KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO MENGGELAR AKSI SOLIDARITAS UNTUK MAHASISWA BARU
Jum’at (21/6) Keluarga Mahasiswa Universitas Diponegoro menggelar aksi solidaritas untuk mahasiswa baru dengan tagline #SaveUndip. Pukul 07.00 WIB masa aksi mulai berkumpul di PKM Joglo. Selang setengah jam kemudian ratusan masa aksi bergerak long march menuju Bundaran Widya Puraya. Riuh rendah dan sorak-sorai masa aksi memenuhi langit di atas Universitas Diponegoro.
Aksi ini digelar sebagai bentuk ekspresi suara mahasiswa menanggapi kemelut Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan diterapkan kepada mahasiswa baru angkatan 2013. Sudah sejak tahun 2012 Uang Kuliah Tunggal menjadi kontroversi. Akan tetapi tahun ini kekhawatiran mahasiswa semakin menjadi-jadi. Pasalnya banyak sekali didapati mahasiswa baru kebingungan tentang aturan dan mekanisme penerapan Uang Kuliah Tunggal. Bahkan tak jarang mahasiswa baru banyak yang salah melakukan entri kemampuan golongan UKT, dengan persepsi bahwa nominal tersebut hanyalah uang pangkal seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tidak hanya itu, pengurus kesma BEM KM dan BEM Fakultas sampai kelimpungan membantu dan menanggapi keluhan mahasiswa baru bahwa hasil verifikasi sangat jauh dari harapan. Tidak sedikit mahasiswa yang mengajukan banding lantaran hasil verifikasi sangat jauh dari kemampuan ekonomi keluarga.
Aksi ini menjadi penyempurna kepedulian mahasiswa yang dalam beberapa waktu ini sangat fokus membantu pelayanan informasi dan advokasi mahasiswa baru terkait UKT. Bukan sekadar retorika atas nama kepedulian, tapi sebelumnya telah mengerahkan segenap waktu dan tenaga untuk melayani dan mengadvokasi mahasiswa baru. Dan aksi ini menjadi ekspresi sederhana dari advokasi selama ini yang masih butuh perhatian dan perjuangan lebih.
Dalam aksi ini mahasiswa menyampaikan beragam aspirasi. Termasuk meminta rektor mengeluarkan pernyataan menjamin tidak ada mahasiswa baru yang mengundurkan diri lantaran tidak mampu membayar uang kuliah.
Aksi mendapat tanggapan yang sangat positif dari jajaran pengelola universitas dan fakultas yang pada saat itu baru saja selesai agenda Jum’at pagi bersama. Dalam tanggapannya, rektor, menyatakan bahwa Undip masih kampus rakyat dan rumah kita. Semua mahasiswa memiliki hak yang sama untuk dapat berkuliah, termasuk yang tidak mampu. Adanya UKT adalah untuk mengakomodir mahasiswa yang tidak mampu. Diakui pula bahwa system baru ini masih ada kekurangan sehingga perlu peran aktif mahasiswa dalam mengawal kebijakan dan mekanismenya.
Terakhir, Rektor menjamin bahwa tidak aka nada mahasiswa baru yang mengundurkan diri lantaran tidak mampu membayar uang kuliah. Dan Pembantu Rektor III dengan tegas menyatakan jika ada mahasiswa yang benar-benar terbukti tidak mampu tapi kesulitan membayar biaya kuliah, maka beliau akan turun tangan untuk memperjuangkan kelanjutan studi mahasiswa tersebut.
Menutup aksi tersebut, masa aksi melanjutkan long march hingga seluruh jalan di Universitas Diponegoro.
Demikian gambaran singkat tentang aksi solidaritas untuk mahasiswa baru yang digelar Jum’at pagi. Semoga Universitas Diponegoro tetap konsisten dengan prinsip pendidikan yang berkeadilan dan merakyat. Semoga mahasiswa selalu peduli dan membantu dengan usaha apapun yang bisa dikerahkan untuk menjaga jaminan akan kesejahteraan mahasiswa. Hidup mahasiswa baru!
Taufik Aulia Rahmat
Ketua BEM FT KM Universitas Dipoengoro
Kajian Reflektif: Alay dan Masa Depannya
Harimau mati meninggalkan belang
Manusia mati meninggalkan nama
Begitulah peribahasa tua mengatakan tentang peninggalan kita
di dunia setelah ajal menjemput. Kemudian saya tergelitik melihat realita
sekarang. Majunya teknologi pun kini bisa merubah peribahasa yang melegenda
dari jaman orang tua saya belajar SD dulu.
Harimau mati meninggalkan belang
Manusia mati meninggalkan segenap akun sosmed dan postingannya
*haha
Bahkan kemarin saat kami baru memulai mentoring yang sempat
lama tersendat (karena satu hal dan hal lainnya) hal ini jadi bahan obrolan
yang sangat menarik. Awalnya saya melihat mata para mentee sudah mulai berat
tertimpa kantuk, sejenak ketika saya lontarkan tema ini segera tanggapannya
antusias.
Menurut hemat saya, saya menyebutnya ‘mengerikan’. Kenapa?
Tak masalah kalau jika yang kita tinggalkan itu adalah akun dan postingan yang
positif. Akan jadi ‘mengerikan’ jika yang kita tinggalkan itu adalah akun-akun
dengan nama dan postingan alay.
Thya Agy Marahan Ama Facebook
Anyie Yaa Anie
Budhiee Asliewonkjowo
Kikina kakak
“Q udd blank lok Q agy mlezz ponan ma cmzan, jdna aQ OL ma
tmen2 Fesbukers @_@”
Sudah kebayang betapa mengerikannya hal ini? Bayangkan saja
jika kematian kita hanya meninggalkan akun-akun alay dengan postingan yang
susah dibaca. Akan jadi tertawaan bagi orang-orang yang hidup. Nyesek ga tuh?
Sudah begitu, anak dan cucu pun jadi malu menanggung aib kealayan.
Tidak cukup sampai disitu. Bayangkan di dalam kubur dan hari
akhir nanti kita akan diminta pertanggungjawaban untuk semua amal dan perbuatan
kita di dunia. Salah satunya adalah akun-akun tersebut.
“Hai Fulan, kau gunakan untuk apa akun-akunmu? Sekarang saatnya pembalasan atas
dosa-dosamu membuat tulisan yang susah dibaca manusia.”
‘Mengerikan’ sekali, bukan?
Coba pikirkan lagi, di alam kubur tak akan mungkin kita bisa mengelak. Tak mungkin ada percakapan seperti ini:
M: kamu tau kamu sekarang di mana?
A: di hatimoooeeeee
M: siapa Tuhanmu?
A: kasih tau ga ya?
M: siapa Nabi mu?
A: mau tau aja atau mau tau banget?
M: kamu tau gak kerikil di neraka jahanam 70x lebih panas
dari api di dunia?
A: trus gw harus bilang woooooooooow gitu?
M: aku pastikan kamu masuk neraka!!!
A: ciyusss??? miapah???
(diambil dari sebuah komentar di Kompasiana)
Mari kita bandingkan dengan generasi terbaik ummat ini. Mereka
di lahirkan di tengah keterbatasan zaman. Listrik belum ada. Apalagi social media.
Sebut saja Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Hanafi, Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd, Al-Khawarizmi, dan kawan-kawan(Semoga Allah merahmati mereka). Peninggalan mereka adalah
karya-karya yang sangat monumental dan berkelas. Sudah ratusan tahun, tapi
tetap saja menuai manfaat. Selalu dibaca dan disampaikan segenap manusia. Bisa
dibayangkan apa jadinya jika Kitab Al-Muwatha’ tulisan Imam Malik ditulis
dengan tulisan alay? Na’udzubillah. @_@
Nah, itulah perbandingan generasi ratusan tahun silam dengan
generasi hari ini. Atau saya yang tidak tahu bahwa alay itu sudah ada sejak ribuan
tahun silam dan menjadi klan rahasia yang terus berkembang sampai sekarang?
Haha sudahlah…
Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung para alay, apalagi
menyakiti. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan #eh. Jadi, menjadi alay itu
juga hak. Tapi bisalah kita ambil pelajaran untuk bisa menggunakan
kemudahan-kemudahan teknologi informasi seperti social media secara cerdas dan
bertanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab di dunia, tapi juga akhirat.
Semarang, 5 Juni 2013
@taufikarahmat
0 komentar: