Ini Wisudaku, wisudamu?
Pagi yang berbeda. Buatku ini sangat cerah.
Matahari seperti sedikit lebih cepat memanjat langit. Di luar sana kicau burung-burung
kecil bersaut-sautan, seperti suara Kutilang yang hampir tiap pagi berkicau
tiap pagi di kampung. Kupandangi halaman depan kos, rumput-rumput mulai lebat menghijau
bak permadani hijau. Akhirnya kemarau panjang sudah berakhir, dan rumput-rumput
kecil ini bisa kembali tersenyum padaku lewat butiran-butiran embun kecil di
atasnya yang membiaskan cahaya matahari ke mataku. Cantik. Secantik hari ini
serta orang yang paling bahagia dengan datangnya hari ini.
Terdengar suara krasak-krusuk dari dalam.
“Bang, lu ada kalkulator? Aku pinjam dulu… Duh, udah
telat nih.”
“Ambil saja di laci kedua. Disana ada bungkusan warna
abu-abu, disitu. Santai aja, jangan buru-buru.” Jawabku.
“Makasih, Bang. Gue berangkat dulu. Sukses ya buat
wisudanya! Assalammu’alaykum.”
“Yo. Ojo lali ntar dateng ya. Wa’alaykumsalam!”
Tak lama terdengar suara motor yang segera tancap gas.
Handphoneku bordering.
“Pik, kok lama betul? Mamak sama Bapak udah siap nih.”
“Iya, Mak. Sebentar lagi Opik kesana. Lagi manasin
mobil.”
Ayah dan Ibuku sudah tak sabar untuk acara yang
dinanti.
Aku teringat sesuatu.
“Mas, ojo lali jemput dulur-dulurku di hotel ya. Jam 8
teng udah di kampus ya.”
“Njeh, Mas.”
Aku meminta supir mobil yang kusewa untuk menjemput
saudara-saudaraku yang jauh-jauh datang ke Semarang.
Hari ini benar-benar hari yang cerah untuk
jiwa yang cerah dan rezeki berlimpah. Seakan hari ini mengerti bahwa dia adalah
special, untukku, ayah ibuku, dan orang-orang yang kucintai, dan orang yang
kucintai. Aku sudah siap, toga kebanggaan juga sudah siap. Baru selangkah kaki
keluar, angin semilir mengalir lembut di wajahku. Mobil sudah siap. Segera aku
pergi menjemput ayah dan ibu yang baru sampai semalam dan menginap di hotel
yang sudah dari jauh hari kubooking.
Hari ini, 24 April 2014, Tembalang seperti
biasa, mulai ramai ketika jarum jam naik di angkat tujuh, mobil dan kendaraan
motor lain berlalu lalang. Bahkan aku harus bersabar dengan macet di Patung
Diponegoro—masih ingat kalau orang-orang selalu menyebutnya Patung Kuda. Tadi
tampak sangat ramai mobil-mobil luar kota memenuhi jalanan antara Masjid Kampus
dengan Gedung Prof. Sudharto, SH. Sepertinya mereka sama seperti ayah ibuku dan
saudara-saudaraku, datang dari jauh untuk melihat anaknya wisuda.
Sampai di hotel, orang tua dan sanak
saudara sudah stand by menunggu di lobi. Kusalami tangan ayah dan ibu, segera
memeluk hangat. Tanpa menunggu lama, segera kami menuju Tembalang. Mata
berbinar dan senyuman berseri di wajah mereka memberiku isyarat tentang
kepuasan dan kebanggaan mereka padaku. Guratan-guratan di wajah mereka yang
dimakan waktu seperi bicara padaku tentang perjuangan mereka yang harus bangun
pukul tiga pagi untuk menyiapkan nasi uduk dan lontong sayur yang akan dijual
pagi-pagi pukul 06.00 dan tentang perjuangan mereka yang harus pergi ke Jambi,
Palembang, Jakarta, dan pulang dua bulan sekali untuk mencari jalan untuk terus
menghidupiku. Aku ingat sekali masa-masa itu. Dan kedua orang tuaku inilah yang
memberiku arti dan mengerti tentang hakikat hidup: kau adalah hamba yang harus
mendekat sepenuhnya kepada penciptamu, tak peduli kau miskin atau kaya, surga
tak pernah dinilai dengan uangmu, tapi kau harus bersyukur dalam hidupmu baik
susah atau senang, sejatinya setiap yang terjadi dalam hidup patut disyukuri,
karena sesuatu yang mengharuskanmu bersabar pun adalah juga nikmat yang perlu
disyukuri sebab ia membuatmu menjadi sabar dan lebih dekat pada Allah yang
menghidupkan dan mematikan. Mereka juga mengajariku survive dan bertahan dalam
hidup ini dengan cara yang lurus untuk kemudian meraih prestasi
setinggi-tingginya.
***
Gerbang III Undip lebih ramai dari
biasanya. Satpam-satpam berdiri gagah mengatur lalu lintas. Jalanan dipenuhi
hiruk-pikuk mahasiswa yang saling berpacu dengan kendaraannya. Gedung-gedung Undip
tampak begitu megah. Lebih tepatnya indah. Tak hanya itu, mobil-mobil luar kota
yang tadi kutemui di depan Masjid Kampus telah rapi berjejer parkir di tepian
jalan depan Gedung Sukowati. Aku sedikit bingung harus parkir dimana.
Subhanallah aku lagi-lagi sangat gembira.
Kulihat ayah dan ibuku senyum sumringah melihat suasana yang amat ramai,
apalagi akan melihatku di wisuda. Tepat seperti yang beberapa tahun lalu
kubayangkan, orang tua dan saudaraku memakai seragam batik terbaik yang sudah
kupesan di pabrik terbaik Pekalongan.
Ayahku sudah pernah berkunjung kesini,
ketika aku pertama masuk kuliah. Tapi untuk Ibu dan sanak-saudaraku ini adalah
kali pertamanya.
“Bang Opik, beda banget ya sama SMAnya Abang di
Lampung.” Celoteh keponakanku.
“Haha iya…”
Sepanjang jalan tadi dari Gerbang I sampai
disni mereka tampah kagum melihat bangunan dan tata ruang di Universitas
Diponegoro. Jujur aku pun begitu. Dulu ketika tahun 2010 saat awal kutiba di
Undip, masjid kampus yang megah itu baru saja selesai pembangunannya. Dan
sekarang sudah tiga kali renovasi. Gedung Dekanat Fakultas Teknik yang dulu
sempat mangkrak lebih dari setahun sekarang sudah berdiri gagah di dekat Widya
Puraya. Jurusanku, Sistem Komputer sekarang sudah memiliki gedung sendiri,
gedung megah berlantai tujuh. Pemandangan yang sangat hijau selalu tertangkap
mata kemanapun memandang. Tak hanya pembangunan fisiknya, tapi riset dan
prestasi dari civitas akademika semakin menanjak. Dan hari ini Undip telah
berubah, semua sudah saling sinergi. Tak ada lagi kecurigaan, sebab rektorat
dan dekanat memberikan transparasi yang memuaskan. Tak ada lagi protes-protes
keras dari mahasiswa, seperi masalah UKT dan Diploma Teknik Undip yang dulu
sempat menjadi masalah, sebab pelayanan dari rektorat dan dekanat sudah sangat
baik. Mahasiswanya pun semakin dewasa dan cerdas, lebih mengedepankan
intelektualitas, profesionalisme, dan persamaan dari pada perbedaan organisasi,
ideology, dan pemikiran. Kepentingan mereka disini Cuma satu, “Undip Jaya untuk
Indonesia Jaya!” Aku akhirnya bisa meninggalkan kampus ini dengan tenang
setelah perjuangan yang cukup panjang dengan teman-temanku di jurusan,
fakultas, dan universitas.
“Mak, Pak, nanti Mamak sama Bapak duduk di depan sana
ya Mak, Pak. Sudah Opik pesankan ke panitia untuk menyediakan dua kursi kosong
di depan.”
***
Kejutan bagi orang tua dan keluargaku,
namaku dipanggil untuk menyampaikan pidato wisudawan terbaik. Aku pun segera
menuju podium dengan langkah sigap. Aku berpidato seperti dulu aku sering orasi
di jalanan. Kadang aku berapi-api, kadang aku menurunkan intonasi. Aku sempat
menitikkan air mata, sedikit, ketika kumengucap terimakasih untuk ayah dan ibu,
kumelihat hal yang sama terjadi pada mata mereka berdua, titik air mata itu
lebih deras. Bukan air mata kesedihan, tapi wujud kebahagiaan, kepuasan dan
kebanggaan. Seperti rasanya perjuangan mereka selama ini telah terbayar. Namun
sesungguhnya aku menyadari, ini belum seberapa dibanding perjuangan mereka, dan
tak akan pernah lunas aku membayar semua itu meski dengan segenap jiwa, raga,
dan harta. Itulah yang menguatkanku di saat kulemah untuk kemudian berdiri,
kembali berlari, dan berkerja-berkarya.
“Mak, Pak, sekarang semuanya terbukti. Keajaiban yang
selalu Mamak dan Bapak ceritakan ke Opik itu benar-benar ada. Hari ini kita
semua menyaksikannya. Opik mohon maaf dulu terlalu sering mengeluh, Mak, Pak.
Yang luar biasa Mamak dan Bapak selalu saja mampu tersenyum dengan ringan, lalu
membangkitkan kembali semangat dan keyakinan Opik.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu kita semua
bersepakat supaya Opik kuliah di kedokteran? Tapi kenyataan kala itu tak
sepakat. Kita semua harus menerima hal yang mungkin untuk kita sulit. Dan opik
tahu, ini lebih sulit lagi buat Mamak dan Bapak. Opik sayang sekali sama Mamak
dan Bapak. Cuma Mamak dan Bapak yang menguatkan Opik untuk tetap optimis apapun
kondisinya. Yang kita yakini kala itu adalah Allah punya rencana yang sangat
indah. Kejutan dari surga.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu orang-orang seperti
ragu dengan tanyanya: “Hah, si Topik bisa kuliah?” Dan Allah selalu menjadi
penolong dan pengobat lelah dan sakit yang terasa. Kini kejutan surga telah
membungkam semua keraguan orang-orang yang meremehkan itu. Terimakasih Mak Pak,
sudah mengenalkan Opik pada pemilik kekayaan dan kekuatan sesungguhnya. Dia-lah
yang selama ini mendengar do’a-do’a Opik, do’a-do’a Mamak dan Bapak kala malam
akan berakhir.
Mak, Pak, terimakasih sudah memberi Opik semuanya.
Bukan harta yang paling penting, tapi pengajaran, tentang Tuhan dan hidup.
Mamak dan Bapak adalah malaikat yang Allah turunkan ke dunia untuk Opik. …”
Hadirin memberikan standing applause saat
kusampaikan cerita perjuanganku dan orang tuaku. Dan terulang kembali saat
kuturun podium.
Semua prosesi wisuda telah selesai. Luar
biasa! Ayah dan ibu memelukku erat. Sangat hangat. Di luar menjadi surprise
buatku, kawan dan adik-adik dari jurusan, HIMASKOM, BEM, KAMMI, U-Win
Indonesia, semua menyambutku memberi selamat. Mereka berjejer rapi dengan MMT
yang sepertinya sudah jauh-jauh hari dipesan. Dulu aku pernah mengalami ini,
tapi di posisi pemegang MMT. Subhanallah. Hari ini aku menjadi objeknya.
Moment ini tak kusiakan, kupeluk merka erat
satu per satu. Lalu berpose ria dalam sesi foto bareng seperti tak akan bertemu
lagi.
“Bang, traktiran ya.”
“Oh, iya. Hampir lupa. Nanti malam kalian datang ya. Kita
syukuran.”
Semua tampak gembira, tapi di sisi lain,
ada sedih yang menanti. Aku harus meninggalkan Semarang esok hari. Perusahaanku
(OneLine Technology Group, Perusahaan semikonduktor Indonesia yang berpusat di
Bandung) dan NGO OPOPPY (One Person One Pon per Year) tak bisa lama-lama
kutinggal. Aku harus bersiap untuk berlari dan terbang menggapai mimpi-mimpi
selanjutnya.
Di dinding kamar kos yang sudah beberapa
tahun ini sudah banyak garis merah menutupi daftar mimpiku. Tapi masih banyak
lagi yang akan kutulis. Seperti mimpiku di awal, rumah sakit di tiap daerah
Indonesia. Sebentar lagi terwujud insyaallah. Aamiin.
--To be continued—
Menjelang Maghrib
Semarang, 13 Oktober 2012
Kadang kita terlalu malu untuk menvisualisasikan impian, meski hanya dalam bayangan. Dan ini adalah visualisasi impian lewat tulisan. Semoga lebih berkah.
semoga menjadi kenyataan..aamiin, inspiring..jazakumullah
BalasHapusistimewa mas !! subhanallah :)
BalasHapus