TERHANGAT

Selamat datang, Sobat! Jangan malu-malu untuk baca, komentar, dan share ya. Semoga coret-coretan ini bisa bermanfaat ya. Salam kenal. :)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya) dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Sabtu, 13 Oktober 2012

Ini Wisudaku, wisudamu?




Pagi yang berbeda. Buatku ini sangat cerah. Matahari seperti sedikit lebih cepat memanjat langit. Di luar sana kicau burung-burung kecil bersaut-sautan, seperti suara Kutilang yang hampir tiap pagi berkicau tiap pagi di kampung. Kupandangi halaman depan kos, rumput-rumput mulai lebat menghijau bak permadani hijau. Akhirnya kemarau panjang sudah berakhir, dan rumput-rumput kecil ini bisa kembali tersenyum padaku lewat butiran-butiran embun kecil di atasnya yang membiaskan cahaya matahari ke mataku. Cantik. Secantik hari ini serta orang yang paling bahagia dengan datangnya hari ini.
Terdengar suara krasak-krusuk dari dalam.
“Bang, lu ada kalkulator? Aku pinjam dulu… Duh, udah telat nih.”
“Ambil saja di laci kedua. Disana ada bungkusan warna abu-abu, disitu. Santai aja, jangan buru-buru.” Jawabku.
“Makasih, Bang. Gue berangkat dulu. Sukses ya buat wisudanya! Assalammu’alaykum.”
“Yo. Ojo lali ntar dateng ya. Wa’alaykumsalam!”
Tak lama terdengar suara motor yang segera tancap gas.
Handphoneku bordering.
“Pik, kok lama betul? Mamak sama Bapak udah siap nih.”
“Iya, Mak. Sebentar lagi Opik kesana. Lagi manasin mobil.”
Ayah dan Ibuku sudah tak sabar untuk acara yang dinanti.
Aku teringat sesuatu.
“Mas, ojo lali jemput dulur-dulurku di hotel ya. Jam 8 teng udah di kampus ya.”
“Njeh, Mas.”
Aku meminta supir mobil yang kusewa untuk menjemput saudara-saudaraku yang jauh-jauh datang ke Semarang.
Hari ini benar-benar hari yang cerah untuk jiwa yang cerah dan rezeki berlimpah. Seakan hari ini mengerti bahwa dia adalah special, untukku, ayah ibuku, dan orang-orang yang kucintai, dan orang yang kucintai. Aku sudah siap, toga kebanggaan juga sudah siap. Baru selangkah kaki keluar, angin semilir mengalir lembut di wajahku. Mobil sudah siap. Segera aku pergi menjemput ayah dan ibu yang baru sampai semalam dan menginap di hotel yang sudah dari jauh hari kubooking.
Hari ini, 24 April 2014, Tembalang seperti biasa, mulai ramai ketika jarum jam naik di angkat tujuh, mobil dan kendaraan motor lain berlalu lalang. Bahkan aku harus bersabar dengan macet di Patung Diponegoro—masih ingat kalau orang-orang selalu menyebutnya Patung Kuda. Tadi tampak sangat ramai mobil-mobil luar kota memenuhi jalanan antara Masjid Kampus dengan Gedung Prof. Sudharto, SH. Sepertinya mereka sama seperti ayah ibuku dan saudara-saudaraku, datang dari jauh untuk melihat anaknya wisuda.
Sampai di hotel, orang tua dan sanak saudara sudah stand by menunggu di lobi. Kusalami tangan ayah dan ibu, segera memeluk hangat. Tanpa menunggu lama, segera kami menuju Tembalang. Mata berbinar dan senyuman berseri di wajah mereka memberiku isyarat tentang kepuasan dan kebanggaan mereka padaku. Guratan-guratan di wajah mereka yang dimakan waktu seperi bicara padaku tentang perjuangan mereka yang harus bangun pukul tiga pagi untuk menyiapkan nasi uduk dan lontong sayur yang akan dijual pagi-pagi pukul 06.00 dan tentang perjuangan mereka yang harus pergi ke Jambi, Palembang, Jakarta, dan pulang dua bulan sekali untuk mencari jalan untuk terus menghidupiku. Aku ingat sekali masa-masa itu. Dan kedua orang tuaku inilah yang memberiku arti dan mengerti tentang hakikat hidup: kau adalah hamba yang harus mendekat sepenuhnya kepada penciptamu, tak peduli kau miskin atau kaya, surga tak pernah dinilai dengan uangmu, tapi kau harus bersyukur dalam hidupmu baik susah atau senang, sejatinya setiap yang terjadi dalam hidup patut disyukuri, karena sesuatu yang mengharuskanmu bersabar pun adalah juga nikmat yang perlu disyukuri sebab ia membuatmu menjadi sabar dan lebih dekat pada Allah yang menghidupkan dan mematikan. Mereka juga mengajariku survive dan bertahan dalam hidup ini dengan cara yang lurus untuk kemudian meraih prestasi setinggi-tingginya.
***
Gerbang III Undip lebih ramai dari biasanya. Satpam-satpam berdiri gagah mengatur lalu lintas. Jalanan dipenuhi hiruk-pikuk mahasiswa yang saling berpacu dengan kendaraannya. Gedung-gedung Undip tampak begitu megah. Lebih tepatnya indah. Tak hanya itu, mobil-mobil luar kota yang tadi kutemui di depan Masjid Kampus telah rapi berjejer parkir di tepian jalan depan Gedung Sukowati. Aku sedikit bingung harus parkir dimana.
Subhanallah aku lagi-lagi sangat gembira. Kulihat ayah dan ibuku senyum sumringah melihat suasana yang amat ramai, apalagi akan melihatku di wisuda. Tepat seperti yang beberapa tahun lalu kubayangkan, orang tua dan saudaraku memakai seragam batik terbaik yang sudah kupesan di pabrik terbaik Pekalongan.
Ayahku sudah pernah berkunjung kesini, ketika aku pertama masuk kuliah. Tapi untuk Ibu dan sanak-saudaraku ini adalah kali pertamanya.
“Bang Opik, beda banget ya sama SMAnya Abang di Lampung.” Celoteh keponakanku.
“Haha iya…”
Sepanjang jalan tadi dari Gerbang I sampai disni mereka tampah kagum melihat bangunan dan tata ruang di Universitas Diponegoro. Jujur aku pun begitu. Dulu ketika tahun 2010 saat awal kutiba di Undip, masjid kampus yang megah itu baru saja selesai pembangunannya. Dan sekarang sudah tiga kali renovasi. Gedung Dekanat Fakultas Teknik yang dulu sempat mangkrak lebih dari setahun sekarang sudah berdiri gagah di dekat Widya Puraya. Jurusanku, Sistem Komputer sekarang sudah memiliki gedung sendiri, gedung megah berlantai tujuh. Pemandangan yang sangat hijau selalu tertangkap mata kemanapun memandang. Tak hanya pembangunan fisiknya, tapi riset dan prestasi dari civitas akademika semakin menanjak. Dan hari ini Undip telah berubah, semua sudah saling sinergi. Tak ada lagi kecurigaan, sebab rektorat dan dekanat memberikan transparasi yang memuaskan. Tak ada lagi protes-protes keras dari mahasiswa, seperi masalah UKT dan Diploma Teknik Undip yang dulu sempat menjadi masalah, sebab pelayanan dari rektorat dan dekanat sudah sangat baik. Mahasiswanya pun semakin dewasa dan cerdas, lebih mengedepankan intelektualitas, profesionalisme, dan persamaan dari pada perbedaan organisasi, ideology, dan pemikiran. Kepentingan mereka disini Cuma satu, “Undip Jaya untuk Indonesia Jaya!” Aku akhirnya bisa meninggalkan kampus ini dengan tenang setelah perjuangan yang cukup panjang dengan teman-temanku di jurusan, fakultas, dan universitas.
“Mak, Pak, nanti Mamak sama Bapak duduk di depan sana ya Mak, Pak. Sudah Opik pesankan ke panitia untuk menyediakan dua kursi kosong di depan.”
***
Kejutan bagi orang tua dan keluargaku, namaku dipanggil untuk menyampaikan pidato wisudawan terbaik. Aku pun segera menuju podium dengan langkah sigap. Aku berpidato seperti dulu aku sering orasi di jalanan. Kadang aku berapi-api, kadang aku menurunkan intonasi. Aku sempat menitikkan air mata, sedikit, ketika kumengucap terimakasih untuk ayah dan ibu, kumelihat hal yang sama terjadi pada mata mereka berdua, titik air mata itu lebih deras. Bukan air mata kesedihan, tapi wujud kebahagiaan, kepuasan dan kebanggaan. Seperti rasanya perjuangan mereka selama ini telah terbayar. Namun sesungguhnya aku menyadari, ini belum seberapa dibanding perjuangan mereka, dan tak akan pernah lunas aku membayar semua itu meski dengan segenap jiwa, raga, dan harta. Itulah yang menguatkanku di saat kulemah untuk kemudian berdiri, kembali berlari, dan berkerja-berkarya.
“Mak, Pak, sekarang semuanya terbukti. Keajaiban yang selalu Mamak dan Bapak ceritakan ke Opik itu benar-benar ada. Hari ini kita semua menyaksikannya. Opik mohon maaf dulu terlalu sering mengeluh, Mak, Pak. Yang luar biasa Mamak dan Bapak selalu saja mampu tersenyum dengan ringan, lalu membangkitkan kembali semangat dan keyakinan Opik.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu kita semua bersepakat supaya Opik kuliah di kedokteran? Tapi kenyataan kala itu tak sepakat. Kita semua harus menerima hal yang mungkin untuk kita sulit. Dan opik tahu, ini lebih sulit lagi buat Mamak dan Bapak. Opik sayang sekali sama Mamak dan Bapak. Cuma Mamak dan Bapak yang menguatkan Opik untuk tetap optimis apapun kondisinya. Yang kita yakini kala itu adalah Allah punya rencana yang sangat indah. Kejutan dari surga.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu orang-orang seperti ragu dengan tanyanya: “Hah, si Topik bisa kuliah?” Dan Allah selalu menjadi penolong dan pengobat lelah dan sakit yang terasa. Kini kejutan surga telah membungkam semua keraguan orang-orang yang meremehkan itu. Terimakasih Mak Pak, sudah mengenalkan Opik pada pemilik kekayaan dan kekuatan sesungguhnya. Dia-lah yang selama ini mendengar do’a-do’a Opik, do’a-do’a Mamak dan Bapak kala malam akan berakhir.
Mak, Pak, terimakasih sudah memberi Opik semuanya. Bukan harta yang paling penting, tapi pengajaran, tentang Tuhan dan hidup. Mamak dan Bapak adalah malaikat yang Allah turunkan ke dunia untuk Opik. …”

Hadirin memberikan standing applause saat kusampaikan cerita perjuanganku dan orang tuaku. Dan terulang kembali saat kuturun podium.
Semua prosesi wisuda telah selesai. Luar biasa! Ayah dan ibu memelukku erat. Sangat hangat. Di luar menjadi surprise buatku, kawan dan adik-adik dari jurusan, HIMASKOM, BEM, KAMMI, U-Win Indonesia, semua menyambutku memberi selamat. Mereka berjejer rapi dengan MMT yang sepertinya sudah jauh-jauh hari dipesan. Dulu aku pernah mengalami ini, tapi di posisi pemegang MMT. Subhanallah. Hari ini aku menjadi objeknya.
Moment ini tak kusiakan, kupeluk merka erat satu per satu. Lalu berpose ria dalam sesi foto bareng seperti tak akan bertemu lagi.
“Bang, traktiran ya.”
“Oh, iya. Hampir lupa. Nanti malam kalian datang ya. Kita syukuran.”
Semua tampak gembira, tapi di sisi lain, ada sedih yang menanti. Aku harus meninggalkan Semarang esok hari. Perusahaanku (OneLine Technology Group, Perusahaan semikonduktor Indonesia yang berpusat di Bandung) dan NGO OPOPPY (One Person One Pon per Year) tak bisa lama-lama kutinggal. Aku harus bersiap untuk berlari dan terbang menggapai mimpi-mimpi selanjutnya.
Di dinding kamar kos yang sudah beberapa tahun ini sudah banyak garis merah menutupi daftar mimpiku. Tapi masih banyak lagi yang akan kutulis. Seperti mimpiku di awal, rumah sakit di tiap daerah Indonesia. Sebentar lagi terwujud insyaallah. Aamiin.
--To be continued—
Menjelang Maghrib
Semarang, 13 Oktober 2012
Kadang kita terlalu malu untuk menvisualisasikan impian, meski hanya dalam bayangan. Dan ini adalah visualisasi impian lewat tulisan. Semoga lebih berkah. 

2 komentar: