi Chirpstorynya bisa dilihat
disini.
Kalau ada yang mau liat versi notes Facebooknya bisa dilihat
disini.
Semoga bermanfaat, Guys.
LKMM Madya di Tengah Sorotan
Pengembangan sumber
daya manusia dalam dunia kampus khususnya mahasiswa sangat penting untuk
diberikan perhatian lebih dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kita semua
sepakat dalam sesuatu yang setia kita sebut kampus ini terdapat ribuan bahkan
ratusan ribu manusia dengan beragam bidang keahlian serta potensi yang bisa
dikembangkan. Untuk membentuk manusia Indonesia yang sempurna tidak cukup hanya
dengan proses akademik saja. Harus melihat dan mengembangkan segala potensi
yang ada.
“Berikan aku 1000
orang tua, maka akan kucabut Semeru dari akarnya. Tapi berikan aku 10 pemuda,
maka akan kuguncang dunia.” –Ir. Soekarno
Seperti itulah ilustrasi yang sangat tepat untuk menggambarkan amat
besarnya potensi yang terdapat pada diri pemuda khususnya mahasiswa. Sangat disayangkan
jika potensi ini terabaikan atau bahkan tak tersentuh. Maka, gagasan yang
dibawa tulisan ini adalah perlunya pola pengembangan sumber daya mahasiswa yang
efektif serta dinamis untuk memenuhi tuntutan zamannya.
Menyoroti pola
pengembangan sumber daya mahasiswa di Universitas Diponegoro, apa yang sudah
diterapkan sangat perlu diapresiasi. Sudah cukup baik konsepnya. Sudah banyak
event berupa seminar, training, workshop, dan forum dengan berbagai tema yang
beragam seperti leadership, manajemen organisasi, riset dan teknologi, dan
entrepreneurship. Event-event ini selelu ada tiap tahunnya. Semakin kesini
kesadaran akan pengembangan SDM semakin meningkat.
Dan bicara tentang
alur kaderisasi baku, ini pun sudah disepakati dan diterapkan. Penerimaan Mahasiswa
Baru (PMB), LKMM Pra Dasar, Leadership Training, LKMM Dasar, dan LKMM Madya.
Masing-masing jenjang diperuntukka untuk mahasiswa tingkat tertentu, dari PMB
untuk mahasiswa baru hingga LKMM Madya untuk mahasiswa tahun ketiga. Tiap jenjang
ini ada adalah untuk mempersiapkan mahasiswa yang telah diseleksi untuk naik
dan memimpin di jenjang berikutnya. Kita semua tahu bahwa pemimpin itu tak
lahir sekonyong-konyong, tapi ia dipersiapkan, agar tak putus rantai perjuangan
yang telah dibangun.
Secara keseluruhan
semua jenjang sudah terlaksana dengan cukup baik. Tapi tulisan ini hendak
sedikit saja memberi masukan dan kritik halus tentang pelaksanaan LKMM Madya
yang sedang berlangsung saat tulisan ini dibuat. *karena taka da laptop dan
modem, maka belum dipublish kemarin*. Taka da maksud lain kecuali hanya ingin
kebaikan dan pengembangan yang dinamis untuk LKMM Madya berikutnya.
Hotel di tengah
semilirnya angin Bandungan dengan fasilitas spring bed yang empuk, televisi,
dan air panas, hall yang cukup luas, coffee break tiga kali sehari, makan tiga
kali sehari; dan ini semua adalah fasilitas yang didapat oleh peserta. Tentu ini
sangat baik dan perlu dipertahankan sebab ini memberikan kenyamanan dan
menyokong peserta mengikuti dan menyerap semua materi yang disampaikan dalam
LKMM Madya 2012 ini.
Namun di sisi lain
ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki ke depannya. Pertama,
penyelenggaraan LKMM Madya dan sosialisasi serta seleksinya sangat mendadak
sehingga kesannya penyelenggara dalam hal ini rektorat terkesan terburu-buru
atau mengejar sesuatu. Ini yang terjadi pada tiap fakultas, sosialisasi, pendaftaran,
seleksi, dan pelaksanaan LKMM Madya 2012 selesai hanya dalam satu pecan, lebih
tepatnya enam hari. Poin pertama ini terlepas dari persiapan acara, pemandu,
dan lain sebagainya.
Kedua, management
event dari penyelenggara terkesan kurang professional. Pasalnya banyak hal yang
menguatkan argument kedua ini. Tampak dari timing yang mundur dari rundown
acara, pembagian tugas serta perlengkapan acara yang kurang siap dan detil—peserta
bisa mengamati. Padahal inti dari LKMM Madya ini adalah ‘keterampilan manajemen’.
Ironis rasanya, kita mengajari manajemen, tapi ada yg kurang siap dari
manajemen kita. Banyak komentar yang muncul dari para peserta bahwa management
event dari event-event yang mereka gawangi seperti LKMM PD, LT, hingga LKMM
Dasar, masih lebih baik dari yang sekarang, meskipun dengan dana minim. Saya sepakat
dengan ini. Hal ini sangat perlu menjadi perhatian semua pihak untuk segera
diperbaiki mengingat nama acara ini adalah ‘…keterampilan manajemen….’.
Ketiga, dan ini yang
paling penting, yakni konten materi. Secara general, materi yang disajikan
mencakup pengembangan wawasan dan pengembangan sikap dan keterampilan. Dalam
pengamatan penulis, dari 13 sesi materi dan diskusi hanya tiga sesi yang membahas
karakter dan integritas bangsa. Selebihnya adalah mengenai manajemen
organisasi.
Tentang poin ketiga
ini harus benar-benar mendapat perhatian dari banyak pihak. Pasalnya ini sudah
turun temurun, bahkan slide presentasi yang sekarang pun sama denga tahun
kemarin—komentar peserta LKMM Madya 2011 saat mendengar bahwa ada gambar tidak
senonoh di slide. Permasalahan intinya bukan pada slide. Tapi lebih kepada konten
dan apa yang disampaikan.
Dalam ekspektasi
peserta, pada level LKMM Madya ini peserta akan diajak lebih banyak untuk
berpikir tentang peran mereka dan organisasinya dalam membangun Indonesia,
berdiskusi tentang beragam pemikiran dan masalah. Tak sekadar membahas manajemen
organisasi. Mayoritas peserta adalah tahun ketiga, sangat penting rasanya untuk
segera diajak secara aktif memikirkan masalah bangsanya. Sudah saatnya pada
tingkatan kaderisasi madya ini para mahasiswa memikirkan perannya untuk
bangsanya.
Hal ini bukan
berarti bahwa konten manajemen organisasi tidak penting, dan bukan juga bahwa
peserta sudah expert dalam hal manajemen organisasi. Tapi perkembangan zaman
telah memberi ruang lebih kepada peserta untuk dapat belajar banyak tentang
manajemen organisasi dalam waktu dua tahun yang sudah dilalui dengan beragam momen
dan event yang ada. Seperti pembuka tulisan ini, bahwa hari ini sudah banyak
event yang memberi semangat dan pemahaman tentang banyak hal, mulai dari
organisasi dan leadership hingga entrepreneurship.
Maka sangat bijak
jika kita memahami realitas zaman hari ini. Zaman memiliki tuntutan lain dan
lebih. Dan lebih bijak lagi jika kita melakukan ekspansi pada konten materi
LKMM Madya di tahun berikutnya.
Pernah pada satu
sesi ada seorang peserta yang mencoba menyampaikan pendapatnya tentang konten
materi yang sangat fokus pada manajemen organisasi. Tanggapannya adalah ‘kita
beda perspektif’. Atau malah dijawab bahwa kurikulum standar dari dikti ya
seperti ini—seperti pada buku biru yang dibagikan satu per satu itu.
Nah, dalam
pandangan penulis justru disinilah titik kritisnya. Kita terjebak dalam kotak. Kita
sangat saklek terhadap aturan dan kurikulum. Tuntutannya adalah agar kita
berpikir bukan lagi di luar kotak, tapi tanpa kotak. Kita bisa berpikir dan
memutuskan sesuatu sesuai kebutuhan. Katakanlah lebih fleksibel. Permasalahannya
LKMM Madya ini bukan untuk memenuhi laporan pertanggungjawaban saja, tapi
memenuhi kebutuhan zaman. Konten materi penulis rasa masih bisa diperluas.
Berdasar pada
statement Ir. Soekarno di atas, dengan apakah beliau akan mengguncang dunia? Dengan
pemuda yang lihai dalam skill manajerial organisasi dan analisis SWOTnya? Jelas
tidak, tapi sebelum itu adalah pemuda yang kenal siapa dirinya, perannya, dan
bangsanya.
***
Sebagai penutup,
tulisan ini tidak ditujukan kepada
personal. Tulisan ini hanyalah reaksi atas nama kepedulian. Tulisan ini
sangat menghargai semua pihak penyelenggara terutama bagian minarik yang sangat
baik dalam penyelenggaraan. Tulisan ini hanya ingin sedikit saja menyentuh hati
dan pikiran pengambil kebijakan.
Sampah-sampah, jangan dibuang!
Keren! Orang-orang heboh soal film ini udah
berbulan-bulan yang lewat. Iya, nama filmnya Omar. Dan saya baru
sekarang kebagian hebohnya. Karena saya baru nonton dengan penuh pneghayatan. Liatin
gambarnya sampai khusyuk bacain subtitlenya.
Dan dialah Umar bin Khaththab ra Sang Pejuang sejati. Awalnya
ia seperti menolak kehadiran risalah yang dibawa Rasulullah. Tapi ternyata
bukan. Dia hanya kokoh pikiran dan akalnya. Dia tampak sangat elegan dan
independen sekali dalam tiap tindakan dan keputusan pribadinya ketika
berdiskusi dengan Abu Jahl dan kroni-kroninya. Dia berpikir bebas dan lepas. Dengan
sudut pandang yang adil dan objektif, terbebas dari kepentingan pribadi atau
golongan. Dia kokoh memegang prinsip-prinsip yang menurut dia benar. Tidak asal
ikut kemana arah angina bertiup. Inilah integritas. Dan nyatalah ternyata sosok
Umar ini benar-benar sangat tinggi dan kuat integritasnya. Ketika kalam-kalam
Rabb-nya terbaca olehnya (QS. Thaaha), baginya yang hitam tetap hitam, yang
putih tetap putih. Bukti integritas dan independensinya adalah ia mampu memilih
dengan bebas untuk segera bersaksi dan berkomitmen kepada Allah dan Muhammad
saw. Tanpa berpikir panjang tentang klan (suku) beliau, tentang omongan orang,
dan lainnya.
Bener-bener top markotop ini film *meski rada susah
juga bacain subtitlenya mulu*. Banyak prinsip yang bisa dijadikan hikmah. Ah,
terlalu panjang ini intronya. Sebenarnya saya bukan mau bahas film ini atau
sosok Umar bin Khaththab ra yang luar biasa hebat. Di tulisan ini saya Cuma mau
nyampah, cuma mau sepik-sepik doang, Cuma mau talk doang *tapi talking and
writing itu juga action lho*. Yap, sampah yang kamu baca ini cocok untuk dibaca
semua kalangan; anak-anak, dewasa; semua agama; dan semua ras. *Opo tho Le Le*.
Disini sampahnya adalah tentang diri kita, lebih focus lagi tentang integritas,
indepedensi sebagai pribadi dan manusia. Dan sampah ini bakalan nyepik lebih
dalam lagi tentang sosok pemimpin kita hari ini. *Monggo mau didefinisiin diri
sendiri, kepala keluarga, ketua RT, ato Pak Presiden (temennya Pak Bud)*
Saya punya KBBI elektronik *agaknya ini ga cukup untuk
masuk landasan teori*, tapi bolehlah saya tengok sedikit apa sih yang KBBI
elektronik ini bilang tentang integritas. Integritas itu mutu, sifat, atau
keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Yah, kira-kira begitulah. Sederhananya integritas itu
adalah kesetiaan pada apa yang benar. Itu saja. Mungkin dimensi kebenaran buat
kita itu yang susah untuk medefinisikannya. Tapi cukuplah akal dan hati manusia
yang bermain disini. Tak usah banyak berdebat tentang dimana itu kebenaran. Karena
yang benar itu Cuma satu, ya yang kau yakini benar itulah *dengan jujur tapi
ya, ga pake ikut-ikutan orang lain atau terpengaruh sentiment antar kelompok*.
Integritas itu kau jujur pada nurani. Integritas itu
kau utuh sebagai pribadi dan manusia, tak perlu dikurangi atau ditambahi orang
lain. Integritas itu kau independen, merdeka dan bebas dengan pilihan-pilihan
kebenaranmu. Integritas itu lurus antara perkataan dan perbuatan. Integritas itu
satu, kesatuan antara raga, jiwa, pikiran, dan imanmu. *hahaha abstrak n normatif
sekali*
Tak banyak saya menyampahi itegritas. Sekarang sampah
berikutnya adalah pertanyaan tentang kemana integritas kita?
Dan tentang independensi, kalau yang dimaksud adalah
kemerdekaan atau kebebasan dengan integritasnya jelas sangat sepakat. Sangat
kasihan orang-orang yang integritasnya tak utuh lagi terjajah *yuk evaluasi
diri masing-masing*. Merdeka, Bung!
Ah, saya bukan mahasiswa cerdas. Saya tak pandai
menulis, apalagi retorika. *Huuweeeekkk, muntah*. Saya berikut tulisan ini
hanyalah sampah, sampah yang merealita di tengah kita. Dan sekarang adalah
gilirannya sampah ini bercerita tentang kejengahannya tadi siang.
“Bro, motormu
mau kau pakai tak?”
“Iya, ini mau
ke bawah.”
*aaaahhhh…
pelit kali kau!*
“Nah ada Eko,
pinjam motormu dong, Ko. Mau ngumpulin berkas ini ke PKM plus minta KHS. Boleh,
ya?”
“Iya, nih pake
aja.”
*alamaaakk
baik kali*
Bingung? Ya,
bukan ini yang mau saya ceritakan. *hahaha benar-benar sampah, kan?*
Kemarin saya yang jualas susu pasteurisasi ini dibuat bingung kala melihat
pangkalan susu tempat biasa saya restock dipenuhi laki-laki tegap badan berisi
dengan pakaian hijau loreng-loreng. TNI, Cuy! OMG! Apa susu yang saya jual ini
beracun atau mengandung senjata kimia yang menularkan virus mematikan? *Nyampah
lagi*
Rupanya Senin kemarin ada gladi bersih pengamanan Pak
Boed *ini Wakil Presiden kita lho, bukan yang jual angkringan depan mushola*.
Dan hari ini, Selasa, Pak Boed tepat datang dan lewat ketika saya sudah
terpaksa nyasar sampai hamper di Sumurboto. Padahal saya mau ke kampus. Yang ada
saya malah disuruh Pak Pol “lurus aja mas, lewat sana”. Ya saya percaya. Saya
lurus. Tapi kok ga ada jalan yang bisa untuk masuk kampus? Semua ditutup dengan
barisan-barisan tentara kita. Tak dinyana Pak Boed lewat di depan saya. Dan saya
baru paham kenapa semua ditutup. Setelah itu dibuka lagi.
Tapi secara spontan dan sangat subjektif saya ingin
nyampah sekali lagi. Ini kok Pak Wapres kita malah mengacaukan lalu lintas? Ratusan
manusia tadi siang berjibaku dan berjubel di jalanan tanpa arah sambil
berdesak-desakan. Wah, bukannya kasih solusi kemacetan, malah nambah masalah.
*Wuuh sampah banget paragraph ini*.
Idih, pengamanannya lebay banget, saya baru bisa ambil
stok susu jam sebelas kurang gara-gara pengamanan yang kayak begini. Lah, malah
menghambat rezeki. *hahaha rezeki itu diatur Allah Le*. Alhamdulillahnya habis
semua kok. *tepuk tangan, sujud syukur*. Pak Boed banyak musuh apa ya? Takut
teroris? Yah, berlebihan! *Subjektif dan spontan? Emang!*
Tapi tak apa juga sih, upaya preventif kok. Secara
beliau orang besar. Oh iya, tadi katanya adik-adik SD menyambut kedatangan Pak
Wapres di pinggir jalan. Seneng banget kalo jadi adik-adik ini ya. Tapi di
posisi saya sekarang, itu miris. Kenapa Pak Wapres tidak turun untuk sekadar
memberi do’a pada adik kita. Simple sih, tapi imposible buat beliau. *kan kita
butuh pemimpin yang simpatik dan membumi tho?*
Eh yang buat saya kaget ada sebaris brimob di depan
polines seperti sedang sholat berjamaah. Shaf rapat. Pundak rapat. Kaki rapat.
Gila! Barisannya rapet banget! Oh rupanya di tengah-tengah itu ada sejumlah
mahasiswa yang ingin ‘menyambut’ Pak Wapres dengan tumpeng dan orasinya. Saya jadi
geli kalau denger kata ‘sejumlah’, ini kesannya banyak, tapi sebenernya relative
sedikit. Ah, sayang sekali saya pagi tadi tak jadi bagian orang-orang dengan
megaphone udangnya yang menganga ke udara itu. Tapi saya boleh geli sekali lagi
ya, gerakan kita masih kurang massif, masih sebatas sang penyelengara.
Pencerdasan massa serta follow up yang kurang. Aksi masih sebatas konsolidasi h-1,
besok demonstrasi, masuk media, dan sudah. *Ya emang gitu. Iya, gitu realitanya*.
Tapi saya tak pesimis, saya optimis. Diponegoro sedang tumbuh, dan akan jadi
besar.
Tapi herannya saya, di negara demokrasi *sori kalau salah*
ini bukannya boleh ya demonstrasi? Tapi kenapa sejumlah sedikit mahasiswa ini
diperlakukan dengan kasar ya? Padahal hanya ingin menyapa dengan caranya. Tak ada
peluru yang meyasar kok. Tak ada botol kaca yang terlempar kok. Tak ada kayu
yang menghantam kok. Atau karena kata-kata mereka yang membuat pasukan pengaman
takut Pak Boed tersinggung, sakit hati, sedih, atau galau? *sempit sekali
prediksi saya* Tapi Pak Boed pastilah lebih cerdas dan mengerti tentang tabiat
serta ‘labil’nya anak-anak muda ini. Polosnya=mereka ini peduli, punya
aspirasi, kritik, ingin didengar, cape dengan birokrasi yang berbelit serta
suara yang tak terwakili di kursi perwakilan rakyat.
(Berjalan
dengan gaya yang sengaja pongah dan dada membusung serta kepala sedikit
mendangak ke atas tepat di depan para lelaki pengaman)
“Hey Dek,
kalau jalan yang sopan sedikit dong!”
“Oh, bapak masih ngerti yang namanya sopan? Masih ngerti yang namanya santun?
Atau bapak hanya sopan dan santun pada orang yang memerintah bapak untuk
memberi pengamanan kualitas bintang 5? Sementara anak muda ‘ini’ hanyalah seonggok
sampah yang bisa kau bawa dengan serokan dan kau lempar ke dalam tong?”
Teruuss? Mana
korelasinya dengan integritas? *hahaha terserah saya yang nulis, kan nyampah*
Saya ga ragu lagi, peran-peran mahasiswa yang berupa
teori itu sekarang ibarat sampah bagi temen-temen. Udah sering denger, udah
tau. Udah hapal di luar kepala. Udah bolehlah kalau teori-teori itu mau
dibuang, yang penting sekarang action-nya. Sebel juga sih kalo liat anak-anak
muda adu argumen, adu kepentingan, atau malah terjebak dalam primordialismenya
(baca: aku yang hebat, aku yang pinter, aku yang benar), atau malah saling
tuding menyalahkan. Kita punya idealisme *bukan idealisme sampah*. Dan mana
integritasnya? Kok ga sehat? Mana budaya diskusi yang baik dan santun? Mana integritasnya?
Kok gak elegan? Mana ke-Indonesia-annya? Mana ke-bhineka-tunggal-ika-annya?
Udah selesai tuding-tudingan dan lalala-nya, terus
statement yang keluar: biarlah anjing menggonggong, kafila berlalu.
Hah, bener-bener sampah kan isi tulisan ini. Dan akhirnya
pun saya lega, sampah ini bisa keluar dari kepala saya lewat tulisan yang
sepik-sepiknya nyampah.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat
orang-orang yang bukan sampah untuk ga nyampah. Kalau ada sampah, mbok yo
disampu bareng-bareng. Bukan malah nambah kasih sampah. Mana yang solutif itu?
Kan kita cerdas. Kan kita Indonesia.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat orang-orang
yang bukan anjing menggonggong untuk menunjukkan bahwa kita masih benar-benar
sebagai manusia utuh dengan integritasnya. Masih manusia, bukan anjing kok.
Selamat menikmati sampah-sampah.
Permulaan
pagi, 17 Oktober 2012
Ini Wisudaku, wisudamu?
Pagi yang berbeda. Buatku ini sangat cerah.
Matahari seperti sedikit lebih cepat memanjat langit. Di luar sana kicau burung-burung
kecil bersaut-sautan, seperti suara Kutilang yang hampir tiap pagi berkicau
tiap pagi di kampung. Kupandangi halaman depan kos, rumput-rumput mulai lebat menghijau
bak permadani hijau. Akhirnya kemarau panjang sudah berakhir, dan rumput-rumput
kecil ini bisa kembali tersenyum padaku lewat butiran-butiran embun kecil di
atasnya yang membiaskan cahaya matahari ke mataku. Cantik. Secantik hari ini
serta orang yang paling bahagia dengan datangnya hari ini.
Terdengar suara krasak-krusuk dari dalam.
“Bang, lu ada kalkulator? Aku pinjam dulu… Duh, udah
telat nih.”
“Ambil saja di laci kedua. Disana ada bungkusan warna
abu-abu, disitu. Santai aja, jangan buru-buru.” Jawabku.
“Makasih, Bang. Gue berangkat dulu. Sukses ya buat
wisudanya! Assalammu’alaykum.”
“Yo. Ojo lali ntar dateng ya. Wa’alaykumsalam!”
Tak lama terdengar suara motor yang segera tancap gas.
Handphoneku bordering.
“Pik, kok lama betul? Mamak sama Bapak udah siap nih.”
“Iya, Mak. Sebentar lagi Opik kesana. Lagi manasin
mobil.”
Ayah dan Ibuku sudah tak sabar untuk acara yang
dinanti.
Aku teringat sesuatu.
“Mas, ojo lali jemput dulur-dulurku di hotel ya. Jam 8
teng udah di kampus ya.”
“Njeh, Mas.”
Aku meminta supir mobil yang kusewa untuk menjemput
saudara-saudaraku yang jauh-jauh datang ke Semarang.
Hari ini benar-benar hari yang cerah untuk
jiwa yang cerah dan rezeki berlimpah. Seakan hari ini mengerti bahwa dia adalah
special, untukku, ayah ibuku, dan orang-orang yang kucintai, dan orang yang
kucintai. Aku sudah siap, toga kebanggaan juga sudah siap. Baru selangkah kaki
keluar, angin semilir mengalir lembut di wajahku. Mobil sudah siap. Segera aku
pergi menjemput ayah dan ibu yang baru sampai semalam dan menginap di hotel
yang sudah dari jauh hari kubooking.
Hari ini, 24 April 2014, Tembalang seperti
biasa, mulai ramai ketika jarum jam naik di angkat tujuh, mobil dan kendaraan
motor lain berlalu lalang. Bahkan aku harus bersabar dengan macet di Patung
Diponegoro—masih ingat kalau orang-orang selalu menyebutnya Patung Kuda. Tadi
tampak sangat ramai mobil-mobil luar kota memenuhi jalanan antara Masjid Kampus
dengan Gedung Prof. Sudharto, SH. Sepertinya mereka sama seperti ayah ibuku dan
saudara-saudaraku, datang dari jauh untuk melihat anaknya wisuda.
Sampai di hotel, orang tua dan sanak
saudara sudah stand by menunggu di lobi. Kusalami tangan ayah dan ibu, segera
memeluk hangat. Tanpa menunggu lama, segera kami menuju Tembalang. Mata
berbinar dan senyuman berseri di wajah mereka memberiku isyarat tentang
kepuasan dan kebanggaan mereka padaku. Guratan-guratan di wajah mereka yang
dimakan waktu seperi bicara padaku tentang perjuangan mereka yang harus bangun
pukul tiga pagi untuk menyiapkan nasi uduk dan lontong sayur yang akan dijual
pagi-pagi pukul 06.00 dan tentang perjuangan mereka yang harus pergi ke Jambi,
Palembang, Jakarta, dan pulang dua bulan sekali untuk mencari jalan untuk terus
menghidupiku. Aku ingat sekali masa-masa itu. Dan kedua orang tuaku inilah yang
memberiku arti dan mengerti tentang hakikat hidup: kau adalah hamba yang harus
mendekat sepenuhnya kepada penciptamu, tak peduli kau miskin atau kaya, surga
tak pernah dinilai dengan uangmu, tapi kau harus bersyukur dalam hidupmu baik
susah atau senang, sejatinya setiap yang terjadi dalam hidup patut disyukuri,
karena sesuatu yang mengharuskanmu bersabar pun adalah juga nikmat yang perlu
disyukuri sebab ia membuatmu menjadi sabar dan lebih dekat pada Allah yang
menghidupkan dan mematikan. Mereka juga mengajariku survive dan bertahan dalam
hidup ini dengan cara yang lurus untuk kemudian meraih prestasi
setinggi-tingginya.
***
Gerbang III Undip lebih ramai dari
biasanya. Satpam-satpam berdiri gagah mengatur lalu lintas. Jalanan dipenuhi
hiruk-pikuk mahasiswa yang saling berpacu dengan kendaraannya. Gedung-gedung Undip
tampak begitu megah. Lebih tepatnya indah. Tak hanya itu, mobil-mobil luar kota
yang tadi kutemui di depan Masjid Kampus telah rapi berjejer parkir di tepian
jalan depan Gedung Sukowati. Aku sedikit bingung harus parkir dimana.
Subhanallah aku lagi-lagi sangat gembira.
Kulihat ayah dan ibuku senyum sumringah melihat suasana yang amat ramai,
apalagi akan melihatku di wisuda. Tepat seperti yang beberapa tahun lalu
kubayangkan, orang tua dan saudaraku memakai seragam batik terbaik yang sudah
kupesan di pabrik terbaik Pekalongan.
Ayahku sudah pernah berkunjung kesini,
ketika aku pertama masuk kuliah. Tapi untuk Ibu dan sanak-saudaraku ini adalah
kali pertamanya.
“Bang Opik, beda banget ya sama SMAnya Abang di
Lampung.” Celoteh keponakanku.
“Haha iya…”
Sepanjang jalan tadi dari Gerbang I sampai
disni mereka tampah kagum melihat bangunan dan tata ruang di Universitas
Diponegoro. Jujur aku pun begitu. Dulu ketika tahun 2010 saat awal kutiba di
Undip, masjid kampus yang megah itu baru saja selesai pembangunannya. Dan
sekarang sudah tiga kali renovasi. Gedung Dekanat Fakultas Teknik yang dulu
sempat mangkrak lebih dari setahun sekarang sudah berdiri gagah di dekat Widya
Puraya. Jurusanku, Sistem Komputer sekarang sudah memiliki gedung sendiri,
gedung megah berlantai tujuh. Pemandangan yang sangat hijau selalu tertangkap
mata kemanapun memandang. Tak hanya pembangunan fisiknya, tapi riset dan
prestasi dari civitas akademika semakin menanjak. Dan hari ini Undip telah
berubah, semua sudah saling sinergi. Tak ada lagi kecurigaan, sebab rektorat
dan dekanat memberikan transparasi yang memuaskan. Tak ada lagi protes-protes
keras dari mahasiswa, seperi masalah UKT dan Diploma Teknik Undip yang dulu
sempat menjadi masalah, sebab pelayanan dari rektorat dan dekanat sudah sangat
baik. Mahasiswanya pun semakin dewasa dan cerdas, lebih mengedepankan
intelektualitas, profesionalisme, dan persamaan dari pada perbedaan organisasi,
ideology, dan pemikiran. Kepentingan mereka disini Cuma satu, “Undip Jaya untuk
Indonesia Jaya!” Aku akhirnya bisa meninggalkan kampus ini dengan tenang
setelah perjuangan yang cukup panjang dengan teman-temanku di jurusan,
fakultas, dan universitas.
“Mak, Pak, nanti Mamak sama Bapak duduk di depan sana
ya Mak, Pak. Sudah Opik pesankan ke panitia untuk menyediakan dua kursi kosong
di depan.”
***
Kejutan bagi orang tua dan keluargaku,
namaku dipanggil untuk menyampaikan pidato wisudawan terbaik. Aku pun segera
menuju podium dengan langkah sigap. Aku berpidato seperti dulu aku sering orasi
di jalanan. Kadang aku berapi-api, kadang aku menurunkan intonasi. Aku sempat
menitikkan air mata, sedikit, ketika kumengucap terimakasih untuk ayah dan ibu,
kumelihat hal yang sama terjadi pada mata mereka berdua, titik air mata itu
lebih deras. Bukan air mata kesedihan, tapi wujud kebahagiaan, kepuasan dan
kebanggaan. Seperti rasanya perjuangan mereka selama ini telah terbayar. Namun
sesungguhnya aku menyadari, ini belum seberapa dibanding perjuangan mereka, dan
tak akan pernah lunas aku membayar semua itu meski dengan segenap jiwa, raga,
dan harta. Itulah yang menguatkanku di saat kulemah untuk kemudian berdiri,
kembali berlari, dan berkerja-berkarya.
“Mak, Pak, sekarang semuanya terbukti. Keajaiban yang
selalu Mamak dan Bapak ceritakan ke Opik itu benar-benar ada. Hari ini kita
semua menyaksikannya. Opik mohon maaf dulu terlalu sering mengeluh, Mak, Pak.
Yang luar biasa Mamak dan Bapak selalu saja mampu tersenyum dengan ringan, lalu
membangkitkan kembali semangat dan keyakinan Opik.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu kita semua
bersepakat supaya Opik kuliah di kedokteran? Tapi kenyataan kala itu tak
sepakat. Kita semua harus menerima hal yang mungkin untuk kita sulit. Dan opik
tahu, ini lebih sulit lagi buat Mamak dan Bapak. Opik sayang sekali sama Mamak
dan Bapak. Cuma Mamak dan Bapak yang menguatkan Opik untuk tetap optimis apapun
kondisinya. Yang kita yakini kala itu adalah Allah punya rencana yang sangat
indah. Kejutan dari surga.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu orang-orang seperti
ragu dengan tanyanya: “Hah, si Topik bisa kuliah?” Dan Allah selalu menjadi
penolong dan pengobat lelah dan sakit yang terasa. Kini kejutan surga telah
membungkam semua keraguan orang-orang yang meremehkan itu. Terimakasih Mak Pak,
sudah mengenalkan Opik pada pemilik kekayaan dan kekuatan sesungguhnya. Dia-lah
yang selama ini mendengar do’a-do’a Opik, do’a-do’a Mamak dan Bapak kala malam
akan berakhir.
Mak, Pak, terimakasih sudah memberi Opik semuanya.
Bukan harta yang paling penting, tapi pengajaran, tentang Tuhan dan hidup.
Mamak dan Bapak adalah malaikat yang Allah turunkan ke dunia untuk Opik. …”
Hadirin memberikan standing applause saat
kusampaikan cerita perjuanganku dan orang tuaku. Dan terulang kembali saat
kuturun podium.
Semua prosesi wisuda telah selesai. Luar
biasa! Ayah dan ibu memelukku erat. Sangat hangat. Di luar menjadi surprise
buatku, kawan dan adik-adik dari jurusan, HIMASKOM, BEM, KAMMI, U-Win
Indonesia, semua menyambutku memberi selamat. Mereka berjejer rapi dengan MMT
yang sepertinya sudah jauh-jauh hari dipesan. Dulu aku pernah mengalami ini,
tapi di posisi pemegang MMT. Subhanallah. Hari ini aku menjadi objeknya.
Moment ini tak kusiakan, kupeluk merka erat
satu per satu. Lalu berpose ria dalam sesi foto bareng seperti tak akan bertemu
lagi.
“Bang, traktiran ya.”
“Oh, iya. Hampir lupa. Nanti malam kalian datang ya. Kita
syukuran.”
Semua tampak gembira, tapi di sisi lain,
ada sedih yang menanti. Aku harus meninggalkan Semarang esok hari. Perusahaanku
(OneLine Technology Group, Perusahaan semikonduktor Indonesia yang berpusat di
Bandung) dan NGO OPOPPY (One Person One Pon per Year) tak bisa lama-lama
kutinggal. Aku harus bersiap untuk berlari dan terbang menggapai mimpi-mimpi
selanjutnya.
Di dinding kamar kos yang sudah beberapa
tahun ini sudah banyak garis merah menutupi daftar mimpiku. Tapi masih banyak
lagi yang akan kutulis. Seperti mimpiku di awal, rumah sakit di tiap daerah
Indonesia. Sebentar lagi terwujud insyaallah. Aamiin.
--To be continued—
Menjelang Maghrib
Semarang, 13 Oktober 2012
Kadang kita terlalu malu untuk menvisualisasikan impian, meski hanya dalam bayangan. Dan ini adalah visualisasi impian lewat tulisan. Semoga lebih berkah.
0 komentar: