Nanar
Kemarin aku muak
Hatiku terdampar
Terkapar dengan mata nanar
Bangunku
kupanggil-panggil,
Tak terdengar,
tak didengar
Amboi enaklah
mobil mewahnya,
Rumahnya
pun juga ayahku tak mampu membelinya dg gaji seumur hidup
Kenapa tak kau coba bakar saja istananya?
Biar ramai, dan kau didengar
Kutetap
muak
senyum
itu permusuhan
Kau
senyum kau dibunuh
Kau
ulurkan tangan, tanganmu dipotong
senyummu bejelaga, kau dihormati
jangan kau bakar uangmu, berikan saja pada mereka
aku benci, disini rupiah itu lah keadilan
enyah saja kau adil!
Ada tikus mengorek sampah, kenapa tak kau beri saja kamar
hotel padanya?
Lalu kau sembah
Aku
sepi, sendiri! Aku benci
Bakar
saja saja istananya, biar ramai, lalu kaummu sorak sorai
Kenapa
tak kau bunuh saja aku?
Atau aku
harus lari ke gurun, dan mati terkubur pasir?
Dini hari 19 Maret 2012
Ketika kejujuran dan integritas koyak dengan kemilau dunia
Tentang Pemimpin, melebih.
Tentang leadership, tentang kepemimpinan, tentang pemimpin.
Rasanya terlalu berat buat saya untuk menulis tentang tema ini. Tapi ini Cuma
sedikit hasil perenungan saya saja tentang bagaimana pemimpin yang ideal itu,
dalam sudut pandang saya. Semoga saja cocok dengan pembaca.
Akhir-akhir ini saya galau. Ya, mengikuti trend anak gaul
jaman sekarang, galau. Ga galau, maka ga hidup. Saya galau melihat
pemimpin-pemimpin hari ini. Saya galau ketika bercermin, tak ada
pantas-pantasnya sosok ini untuk memimpin. Bagaimana mampu memimpin manusia
sementara diri sendiri tak terpimpin. But Alhamdulillah. Amanah memimpin itu
justru musibah. Para pendahulu kita justru sangat tak ingin mendapatkannya dan
berucap ‘innalillah’ ketika diberi amanah ini.
Tapi hari ini terjadi anomaly dengan orang-orang. Amanah
kepemimpinan amat dicari-cari. Berbagai cara ditempuh. Berbagai motif
melatarbelakangi. Pada berbagai tingkatan umumnya orang bangga jika diangkat
sebagai pemimpin. Sebenarnya bukan diangkat, tapi dibenamkan. Dibenamkan di dasar
neraka ketika amanah itu digadaikan untuk kepentingan lain. Ini yang menjadi
ketakutan orang-orang dulu. Ada yang mengincar predikat pemimpin untuk mengejar
prestise. Dan parahnya untuk mengumpulkan gunungan emas di pulau-pulau pribadi.
Pemimpin bukanlah sekadar predikat. Pemimpin dapat menjadi
subjek, predikat, dan objek, sekaligus. Pemimpin itu harusnya mampu untuk
menjadi subjek, semisal kata pemimpin itu sendiri. Pemimpin itu harusnya bisa
menjadi predikat. Predikat me-, memimpin, menunjukkan, membawa, memberi,
melindungi, menumbuhkan, menyemangati, memotivasi, menyayangi, dan
menggerakkan. Dan pemimpin itu harusnya bisa menjadi objek. Rakyat atau apapun
sebutan untuk orang yang dipimpin, mereka akan mengikuti, meneladani,
mengagumi, merindukan, sang pemimpin itu.
Saya galau. Pemimpin-pemimpin hari ini lebih pantas disebut
penguasa. Saya justru senang dengan celetukan dosen di kelas. Ketua kelas itu selalu disuruh-suruh, ga
pernah nyuruh; ambil absen, hapus papan tulis, isi spidol, bagi kelompok. Dan
iya, sedikit orang yang mau menjadi ketua kelas. Sebab tak ada untungnya
menjadi ketua kelas. Sangat pragmatis ya orang-orang hari ini (tapi saya
percaya masih ada orang-orang yang punya idealism, integritas, dan ketulusan).
Dan saya kagum dengan seorang teman di kelas, dia bersemangat sekali menjadi
ketua kelas. Mengabdi, melayani. Dua hal ini yang saya lihat. Pemimpin adalah
pelayan. Tidak terlalu normative tho kalau dibilang begitu? Karena ya memang
begitu hakekatnya. Yang sekarang sudah mulai tenggelam. Saya betapa inginnya
pemimpin-pemimpin hari ini kembali belajar dari seorang ketua kelas, tentang
ketulusan dan pengabdian.
Selanjutnya buat saya, pemimpin itu adalah orang yang lebih.
Selalu lebih dan lebih. Tidak pernah kurang. Kalau pun ada kekurangan, maka
seorang pemimpin akan menjadikan kekurangannya itu sebagai kelebihan.
Pemimpin itu lebih banyak diam. Ketika orang-orang bicara
begini dan begini, maka dia diam. Dia lebih memilih berpikir dan merenung.
Kemudian mengambil tindakan terbaik.
Pemimpin itu lebih banyak mendengar. Dia tidak ingin banyak
bicara, apalagi sekadar perkataan yang sia-sia dan olok-olok. Dia lebih memilih
mendengarkan banyak suara dan pendapat. Lebih banyak mendengar untuk lebih
banyak belajar. Mendengar desir angin, bagaimana ia mengalir sejuk membelai
kulit. Mendengar debur ombak, bagaimana ia kuat menghempas karang. Mendengar
keluh rakyatnya, bagaimana apa yang bisa ia berikan untuk rakyat. Mendengar
berbagai suara sumbang-cacian dan cemooh-, bukan membalas. Tapi mendengar.
Kemudian belajar untuk mengkoreksi diri dan memberi yang terbaik.
Pempimpin itu lebih banyak bicara. Sekalinya ia bicara, maka
ia menginspirasi. Menyegarkan jiwa-jiwa yang lelah dalam pertarungan dunia.
Memotivasi untuk sekali lagi bangkit dan berpacu dan akhirnya keluar menjadi
pemenang. Sekali ia bicara, maka wajah-wajah lelah itu berubah semangat. Sekali
ia bicara, pengembara-pengembara yang kebingungan di persimpangan akhirnya tahu
kemana arah yang dituju. Bicaranya terkadang membuat orang tersenyum, bahkan
sedikit tergelak. Tapi bukan perkataan yang sia-sia dan olok-olok. Dalam tiap
katanya ada makna.
Pemimpin itu lebih banyak bekerja. Dia hampir kehilangan
tenaganya, sebab hari ini dia baru tidur satu jam. Begitu pula dengan kemarin
dan esok. Dia melihat rakyat terlampau sengsara dan lelah. Dia telah memahat
dalam alam bawah sadarnya bahwa ia adalah pelayan bagi rakyatnya. Sedikit saja
dia melalaikan amanah, maka jilatan api neraka sudah terasa menjalar-jalar di
kakinya. Dia hampir-hampir pingsan kehabisan tenaga. Akan tetapi tiap kali dia
mengingat rindu akan wajah Rabb-nya yang dijanjikan untuk pemimpin yang adil,
tenaga yang entah dari mana datangnya tiba-tiba hadir dan mengisi.
Pemimpin itu lebih sering belajar. Dia pembelajar. Dia bebas dari kejumudan(kebekuan akal).
Setiap waktunya selalu menjadi guru-guru dalam hidupnya. Dia menganggap amanah
bukan sebagai beban, akan tetapi ranah untuk kembali belajar dan terus belajar.
Meski raganya tak mampu melang-lang buana, tapi pikirannya berlarian bahkan
melayang ke segala penjuru.
Pemimpin itu lebih banyak bermimpi. Dia tak perlu tidur
untuk bermimpi. Tapi dalam angannya terlalu banyak catatan mimpi-mimpi yang
terus saja tertulis. Dan kalaupun tertidur, maka tidurna mengimpikan kehidupan surge
yang abadi.
Pemimpin itu lebih. Ini buatku. Bagaimana buatmu?
0 komentar: