TERHANGAT

Selamat datang, Sobat! Jangan malu-malu untuk baca, komentar, dan share ya. Semoga coret-coretan ini bisa bermanfaat ya. Salam kenal. :)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya) dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Senin, 19 Maret 2012

Nanar


Kemarin aku muak
Hatiku terdampar
Terkapar dengan mata nanar
                Bangunku kupanggil-panggil,
                Tak terdengar, tak didengar
                Amboi enaklah mobil mewahnya,
                Rumahnya pun juga ayahku tak mampu membelinya dg gaji seumur hidup
Kenapa tak kau coba bakar saja istananya?
Biar ramai, dan kau didengar
                                Kutetap muak
                                senyum itu permusuhan
                                Kau senyum kau dibunuh
                                Kau ulurkan tangan, tanganmu dipotong
senyummu bejelaga, kau dihormati
jangan kau bakar uangmu, berikan saja pada mereka
aku benci, disini rupiah itu lah keadilan
enyah saja kau adil!
Ada tikus mengorek sampah, kenapa tak kau beri saja kamar hotel padanya?
Lalu kau sembah

                Aku sepi, sendiri! Aku benci
                Bakar saja saja istananya, biar ramai, lalu kaummu sorak sorai
                                Kenapa tak kau bunuh saja aku?
                                Atau aku harus lari ke gurun, dan mati terkubur pasir?

Dini hari 19 Maret 2012
Ketika kejujuran dan integritas koyak dengan kemilau dunia

0 komentar:

Senin, 12 Maret 2012

Tentang Pemimpin, melebih.


Tentang leadership, tentang kepemimpinan, tentang pemimpin. Rasanya terlalu berat buat saya untuk menulis tentang tema ini. Tapi ini Cuma sedikit hasil perenungan saya saja tentang bagaimana pemimpin yang ideal itu, dalam sudut pandang saya. Semoga saja cocok dengan pembaca.
Akhir-akhir ini saya galau. Ya, mengikuti trend anak gaul jaman sekarang, galau. Ga galau, maka ga hidup. Saya galau melihat pemimpin-pemimpin hari ini. Saya galau ketika bercermin, tak ada pantas-pantasnya sosok ini untuk memimpin. Bagaimana mampu memimpin manusia sementara diri sendiri tak terpimpin. But Alhamdulillah. Amanah memimpin itu justru musibah. Para pendahulu kita justru sangat tak ingin mendapatkannya dan berucap ‘innalillah’ ketika diberi amanah ini.
Tapi hari ini terjadi anomaly dengan orang-orang. Amanah kepemimpinan amat dicari-cari. Berbagai cara ditempuh. Berbagai motif melatarbelakangi. Pada berbagai tingkatan umumnya orang bangga jika diangkat sebagai pemimpin. Sebenarnya bukan diangkat, tapi dibenamkan. Dibenamkan di dasar neraka ketika amanah itu digadaikan untuk kepentingan lain. Ini yang menjadi ketakutan orang-orang dulu. Ada yang mengincar predikat pemimpin untuk mengejar prestise. Dan parahnya untuk mengumpulkan gunungan emas di pulau-pulau pribadi.
Pemimpin bukanlah sekadar predikat. Pemimpin dapat menjadi subjek, predikat, dan objek, sekaligus. Pemimpin itu harusnya mampu untuk menjadi subjek, semisal kata pemimpin itu sendiri. Pemimpin itu harusnya bisa menjadi predikat. Predikat me-, memimpin, menunjukkan, membawa, memberi, melindungi, menumbuhkan, menyemangati, memotivasi, menyayangi, dan menggerakkan. Dan pemimpin itu harusnya bisa menjadi objek. Rakyat atau apapun sebutan untuk orang yang dipimpin, mereka akan mengikuti, meneladani, mengagumi, merindukan, sang pemimpin itu.
Saya galau. Pemimpin-pemimpin hari ini lebih pantas disebut penguasa. Saya justru senang dengan celetukan dosen di kelas. Ketua kelas itu selalu disuruh-suruh, ga pernah nyuruh; ambil absen, hapus papan tulis, isi spidol, bagi kelompok. Dan iya, sedikit orang yang mau menjadi ketua kelas. Sebab tak ada untungnya menjadi ketua kelas. Sangat pragmatis ya orang-orang hari ini (tapi saya percaya masih ada orang-orang yang punya idealism, integritas, dan ketulusan). Dan saya kagum dengan seorang teman di kelas, dia bersemangat sekali menjadi ketua kelas. Mengabdi, melayani. Dua hal ini yang saya lihat. Pemimpin adalah pelayan. Tidak terlalu normative tho kalau dibilang begitu? Karena ya memang begitu hakekatnya. Yang sekarang sudah mulai tenggelam. Saya betapa inginnya pemimpin-pemimpin hari ini kembali belajar dari seorang ketua kelas, tentang ketulusan dan pengabdian.
Selanjutnya buat saya, pemimpin itu adalah orang yang lebih. Selalu lebih dan lebih. Tidak pernah kurang. Kalau pun ada kekurangan, maka seorang pemimpin akan menjadikan kekurangannya itu sebagai kelebihan.
Pemimpin itu lebih banyak diam. Ketika orang-orang bicara begini dan begini, maka dia diam. Dia lebih memilih berpikir dan merenung. Kemudian mengambil tindakan terbaik.
Pemimpin itu lebih banyak mendengar. Dia tidak ingin banyak bicara, apalagi sekadar perkataan yang sia-sia dan olok-olok. Dia lebih memilih mendengarkan banyak suara dan pendapat. Lebih banyak mendengar untuk lebih banyak belajar. Mendengar desir angin, bagaimana ia mengalir sejuk membelai kulit. Mendengar debur ombak, bagaimana ia kuat menghempas karang. Mendengar keluh rakyatnya, bagaimana apa yang bisa ia berikan untuk rakyat. Mendengar berbagai suara sumbang-cacian dan cemooh-, bukan membalas. Tapi mendengar. Kemudian belajar untuk mengkoreksi diri dan memberi yang terbaik.
Pempimpin itu lebih banyak bicara. Sekalinya ia bicara, maka ia menginspirasi. Menyegarkan jiwa-jiwa yang lelah dalam pertarungan dunia. Memotivasi untuk sekali lagi bangkit dan berpacu dan akhirnya keluar menjadi pemenang. Sekali ia bicara, maka wajah-wajah lelah itu berubah semangat. Sekali ia bicara, pengembara-pengembara yang kebingungan di persimpangan akhirnya tahu kemana arah yang dituju. Bicaranya terkadang membuat orang tersenyum, bahkan sedikit tergelak. Tapi bukan perkataan yang sia-sia dan olok-olok. Dalam tiap katanya ada makna.
Pemimpin itu lebih banyak bekerja. Dia hampir kehilangan tenaganya, sebab hari ini dia baru tidur satu jam. Begitu pula dengan kemarin dan esok. Dia melihat rakyat terlampau sengsara dan lelah. Dia telah memahat dalam alam bawah sadarnya bahwa ia adalah pelayan bagi rakyatnya. Sedikit saja dia melalaikan amanah, maka jilatan api neraka sudah terasa menjalar-jalar di kakinya. Dia hampir-hampir pingsan kehabisan tenaga. Akan tetapi tiap kali dia mengingat rindu akan wajah Rabb-nya yang dijanjikan untuk pemimpin yang adil, tenaga yang entah dari mana datangnya tiba-tiba hadir dan mengisi.
Pemimpin itu lebih sering belajar. Dia pembelajar.  Dia bebas dari kejumudan(kebekuan akal). Setiap waktunya selalu menjadi guru-guru dalam hidupnya. Dia menganggap amanah bukan sebagai beban, akan tetapi ranah untuk kembali belajar dan terus belajar. Meski raganya tak mampu melang-lang buana, tapi pikirannya berlarian bahkan melayang ke segala penjuru.
Pemimpin itu lebih banyak bermimpi. Dia tak perlu tidur untuk bermimpi. Tapi dalam angannya terlalu banyak catatan mimpi-mimpi yang terus saja tertulis. Dan kalaupun tertidur, maka tidurna mengimpikan kehidupan surge yang abadi.
Pemimpin itu lebih. Ini buatku. Bagaimana buatmu?

0 komentar: