Ah...
Mencemburui masa lalu
Menanyai tiap detik berliku
Mencari jawab pada dinding-dinding membisu
Meneriaki rasa hati terpedaya candu
Mengirim mata-mata pada cerita lama
Jelas lawanku prasasti terukir
Dan kini aku berkongsi dengan secuil nyali
Tak peduli
Masa bodoh
Aku tahu aku bodoh
Hanya aku, hanya aku, Manis,
diam didekap rasa membuncah
hanya aku, Manis,
tertawa sembunyi cinta
hanya aku, Manis,
merintih menahan rasa
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Hanya aku, menyumpahi diri sendiri
Plak! Plak! Plak!
Hanya aku, menampari pipi si bodoh ini
Bukan aku tak tau apa harus dilaku,
Hanya saja hati butuh tempat melepas rindu
Jadilah kata-kata bodoh ini, dan
anggap saja aku tak tahu kau dimana
aku kehilanganmu
bahagialah disana
Aku punya Dia. Suatu saat nanti.
Ah... Rupanya hanya kata penyamar rasa
tersipu malu di sudut waktu
menikmati sensasi yang bukan fantasi
Selamat datang, Pagi!
Progresif!
Padahal kita yang selalu bertekad untuk jauh dari kejumudan (kebekuan akal). Bahkan dalam tiap deklarasi dan do’a selalu disampaikan. Kadang dinamika yang ada membuat kita tenggelam dalam satu stagnasi yang susah dimengerti.
Kadang kalau tak kuat-kuat menahan nafsu, bisa juga kita tergoda dengan segala rayuan setan. Bukan cuma rayuan berbuat dosa. Tapi rayuan untuk malas berbuat kebaikan, sekecil apapun. Rayuan untuk malas melakukan kerja-kerja kecil yang baik dan membaikkan. Rasa malas menjadi musuh bersama.
Seringnya kalau kita coba telisik, kepuasan kadang mengantar kita pada zona nyaman. Hingga akhirnya kita jadi merasa tak perlu berbuat lebih baik dari sebelumnya. Begini-begini saja tanpa kita sadari. Kita terjebak pada kata biasa yang menghalangi kita dari luar biasa.
Sebenarnya sudah lekat dalam ingatan seuntai kata mulia garis hidup para nabi bahwa hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini hendaknya. Maknanya adalah apapun kondisinya tetaplah harus memiliki visi yang dalam dan jauh ke depan, serta diikuti dengan kerja-kerja yang progresif. Tak luntur semangat oleh derasnya hujan dan teriknya matahari, atau hanya sekedar cuaca yang biasa-biasa saja. Kita harus tetap menjadi pendaki yang pelaut yang tangguh dan pendaki yang mantap pijakannya.
Lemah, tak boleh lemah! Lelah, tak boleh menyerah. Jika tak bersusah payah, apa namanya? Manja! Bukan tekad baja namanya. Lalu buat apa kita ada jika hanya begini-begini saja dan mudah kalah?
Karena kita tercipta spesial, maka renungilah bahwa hidup yang sekali di dunia harus dijadikan berarti! Jelas disini berlaku hubungan sebab akibat. Untuk mencapai kecemerlangan, ada harga yang harus dibayar. Relatif. Jika murah, bisa jadi hanya dapat permata imitasi. Jika mahal, jelas didapat yang intan permata yang berkelas. Harga ini yang kita namakan perjuangan dan pengorbanan.
Akumulasi dari terkurasnya tenaga, pikiran, waktu, dan materi, inilah yang menjadi harga berbanding lurus dengan keberhasilan. Mau berhasil? Sungguh-sungguh dan bersusah-payahlah! Meski berderai air mata, bersimbah peluh, beribu luka, lihatlah gerbang kemenangan telah menganga di depan sana!
“Kita yang menganggap orang lain terlalu keras usahanya, atau kita yang sebenarnya kurang optimal?” -ICS
Kisah Adik Kecil yang Tak Biasa
Hanya ingin berkisah tentang yang tak biasa.
Pada suatu siang tepat saat matahari berada di atas kepala, seorang lelaki baru saja mendapat rezeki. Ia bergegas pulang, mengejar waktu untuk bisa menunaikan shalat zuhur di masjid kampungnya.
Siang itu matahari sangat terik, membakar tanpa ampun permukaan. Lampu merah menyala. Sang lelaki berhenti di barisan paling depan sebelum garis marka, tepat di sisi tiang lampu merah.
Di tiang lampu merah itu tampak seorang anak lelaki, perkiraan usianya belum sampai usia sekolah. Masih kecil. Duduk bersandar pada tiang lampu merah. Kulitnya hitam dengan baju kedodoran yang memudar. Seperti kelelahan setelah setengah hari menodong untuk barang sedikit saja berbagi rejeki kepada mobil-mobil yang bagus itu yang bahkan ia belum pernah naiki. Lima ratus, alhamdulillah. Seribu rupiah, senang. Lima ribu rupiah, senang bukan kepalang.
Lelaki yang juga lelah ini memerhatikan dengan seksama, menerawang pada banyak sudut pandang. Seperti otomatis, tiba-tiba saja tangannya merogoh saku bajunya, mengeluarkan amplop putih.
“Adek, rumahnya dimana? Ini buat kamu. Kasih ke Ibu kalian, ya.” Sambil menyodorkan amplop putih berisi lembaran uang bergambar dua proklamator negara ini.
Ternyata meski telah tiada, dua bapak bangsa ini masih ramah menyapa anak negeri yang terlantar.
“Jauh, Om. Apa ini, Om?” timpal anak lelaki tersebut.
“Ini uang buat kalian, tapi dikasih ke Ibu, ya.”
“Uang apa ini, Om? Enggak mau, ah, Om. Nanti enggak laku.”
Sang lelaki terkejut dengan jawaban dan ekspresi anak tersebut. Bukan mereka menolak. Tapi mereka tak pernah melihat uang yang begini. Disangka tak laku. Tak pernah. Tak biasa.
***
Hening.
Masih 60 detik lagi sebelum lampu hijau menyala.
"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara." (Pasal 34 (1) UUD 1945)
Euforia Pemilu, Pencerdasan Politik Terabaikan
Adalah
hal yang sangat penting ketika kita menyoroti semakin besarnya persentase
masyarakat yang memilih golput pada pemilu 5 tahunan di negara ini. Pada pemilu
1999 tercatat 10% yang tidak menggunakan hak pilihnya. Pemilu 2004 meningkat
dua kali lipatnya sebesar 23,34%. Dan terakhir pada pemilu 2009 juga meningkat
dua kali lipatnya sebanyak 40%. Inilah yang dituturkan Gamawan Fauzi yang saya
kutip dari salah satu portal berita online.
Dalam
diskusi Ungkap Caleg (3/4) yang diadakan BEM KM Undip, Bapak Susilo Utomo,
panelis, memaparkan data yang menunjukkan mayoritas masyarakat menentukan
pilihannya karena faktor figuritas dan uang. Yang paling santer diberitakan
media, itulah yang dipilih masyarakat. Tidak peduli setidak rasional apapun.
Yang paling getol memberi uang saweran atau serangan fajar, dialah yang
dipilih.
Semua
sepakat bahwa Indonesia jika benar ingin sejahtera dan menjadi negara adidaya,
negara ini harus dipimpin oleh seorang yang mumpuni, memiliki visi dan gagasan
pasti, serta teruji. Demokrasi yang kita anut memberi ruang semacam kompetisi
untuk menjadi pemimpin negeri ini. Ini yang sedang kita hadapi di depan mata
tepat, Pemilu. Di depan sana sudah banyak orang mengantri dan menjajaki diri
untuk memimpin negeri ini.
Salah
satu fungsi partai politik adalah melakukan sosialisasi politik yang akan
membentuk sikap dan orientasi politik masyarakat. Dengan kata lain partai
politik juga memiliki tanggung jawab melaksanakan pencerdasan politik. Hanya
saja hal ini belum banyak dilakukan karena banyak partai politik yang
disibukkan dengan urusan pemilihan umum dan menyelesaikan konflik internal.
Partai politik juga belum mampu memberi suri tauladan bagi perilaku politik
yang etis dan sesuai dengan nilai budaya bangsa yang bermartabat.
Dan
pada gilirannya masyarakat jadi bulan-bulanan. Terjadi kegamangan di tengah
masyarakat. Yang selalu jadi makanan bagi masyarakat adalah berita-berita
negatif dunia politik negeri ini sehingga banyak kekecewaan muncul. Wajar jika
semakin banyak yang apatis.
Belum lagi sangat marak politik
pencitraan akhir-akhir ini. Lewat media-media yang dikuasai oleh satu atau
beberapa orang, sangat mudah mencitrakan pihak-pihak yang memiliki ambisi untuk
menguasai negeri ini. Yang paling laku adalah sosok spesial yang ‘suka blusukan’
dan turun langsung ke tengah masyarakat. Hal ini jelas terjadi sebab masyarakat
sangat merindukan pemimpin seperti ini. Pencitraan jelas boleh, tapi kalau
berlebihan dan mengenyampingkan sisi rasionalitas rasanya ini sudah masuk ke
dalam kategori pembohongan publik.
Masyarakat kita secara umum,
tertutama kalangan menengah ke bawah, masih terlalu lugu untuk bisa menyaring
segala informasi yang masuk. Maka, jadilah semua ditelan mentah-mentah dan
gampang disetir wacananya. Skarang lembaga survei semakin marak dan berjamuran.
Tentunya ini lahan yang sangat komersial, apalagi jelang pemilu. Tanpa mengurangi
kesantunan saya kepada semua lembaga survei, saya katakan disini amat besar
peluang terjadinya penyelewengan data sehingga lagi-lagi sangat mudah menyetir
wacana. Dan kita sangat mafhum bahwa negara ini meyakini bahwa kekuasaan di
negara ini dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka, apa jadinya jika
rakyat yang merupakan penguasa sah negara ini sangat mudah dikendalikan oleh
pihak-pihak tertentu?
Kembali pada bahasan sebelumnya
bahwa pencerdasan politik ini penting agar masyarakat tidak jadi bola yang
mudah digiring kemana pun perginya. Masyarakat harus mengerti tentang kondisi
riil hari ini. Masyarakat harus mampu memilah dan memilih secara rasional di
antara pilihan yang ada. Jangan sampai terbutakan hanya karena wacana media.
Pada kasus pemilu ini masyarakat
hendaknya mampu melihat mana pemimpin yang memang siap sebagai pemimpin,
lengkap dengan gagasannya. Bukan sekadar pencitraan lewat blusukan. Sebab blusukan
bukanlah prestasi, tapi sekadar kebiasaan baik yang amat jarang. Hendaknya pula
masyarakat mampu melihat mana pihak-pihak yang bersih dan profesional dalam
mengemban tugasnya.
Ketika kondisi hari ini seperti
penjabaran di atas dimana partai politik amat acuh dengan pencerdasan
masyarakat dan terkesan memanfaatkan keluguan masyarakat, serta media telah
kehilangan porsinya sebagai media netral lewat pencitraan lebay-nya, maka pencerdasan politik menjadi tanggung jawab siapa?
Tulisan ini hendak memaksa
pemerintah, parpol, dan media, melakukan pencerdasan politik yang mencerdaskan.
Lebih dari itu tulisan ini ingin mengetuk hati dan menggerak rasionalitas kita
untuk mampu melakukan satu dua hal demi terwujudnya masyarakat yang cerdas
dalam menentukan pilihan. Tidak disetir figuritas terlalu dalam dan uang
sepeser.
0 komentar: