TERHANGAT

Selamat datang, Sobat! Jangan malu-malu untuk baca, komentar, dan share ya. Semoga coret-coretan ini bisa bermanfaat ya. Salam kenal. :)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya) dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Sabtu, 11 April 2015

Hujan Malam Hari

Ketika hujan turun di pertengahan malam, dan senyap buyar sejenak. Ini rahmat yang mengucur dari langit, mengguyuri bumi malu-malu. Sepertinya baru saja hujan hampir deras. Sekarang tersisa titik-titik gerimis. Kaukah itu, Sayang, turun bersama hujan dari kahyangan, membawa sejuk merasuk dalam jiwa yang kepanasan?
Rinai hujan masih terdengar, meski lamat-lamat ia seperti malas-malas untuk jatuh berdebam ramai-ramai ke atas bumi sekitarku. Kaukah itu, Sayang, perasaan tenteram menjalari gundah-gulana yang sudah lama menghantam?
Malam kemarin langit cerah secerah harapan kita. Tidak ada satupun awan menghalangi pandangan. Bintang-gemintang tersebar rata sepenjuru langit. Berkedip sedikit genit kepada kita, kita yang dinaungi langit yang sama. Kaukah itu, Sayang, keindahan yang disertai malam lengkap dengan bulan yang penuh purnamanya?
Kata-kata mengalir begitu derasnya. Apalagi rasa yang tak lagi bisa dibendung. Menanyai angin, apa mimpi dalam tidurmu sekarang? Ingin rasanya aku menelusup lembut seperti angin berbisik, lalu masuk dalam mimpimu. Dan kita jumpa. Seperti perjumpaan kekasih yang lama tak bertemu. Padahal kita dekat.
Andai malam ada matahari. Kalau hujan begini, aku ingin melihat pelangi. Tapi matahari hanya menemaniku dua belas jam sehari.
Sayang, maukah kau menjadi matahari dalam setiap waktuku, agar saat hujan malam hari aku bisa melihat pelangi?
Semarang
00.48 11-4-15
00.58 Diposting oleh Taufik Aulia Rahmat 0

Kamis, 08 Mei 2014

Relativitas Langit

Jika aku menggantungkannya di langit,
aku takut tanganku tak akan sampai.
Sebab aku dan langit berada pada jarak yang cenderung konstan.
Lalu aku gantungkan pada-Mu saja, Tuhan.
Meski Kau jauh di atas langit sana, jarakku dengan-Mu cenderung berubah-ubah.
Sehingga setiap hari aku harus selalu datang mendekat kepada-Mu.
01.37 Diposting oleh Taufik Aulia Rahmat 0

Buah kebaikan dan buah keburukan.

Percaya gak kalau kebaikan itu buahnya juga kebaikan, sementara keburukan (dosa) itu buahnya minimal adalah terhalangnya kebaikan yang lain? Bayangin, dengan berbuat kebaikan, kita jadi punya semangat dan rasa percaya diri untuk terus kontinyu dan melakukan akselerasi kebaikan-kebaikan lain. Tapi jika ada keburukan yang dilakukan, maka akan muncul perasaan bersalah, sebab kita tahu itu buruk. Kemudian kita merasa tertahan untuk melakukan kebaikan lain sebab keburukan yang lalu telah jadi beban. Lalu jika keburukan itu tetap kontinyu, maka akan muncul rasa tak percaya diri dan perasaan tak pantas untuk lakukan kebaikan yang lain atau lakukan akselerasi kebaikan.
Maka jika ini terjadi dan kita menyadarinya, lakukanlah lompatan! Lupakan masa lalu, tatap masa depan apa yang kita ingin capai, kemudian kita berlari dengan akselerasi semakin besar untuk lakukan kebaikan dan perbaikan! Stop merasa tidak pantas! Kamu yang sekarang adalah kamu yang baru.
00.49 Diposting oleh Taufik Aulia Rahmat 0

Jumat, 25 April 2014

Ah...

Mencemburui masa lalu
Menanyai tiap detik berliku
Mencari jawab pada dinding-dinding membisu
Meneriaki rasa hati terpedaya candu
Mengirim mata-mata pada cerita lama
Jelas lawanku prasasti terukir
Dan kini aku berkongsi dengan secuil nyali
Tak peduli
Masa bodoh
Aku tahu aku bodoh
Hanya aku, hanya aku, Manis,
diam didekap rasa membuncah
hanya aku, Manis,
tertawa sembunyi cinta
hanya aku, Manis,
merintih menahan rasa
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Hanya aku, menyumpahi diri sendiri
Plak! Plak! Plak!
Hanya aku, menampari pipi si bodoh ini
Bukan aku tak tau apa harus dilaku,
Hanya saja hati butuh tempat melepas rindu
Jadilah kata-kata bodoh ini, dan
anggap saja aku tak tahu kau dimana
aku kehilanganmu
bahagialah disana
Aku punya Dia. Suatu saat nanti.
Ah... Rupanya hanya kata penyamar rasa
tersipu malu di sudut waktu
menikmati sensasi yang bukan fantasi

Selamat datang, Pagi!
03.33 Diposting oleh Taufik Aulia Rahmat 0

Selasa, 22 April 2014

Progresif!

Padahal kita yang selalu bertekad untuk jauh dari kejumudan (kebekuan akal). Bahkan dalam tiap deklarasi dan do’a selalu disampaikan. Kadang dinamika yang ada membuat kita tenggelam dalam satu stagnasi yang susah dimengerti.
Kadang kalau tak kuat-kuat menahan nafsu, bisa juga kita tergoda dengan segala rayuan setan. Bukan cuma rayuan berbuat dosa. Tapi rayuan untuk malas berbuat kebaikan, sekecil apapun. Rayuan untuk malas melakukan kerja-kerja kecil yang baik dan membaikkan. Rasa malas menjadi musuh bersama.
Seringnya kalau kita coba telisik, kepuasan kadang mengantar kita pada zona nyaman. Hingga akhirnya kita jadi merasa tak perlu berbuat lebih baik dari sebelumnya. Begini-begini saja tanpa kita sadari. Kita terjebak pada kata biasa yang menghalangi kita dari luar biasa.
Sebenarnya sudah lekat dalam ingatan seuntai kata mulia garis hidup para nabi bahwa hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini hendaknya. Maknanya adalah apapun kondisinya tetaplah harus memiliki visi yang dalam dan jauh ke depan, serta diikuti dengan kerja-kerja yang progresif. Tak luntur semangat oleh derasnya hujan dan teriknya matahari, atau hanya sekedar cuaca yang biasa-biasa saja. Kita harus tetap menjadi pendaki yang pelaut yang tangguh dan pendaki yang mantap pijakannya.
Lemah, tak boleh lemah! Lelah, tak boleh menyerah. Jika tak bersusah payah, apa namanya? Manja! Bukan tekad baja namanya. Lalu buat apa kita ada jika hanya begini-begini saja dan mudah kalah?
Karena kita tercipta spesial, maka renungilah bahwa hidup yang sekali di dunia harus dijadikan berarti! Jelas disini berlaku hubungan sebab akibat. Untuk mencapai kecemerlangan, ada harga yang harus dibayar. Relatif. Jika murah, bisa jadi hanya dapat permata imitasi. Jika mahal, jelas didapat yang intan permata yang berkelas. Harga ini yang kita namakan perjuangan dan pengorbanan.
Akumulasi dari terkurasnya tenaga, pikiran, waktu, dan materi, inilah yang menjadi harga berbanding lurus dengan keberhasilan. Mau berhasil? Sungguh-sungguh dan bersusah-payahlah! Meski berderai air mata, bersimbah peluh, beribu luka, lihatlah gerbang kemenangan telah menganga di depan sana!
“Kita yang menganggap orang lain terlalu keras usahanya, atau kita yang sebenarnya kurang optimal?” -ICS
02.40 Diposting oleh Taufik Aulia Rahmat 0

Jumat, 18 April 2014

Kisah Adik Kecil yang Tak Biasa

Hanya ingin berkisah tentang yang tak biasa.
Pada suatu siang tepat saat matahari berada di atas kepala, seorang lelaki baru saja mendapat rezeki. Ia bergegas pulang, mengejar waktu untuk bisa menunaikan shalat zuhur di masjid kampungnya.
Siang itu matahari sangat terik, membakar tanpa ampun permukaan. Lampu merah menyala. Sang lelaki berhenti di barisan paling depan sebelum garis marka, tepat di sisi tiang lampu merah.
Di tiang lampu merah itu tampak seorang anak lelaki, perkiraan usianya belum sampai usia sekolah. Masih kecil. Duduk bersandar pada tiang lampu merah. Kulitnya hitam dengan baju kedodoran yang memudar. Seperti kelelahan setelah setengah hari menodong untuk barang sedikit saja berbagi rejeki kepada mobil-mobil yang bagus itu yang bahkan ia belum pernah naiki. Lima ratus, alhamdulillah. Seribu rupiah, senang. Lima ribu rupiah, senang bukan kepalang.
Lelaki yang juga lelah ini memerhatikan dengan seksama, menerawang pada banyak sudut pandang. Seperti otomatis, tiba-tiba saja tangannya merogoh saku bajunya, mengeluarkan amplop putih.
“Adek, rumahnya dimana? Ini buat kamu. Kasih ke Ibu kalian, ya.” Sambil menyodorkan amplop putih berisi lembaran uang bergambar dua proklamator negara ini.
Ternyata meski telah tiada, dua bapak bangsa ini masih ramah menyapa anak negeri yang terlantar.
“Jauh, Om. Apa ini, Om?” timpal anak lelaki tersebut.
“Ini uang buat kalian, tapi dikasih ke Ibu, ya.”
“Uang apa ini, Om? Enggak mau, ah, Om. Nanti enggak laku.”
Sang lelaki terkejut dengan jawaban dan ekspresi anak tersebut. Bukan mereka menolak. Tapi mereka tak pernah melihat uang yang begini. Disangka tak laku. Tak pernah. Tak biasa.
***
Hening.

Masih 60 detik lagi sebelum lampu hijau menyala.
"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara." (Pasal 34 (1) UUD 1945)
10.57 Diposting oleh Taufik Aulia Rahmat 0