LKMM Madya di Tengah Sorotan
Pengembangan sumber
daya manusia dalam dunia kampus khususnya mahasiswa sangat penting untuk
diberikan perhatian lebih dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kita semua
sepakat dalam sesuatu yang setia kita sebut kampus ini terdapat ribuan bahkan
ratusan ribu manusia dengan beragam bidang keahlian serta potensi yang bisa
dikembangkan. Untuk membentuk manusia Indonesia yang sempurna tidak cukup hanya
dengan proses akademik saja. Harus melihat dan mengembangkan segala potensi
yang ada.
“Berikan aku 1000
orang tua, maka akan kucabut Semeru dari akarnya. Tapi berikan aku 10 pemuda,
maka akan kuguncang dunia.” –Ir. Soekarno
Seperti itulah ilustrasi yang sangat tepat untuk menggambarkan amat
besarnya potensi yang terdapat pada diri pemuda khususnya mahasiswa. Sangat disayangkan
jika potensi ini terabaikan atau bahkan tak tersentuh. Maka, gagasan yang
dibawa tulisan ini adalah perlunya pola pengembangan sumber daya mahasiswa yang
efektif serta dinamis untuk memenuhi tuntutan zamannya.
Menyoroti pola
pengembangan sumber daya mahasiswa di Universitas Diponegoro, apa yang sudah
diterapkan sangat perlu diapresiasi. Sudah cukup baik konsepnya. Sudah banyak
event berupa seminar, training, workshop, dan forum dengan berbagai tema yang
beragam seperti leadership, manajemen organisasi, riset dan teknologi, dan
entrepreneurship. Event-event ini selelu ada tiap tahunnya. Semakin kesini
kesadaran akan pengembangan SDM semakin meningkat.
Dan bicara tentang
alur kaderisasi baku, ini pun sudah disepakati dan diterapkan. Penerimaan Mahasiswa
Baru (PMB), LKMM Pra Dasar, Leadership Training, LKMM Dasar, dan LKMM Madya.
Masing-masing jenjang diperuntukka untuk mahasiswa tingkat tertentu, dari PMB
untuk mahasiswa baru hingga LKMM Madya untuk mahasiswa tahun ketiga. Tiap jenjang
ini ada adalah untuk mempersiapkan mahasiswa yang telah diseleksi untuk naik
dan memimpin di jenjang berikutnya. Kita semua tahu bahwa pemimpin itu tak
lahir sekonyong-konyong, tapi ia dipersiapkan, agar tak putus rantai perjuangan
yang telah dibangun.
Secara keseluruhan
semua jenjang sudah terlaksana dengan cukup baik. Tapi tulisan ini hendak
sedikit saja memberi masukan dan kritik halus tentang pelaksanaan LKMM Madya
yang sedang berlangsung saat tulisan ini dibuat. *karena taka da laptop dan
modem, maka belum dipublish kemarin*. Taka da maksud lain kecuali hanya ingin
kebaikan dan pengembangan yang dinamis untuk LKMM Madya berikutnya.
Hotel di tengah
semilirnya angin Bandungan dengan fasilitas spring bed yang empuk, televisi,
dan air panas, hall yang cukup luas, coffee break tiga kali sehari, makan tiga
kali sehari; dan ini semua adalah fasilitas yang didapat oleh peserta. Tentu ini
sangat baik dan perlu dipertahankan sebab ini memberikan kenyamanan dan
menyokong peserta mengikuti dan menyerap semua materi yang disampaikan dalam
LKMM Madya 2012 ini.
Namun di sisi lain
ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki ke depannya. Pertama,
penyelenggaraan LKMM Madya dan sosialisasi serta seleksinya sangat mendadak
sehingga kesannya penyelenggara dalam hal ini rektorat terkesan terburu-buru
atau mengejar sesuatu. Ini yang terjadi pada tiap fakultas, sosialisasi, pendaftaran,
seleksi, dan pelaksanaan LKMM Madya 2012 selesai hanya dalam satu pecan, lebih
tepatnya enam hari. Poin pertama ini terlepas dari persiapan acara, pemandu,
dan lain sebagainya.
Kedua, management
event dari penyelenggara terkesan kurang professional. Pasalnya banyak hal yang
menguatkan argument kedua ini. Tampak dari timing yang mundur dari rundown
acara, pembagian tugas serta perlengkapan acara yang kurang siap dan detil—peserta
bisa mengamati. Padahal inti dari LKMM Madya ini adalah ‘keterampilan manajemen’.
Ironis rasanya, kita mengajari manajemen, tapi ada yg kurang siap dari
manajemen kita. Banyak komentar yang muncul dari para peserta bahwa management
event dari event-event yang mereka gawangi seperti LKMM PD, LT, hingga LKMM
Dasar, masih lebih baik dari yang sekarang, meskipun dengan dana minim. Saya sepakat
dengan ini. Hal ini sangat perlu menjadi perhatian semua pihak untuk segera
diperbaiki mengingat nama acara ini adalah ‘…keterampilan manajemen….’.
Ketiga, dan ini yang
paling penting, yakni konten materi. Secara general, materi yang disajikan
mencakup pengembangan wawasan dan pengembangan sikap dan keterampilan. Dalam
pengamatan penulis, dari 13 sesi materi dan diskusi hanya tiga sesi yang membahas
karakter dan integritas bangsa. Selebihnya adalah mengenai manajemen
organisasi.
Tentang poin ketiga
ini harus benar-benar mendapat perhatian dari banyak pihak. Pasalnya ini sudah
turun temurun, bahkan slide presentasi yang sekarang pun sama denga tahun
kemarin—komentar peserta LKMM Madya 2011 saat mendengar bahwa ada gambar tidak
senonoh di slide. Permasalahan intinya bukan pada slide. Tapi lebih kepada konten
dan apa yang disampaikan.
Dalam ekspektasi
peserta, pada level LKMM Madya ini peserta akan diajak lebih banyak untuk
berpikir tentang peran mereka dan organisasinya dalam membangun Indonesia,
berdiskusi tentang beragam pemikiran dan masalah. Tak sekadar membahas manajemen
organisasi. Mayoritas peserta adalah tahun ketiga, sangat penting rasanya untuk
segera diajak secara aktif memikirkan masalah bangsanya. Sudah saatnya pada
tingkatan kaderisasi madya ini para mahasiswa memikirkan perannya untuk
bangsanya.
Hal ini bukan
berarti bahwa konten manajemen organisasi tidak penting, dan bukan juga bahwa
peserta sudah expert dalam hal manajemen organisasi. Tapi perkembangan zaman
telah memberi ruang lebih kepada peserta untuk dapat belajar banyak tentang
manajemen organisasi dalam waktu dua tahun yang sudah dilalui dengan beragam momen
dan event yang ada. Seperti pembuka tulisan ini, bahwa hari ini sudah banyak
event yang memberi semangat dan pemahaman tentang banyak hal, mulai dari
organisasi dan leadership hingga entrepreneurship.
Maka sangat bijak
jika kita memahami realitas zaman hari ini. Zaman memiliki tuntutan lain dan
lebih. Dan lebih bijak lagi jika kita melakukan ekspansi pada konten materi
LKMM Madya di tahun berikutnya.
Pernah pada satu
sesi ada seorang peserta yang mencoba menyampaikan pendapatnya tentang konten
materi yang sangat fokus pada manajemen organisasi. Tanggapannya adalah ‘kita
beda perspektif’. Atau malah dijawab bahwa kurikulum standar dari dikti ya
seperti ini—seperti pada buku biru yang dibagikan satu per satu itu.
Nah, dalam
pandangan penulis justru disinilah titik kritisnya. Kita terjebak dalam kotak. Kita
sangat saklek terhadap aturan dan kurikulum. Tuntutannya adalah agar kita
berpikir bukan lagi di luar kotak, tapi tanpa kotak. Kita bisa berpikir dan
memutuskan sesuatu sesuai kebutuhan. Katakanlah lebih fleksibel. Permasalahannya
LKMM Madya ini bukan untuk memenuhi laporan pertanggungjawaban saja, tapi
memenuhi kebutuhan zaman. Konten materi penulis rasa masih bisa diperluas.
Berdasar pada
statement Ir. Soekarno di atas, dengan apakah beliau akan mengguncang dunia? Dengan
pemuda yang lihai dalam skill manajerial organisasi dan analisis SWOTnya? Jelas
tidak, tapi sebelum itu adalah pemuda yang kenal siapa dirinya, perannya, dan
bangsanya.
***
Sebagai penutup,
tulisan ini tidak ditujukan kepada
personal. Tulisan ini hanyalah reaksi atas nama kepedulian. Tulisan ini
sangat menghargai semua pihak penyelenggara terutama bagian minarik yang sangat
baik dalam penyelenggaraan. Tulisan ini hanya ingin sedikit saja menyentuh hati
dan pikiran pengambil kebijakan.
Sampah-sampah, jangan dibuang!
Keren! Orang-orang heboh soal film ini udah
berbulan-bulan yang lewat. Iya, nama filmnya Omar. Dan saya baru
sekarang kebagian hebohnya. Karena saya baru nonton dengan penuh pneghayatan. Liatin
gambarnya sampai khusyuk bacain subtitlenya.
Dan dialah Umar bin Khaththab ra Sang Pejuang sejati. Awalnya
ia seperti menolak kehadiran risalah yang dibawa Rasulullah. Tapi ternyata
bukan. Dia hanya kokoh pikiran dan akalnya. Dia tampak sangat elegan dan
independen sekali dalam tiap tindakan dan keputusan pribadinya ketika
berdiskusi dengan Abu Jahl dan kroni-kroninya. Dia berpikir bebas dan lepas. Dengan
sudut pandang yang adil dan objektif, terbebas dari kepentingan pribadi atau
golongan. Dia kokoh memegang prinsip-prinsip yang menurut dia benar. Tidak asal
ikut kemana arah angina bertiup. Inilah integritas. Dan nyatalah ternyata sosok
Umar ini benar-benar sangat tinggi dan kuat integritasnya. Ketika kalam-kalam
Rabb-nya terbaca olehnya (QS. Thaaha), baginya yang hitam tetap hitam, yang
putih tetap putih. Bukti integritas dan independensinya adalah ia mampu memilih
dengan bebas untuk segera bersaksi dan berkomitmen kepada Allah dan Muhammad
saw. Tanpa berpikir panjang tentang klan (suku) beliau, tentang omongan orang,
dan lainnya.
Bener-bener top markotop ini film *meski rada susah
juga bacain subtitlenya mulu*. Banyak prinsip yang bisa dijadikan hikmah. Ah,
terlalu panjang ini intronya. Sebenarnya saya bukan mau bahas film ini atau
sosok Umar bin Khaththab ra yang luar biasa hebat. Di tulisan ini saya Cuma mau
nyampah, cuma mau sepik-sepik doang, Cuma mau talk doang *tapi talking and
writing itu juga action lho*. Yap, sampah yang kamu baca ini cocok untuk dibaca
semua kalangan; anak-anak, dewasa; semua agama; dan semua ras. *Opo tho Le Le*.
Disini sampahnya adalah tentang diri kita, lebih focus lagi tentang integritas,
indepedensi sebagai pribadi dan manusia. Dan sampah ini bakalan nyepik lebih
dalam lagi tentang sosok pemimpin kita hari ini. *Monggo mau didefinisiin diri
sendiri, kepala keluarga, ketua RT, ato Pak Presiden (temennya Pak Bud)*
Saya punya KBBI elektronik *agaknya ini ga cukup untuk
masuk landasan teori*, tapi bolehlah saya tengok sedikit apa sih yang KBBI
elektronik ini bilang tentang integritas. Integritas itu mutu, sifat, atau
keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Yah, kira-kira begitulah. Sederhananya integritas itu
adalah kesetiaan pada apa yang benar. Itu saja. Mungkin dimensi kebenaran buat
kita itu yang susah untuk medefinisikannya. Tapi cukuplah akal dan hati manusia
yang bermain disini. Tak usah banyak berdebat tentang dimana itu kebenaran. Karena
yang benar itu Cuma satu, ya yang kau yakini benar itulah *dengan jujur tapi
ya, ga pake ikut-ikutan orang lain atau terpengaruh sentiment antar kelompok*.
Integritas itu kau jujur pada nurani. Integritas itu
kau utuh sebagai pribadi dan manusia, tak perlu dikurangi atau ditambahi orang
lain. Integritas itu kau independen, merdeka dan bebas dengan pilihan-pilihan
kebenaranmu. Integritas itu lurus antara perkataan dan perbuatan. Integritas itu
satu, kesatuan antara raga, jiwa, pikiran, dan imanmu. *hahaha abstrak n normatif
sekali*
Tak banyak saya menyampahi itegritas. Sekarang sampah
berikutnya adalah pertanyaan tentang kemana integritas kita?
Dan tentang independensi, kalau yang dimaksud adalah
kemerdekaan atau kebebasan dengan integritasnya jelas sangat sepakat. Sangat
kasihan orang-orang yang integritasnya tak utuh lagi terjajah *yuk evaluasi
diri masing-masing*. Merdeka, Bung!
Ah, saya bukan mahasiswa cerdas. Saya tak pandai
menulis, apalagi retorika. *Huuweeeekkk, muntah*. Saya berikut tulisan ini
hanyalah sampah, sampah yang merealita di tengah kita. Dan sekarang adalah
gilirannya sampah ini bercerita tentang kejengahannya tadi siang.
“Bro, motormu
mau kau pakai tak?”
“Iya, ini mau
ke bawah.”
*aaaahhhh…
pelit kali kau!*
“Nah ada Eko,
pinjam motormu dong, Ko. Mau ngumpulin berkas ini ke PKM plus minta KHS. Boleh,
ya?”
“Iya, nih pake
aja.”
*alamaaakk
baik kali*
Bingung? Ya,
bukan ini yang mau saya ceritakan. *hahaha benar-benar sampah, kan?*
Kemarin saya yang jualas susu pasteurisasi ini dibuat bingung kala melihat
pangkalan susu tempat biasa saya restock dipenuhi laki-laki tegap badan berisi
dengan pakaian hijau loreng-loreng. TNI, Cuy! OMG! Apa susu yang saya jual ini
beracun atau mengandung senjata kimia yang menularkan virus mematikan? *Nyampah
lagi*
Rupanya Senin kemarin ada gladi bersih pengamanan Pak
Boed *ini Wakil Presiden kita lho, bukan yang jual angkringan depan mushola*.
Dan hari ini, Selasa, Pak Boed tepat datang dan lewat ketika saya sudah
terpaksa nyasar sampai hamper di Sumurboto. Padahal saya mau ke kampus. Yang ada
saya malah disuruh Pak Pol “lurus aja mas, lewat sana”. Ya saya percaya. Saya
lurus. Tapi kok ga ada jalan yang bisa untuk masuk kampus? Semua ditutup dengan
barisan-barisan tentara kita. Tak dinyana Pak Boed lewat di depan saya. Dan saya
baru paham kenapa semua ditutup. Setelah itu dibuka lagi.
Tapi secara spontan dan sangat subjektif saya ingin
nyampah sekali lagi. Ini kok Pak Wapres kita malah mengacaukan lalu lintas? Ratusan
manusia tadi siang berjibaku dan berjubel di jalanan tanpa arah sambil
berdesak-desakan. Wah, bukannya kasih solusi kemacetan, malah nambah masalah.
*Wuuh sampah banget paragraph ini*.
Idih, pengamanannya lebay banget, saya baru bisa ambil
stok susu jam sebelas kurang gara-gara pengamanan yang kayak begini. Lah, malah
menghambat rezeki. *hahaha rezeki itu diatur Allah Le*. Alhamdulillahnya habis
semua kok. *tepuk tangan, sujud syukur*. Pak Boed banyak musuh apa ya? Takut
teroris? Yah, berlebihan! *Subjektif dan spontan? Emang!*
Tapi tak apa juga sih, upaya preventif kok. Secara
beliau orang besar. Oh iya, tadi katanya adik-adik SD menyambut kedatangan Pak
Wapres di pinggir jalan. Seneng banget kalo jadi adik-adik ini ya. Tapi di
posisi saya sekarang, itu miris. Kenapa Pak Wapres tidak turun untuk sekadar
memberi do’a pada adik kita. Simple sih, tapi imposible buat beliau. *kan kita
butuh pemimpin yang simpatik dan membumi tho?*
Eh yang buat saya kaget ada sebaris brimob di depan
polines seperti sedang sholat berjamaah. Shaf rapat. Pundak rapat. Kaki rapat.
Gila! Barisannya rapet banget! Oh rupanya di tengah-tengah itu ada sejumlah
mahasiswa yang ingin ‘menyambut’ Pak Wapres dengan tumpeng dan orasinya. Saya jadi
geli kalau denger kata ‘sejumlah’, ini kesannya banyak, tapi sebenernya relative
sedikit. Ah, sayang sekali saya pagi tadi tak jadi bagian orang-orang dengan
megaphone udangnya yang menganga ke udara itu. Tapi saya boleh geli sekali lagi
ya, gerakan kita masih kurang massif, masih sebatas sang penyelengara.
Pencerdasan massa serta follow up yang kurang. Aksi masih sebatas konsolidasi h-1,
besok demonstrasi, masuk media, dan sudah. *Ya emang gitu. Iya, gitu realitanya*.
Tapi saya tak pesimis, saya optimis. Diponegoro sedang tumbuh, dan akan jadi
besar.
Tapi herannya saya, di negara demokrasi *sori kalau salah*
ini bukannya boleh ya demonstrasi? Tapi kenapa sejumlah sedikit mahasiswa ini
diperlakukan dengan kasar ya? Padahal hanya ingin menyapa dengan caranya. Tak ada
peluru yang meyasar kok. Tak ada botol kaca yang terlempar kok. Tak ada kayu
yang menghantam kok. Atau karena kata-kata mereka yang membuat pasukan pengaman
takut Pak Boed tersinggung, sakit hati, sedih, atau galau? *sempit sekali
prediksi saya* Tapi Pak Boed pastilah lebih cerdas dan mengerti tentang tabiat
serta ‘labil’nya anak-anak muda ini. Polosnya=mereka ini peduli, punya
aspirasi, kritik, ingin didengar, cape dengan birokrasi yang berbelit serta
suara yang tak terwakili di kursi perwakilan rakyat.
(Berjalan
dengan gaya yang sengaja pongah dan dada membusung serta kepala sedikit
mendangak ke atas tepat di depan para lelaki pengaman)
“Hey Dek,
kalau jalan yang sopan sedikit dong!”
“Oh, bapak masih ngerti yang namanya sopan? Masih ngerti yang namanya santun?
Atau bapak hanya sopan dan santun pada orang yang memerintah bapak untuk
memberi pengamanan kualitas bintang 5? Sementara anak muda ‘ini’ hanyalah seonggok
sampah yang bisa kau bawa dengan serokan dan kau lempar ke dalam tong?”
Teruuss? Mana
korelasinya dengan integritas? *hahaha terserah saya yang nulis, kan nyampah*
Saya ga ragu lagi, peran-peran mahasiswa yang berupa
teori itu sekarang ibarat sampah bagi temen-temen. Udah sering denger, udah
tau. Udah hapal di luar kepala. Udah bolehlah kalau teori-teori itu mau
dibuang, yang penting sekarang action-nya. Sebel juga sih kalo liat anak-anak
muda adu argumen, adu kepentingan, atau malah terjebak dalam primordialismenya
(baca: aku yang hebat, aku yang pinter, aku yang benar), atau malah saling
tuding menyalahkan. Kita punya idealisme *bukan idealisme sampah*. Dan mana
integritasnya? Kok ga sehat? Mana budaya diskusi yang baik dan santun? Mana integritasnya?
Kok gak elegan? Mana ke-Indonesia-annya? Mana ke-bhineka-tunggal-ika-annya?
Udah selesai tuding-tudingan dan lalala-nya, terus
statement yang keluar: biarlah anjing menggonggong, kafila berlalu.
Hah, bener-bener sampah kan isi tulisan ini. Dan akhirnya
pun saya lega, sampah ini bisa keluar dari kepala saya lewat tulisan yang
sepik-sepiknya nyampah.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat
orang-orang yang bukan sampah untuk ga nyampah. Kalau ada sampah, mbok yo
disampu bareng-bareng. Bukan malah nambah kasih sampah. Mana yang solutif itu?
Kan kita cerdas. Kan kita Indonesia.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat orang-orang
yang bukan anjing menggonggong untuk menunjukkan bahwa kita masih benar-benar
sebagai manusia utuh dengan integritasnya. Masih manusia, bukan anjing kok.
Selamat menikmati sampah-sampah.
Permulaan
pagi, 17 Oktober 2012
Ini Wisudaku, wisudamu?
Pagi yang berbeda. Buatku ini sangat cerah.
Matahari seperti sedikit lebih cepat memanjat langit. Di luar sana kicau burung-burung
kecil bersaut-sautan, seperti suara Kutilang yang hampir tiap pagi berkicau
tiap pagi di kampung. Kupandangi halaman depan kos, rumput-rumput mulai lebat menghijau
bak permadani hijau. Akhirnya kemarau panjang sudah berakhir, dan rumput-rumput
kecil ini bisa kembali tersenyum padaku lewat butiran-butiran embun kecil di
atasnya yang membiaskan cahaya matahari ke mataku. Cantik. Secantik hari ini
serta orang yang paling bahagia dengan datangnya hari ini.
Terdengar suara krasak-krusuk dari dalam.
“Bang, lu ada kalkulator? Aku pinjam dulu… Duh, udah
telat nih.”
“Ambil saja di laci kedua. Disana ada bungkusan warna
abu-abu, disitu. Santai aja, jangan buru-buru.” Jawabku.
“Makasih, Bang. Gue berangkat dulu. Sukses ya buat
wisudanya! Assalammu’alaykum.”
“Yo. Ojo lali ntar dateng ya. Wa’alaykumsalam!”
Tak lama terdengar suara motor yang segera tancap gas.
Handphoneku bordering.
“Pik, kok lama betul? Mamak sama Bapak udah siap nih.”
“Iya, Mak. Sebentar lagi Opik kesana. Lagi manasin
mobil.”
Ayah dan Ibuku sudah tak sabar untuk acara yang
dinanti.
Aku teringat sesuatu.
“Mas, ojo lali jemput dulur-dulurku di hotel ya. Jam 8
teng udah di kampus ya.”
“Njeh, Mas.”
Aku meminta supir mobil yang kusewa untuk menjemput
saudara-saudaraku yang jauh-jauh datang ke Semarang.
Hari ini benar-benar hari yang cerah untuk
jiwa yang cerah dan rezeki berlimpah. Seakan hari ini mengerti bahwa dia adalah
special, untukku, ayah ibuku, dan orang-orang yang kucintai, dan orang yang
kucintai. Aku sudah siap, toga kebanggaan juga sudah siap. Baru selangkah kaki
keluar, angin semilir mengalir lembut di wajahku. Mobil sudah siap. Segera aku
pergi menjemput ayah dan ibu yang baru sampai semalam dan menginap di hotel
yang sudah dari jauh hari kubooking.
Hari ini, 24 April 2014, Tembalang seperti
biasa, mulai ramai ketika jarum jam naik di angkat tujuh, mobil dan kendaraan
motor lain berlalu lalang. Bahkan aku harus bersabar dengan macet di Patung
Diponegoro—masih ingat kalau orang-orang selalu menyebutnya Patung Kuda. Tadi
tampak sangat ramai mobil-mobil luar kota memenuhi jalanan antara Masjid Kampus
dengan Gedung Prof. Sudharto, SH. Sepertinya mereka sama seperti ayah ibuku dan
saudara-saudaraku, datang dari jauh untuk melihat anaknya wisuda.
Sampai di hotel, orang tua dan sanak
saudara sudah stand by menunggu di lobi. Kusalami tangan ayah dan ibu, segera
memeluk hangat. Tanpa menunggu lama, segera kami menuju Tembalang. Mata
berbinar dan senyuman berseri di wajah mereka memberiku isyarat tentang
kepuasan dan kebanggaan mereka padaku. Guratan-guratan di wajah mereka yang
dimakan waktu seperi bicara padaku tentang perjuangan mereka yang harus bangun
pukul tiga pagi untuk menyiapkan nasi uduk dan lontong sayur yang akan dijual
pagi-pagi pukul 06.00 dan tentang perjuangan mereka yang harus pergi ke Jambi,
Palembang, Jakarta, dan pulang dua bulan sekali untuk mencari jalan untuk terus
menghidupiku. Aku ingat sekali masa-masa itu. Dan kedua orang tuaku inilah yang
memberiku arti dan mengerti tentang hakikat hidup: kau adalah hamba yang harus
mendekat sepenuhnya kepada penciptamu, tak peduli kau miskin atau kaya, surga
tak pernah dinilai dengan uangmu, tapi kau harus bersyukur dalam hidupmu baik
susah atau senang, sejatinya setiap yang terjadi dalam hidup patut disyukuri,
karena sesuatu yang mengharuskanmu bersabar pun adalah juga nikmat yang perlu
disyukuri sebab ia membuatmu menjadi sabar dan lebih dekat pada Allah yang
menghidupkan dan mematikan. Mereka juga mengajariku survive dan bertahan dalam
hidup ini dengan cara yang lurus untuk kemudian meraih prestasi
setinggi-tingginya.
***
Gerbang III Undip lebih ramai dari
biasanya. Satpam-satpam berdiri gagah mengatur lalu lintas. Jalanan dipenuhi
hiruk-pikuk mahasiswa yang saling berpacu dengan kendaraannya. Gedung-gedung Undip
tampak begitu megah. Lebih tepatnya indah. Tak hanya itu, mobil-mobil luar kota
yang tadi kutemui di depan Masjid Kampus telah rapi berjejer parkir di tepian
jalan depan Gedung Sukowati. Aku sedikit bingung harus parkir dimana.
Subhanallah aku lagi-lagi sangat gembira.
Kulihat ayah dan ibuku senyum sumringah melihat suasana yang amat ramai,
apalagi akan melihatku di wisuda. Tepat seperti yang beberapa tahun lalu
kubayangkan, orang tua dan saudaraku memakai seragam batik terbaik yang sudah
kupesan di pabrik terbaik Pekalongan.
Ayahku sudah pernah berkunjung kesini,
ketika aku pertama masuk kuliah. Tapi untuk Ibu dan sanak-saudaraku ini adalah
kali pertamanya.
“Bang Opik, beda banget ya sama SMAnya Abang di
Lampung.” Celoteh keponakanku.
“Haha iya…”
Sepanjang jalan tadi dari Gerbang I sampai
disni mereka tampah kagum melihat bangunan dan tata ruang di Universitas
Diponegoro. Jujur aku pun begitu. Dulu ketika tahun 2010 saat awal kutiba di
Undip, masjid kampus yang megah itu baru saja selesai pembangunannya. Dan
sekarang sudah tiga kali renovasi. Gedung Dekanat Fakultas Teknik yang dulu
sempat mangkrak lebih dari setahun sekarang sudah berdiri gagah di dekat Widya
Puraya. Jurusanku, Sistem Komputer sekarang sudah memiliki gedung sendiri,
gedung megah berlantai tujuh. Pemandangan yang sangat hijau selalu tertangkap
mata kemanapun memandang. Tak hanya pembangunan fisiknya, tapi riset dan
prestasi dari civitas akademika semakin menanjak. Dan hari ini Undip telah
berubah, semua sudah saling sinergi. Tak ada lagi kecurigaan, sebab rektorat
dan dekanat memberikan transparasi yang memuaskan. Tak ada lagi protes-protes
keras dari mahasiswa, seperi masalah UKT dan Diploma Teknik Undip yang dulu
sempat menjadi masalah, sebab pelayanan dari rektorat dan dekanat sudah sangat
baik. Mahasiswanya pun semakin dewasa dan cerdas, lebih mengedepankan
intelektualitas, profesionalisme, dan persamaan dari pada perbedaan organisasi,
ideology, dan pemikiran. Kepentingan mereka disini Cuma satu, “Undip Jaya untuk
Indonesia Jaya!” Aku akhirnya bisa meninggalkan kampus ini dengan tenang
setelah perjuangan yang cukup panjang dengan teman-temanku di jurusan,
fakultas, dan universitas.
“Mak, Pak, nanti Mamak sama Bapak duduk di depan sana
ya Mak, Pak. Sudah Opik pesankan ke panitia untuk menyediakan dua kursi kosong
di depan.”
***
Kejutan bagi orang tua dan keluargaku,
namaku dipanggil untuk menyampaikan pidato wisudawan terbaik. Aku pun segera
menuju podium dengan langkah sigap. Aku berpidato seperti dulu aku sering orasi
di jalanan. Kadang aku berapi-api, kadang aku menurunkan intonasi. Aku sempat
menitikkan air mata, sedikit, ketika kumengucap terimakasih untuk ayah dan ibu,
kumelihat hal yang sama terjadi pada mata mereka berdua, titik air mata itu
lebih deras. Bukan air mata kesedihan, tapi wujud kebahagiaan, kepuasan dan
kebanggaan. Seperti rasanya perjuangan mereka selama ini telah terbayar. Namun
sesungguhnya aku menyadari, ini belum seberapa dibanding perjuangan mereka, dan
tak akan pernah lunas aku membayar semua itu meski dengan segenap jiwa, raga,
dan harta. Itulah yang menguatkanku di saat kulemah untuk kemudian berdiri,
kembali berlari, dan berkerja-berkarya.
“Mak, Pak, sekarang semuanya terbukti. Keajaiban yang
selalu Mamak dan Bapak ceritakan ke Opik itu benar-benar ada. Hari ini kita
semua menyaksikannya. Opik mohon maaf dulu terlalu sering mengeluh, Mak, Pak.
Yang luar biasa Mamak dan Bapak selalu saja mampu tersenyum dengan ringan, lalu
membangkitkan kembali semangat dan keyakinan Opik.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu kita semua
bersepakat supaya Opik kuliah di kedokteran? Tapi kenyataan kala itu tak
sepakat. Kita semua harus menerima hal yang mungkin untuk kita sulit. Dan opik
tahu, ini lebih sulit lagi buat Mamak dan Bapak. Opik sayang sekali sama Mamak
dan Bapak. Cuma Mamak dan Bapak yang menguatkan Opik untuk tetap optimis apapun
kondisinya. Yang kita yakini kala itu adalah Allah punya rencana yang sangat
indah. Kejutan dari surga.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu orang-orang seperti
ragu dengan tanyanya: “Hah, si Topik bisa kuliah?” Dan Allah selalu menjadi
penolong dan pengobat lelah dan sakit yang terasa. Kini kejutan surga telah
membungkam semua keraguan orang-orang yang meremehkan itu. Terimakasih Mak Pak,
sudah mengenalkan Opik pada pemilik kekayaan dan kekuatan sesungguhnya. Dia-lah
yang selama ini mendengar do’a-do’a Opik, do’a-do’a Mamak dan Bapak kala malam
akan berakhir.
Mak, Pak, terimakasih sudah memberi Opik semuanya.
Bukan harta yang paling penting, tapi pengajaran, tentang Tuhan dan hidup.
Mamak dan Bapak adalah malaikat yang Allah turunkan ke dunia untuk Opik. …”
Hadirin memberikan standing applause saat
kusampaikan cerita perjuanganku dan orang tuaku. Dan terulang kembali saat
kuturun podium.
Semua prosesi wisuda telah selesai. Luar
biasa! Ayah dan ibu memelukku erat. Sangat hangat. Di luar menjadi surprise
buatku, kawan dan adik-adik dari jurusan, HIMASKOM, BEM, KAMMI, U-Win
Indonesia, semua menyambutku memberi selamat. Mereka berjejer rapi dengan MMT
yang sepertinya sudah jauh-jauh hari dipesan. Dulu aku pernah mengalami ini,
tapi di posisi pemegang MMT. Subhanallah. Hari ini aku menjadi objeknya.
Moment ini tak kusiakan, kupeluk merka erat
satu per satu. Lalu berpose ria dalam sesi foto bareng seperti tak akan bertemu
lagi.
“Bang, traktiran ya.”
“Oh, iya. Hampir lupa. Nanti malam kalian datang ya. Kita
syukuran.”
Semua tampak gembira, tapi di sisi lain,
ada sedih yang menanti. Aku harus meninggalkan Semarang esok hari. Perusahaanku
(OneLine Technology Group, Perusahaan semikonduktor Indonesia yang berpusat di
Bandung) dan NGO OPOPPY (One Person One Pon per Year) tak bisa lama-lama
kutinggal. Aku harus bersiap untuk berlari dan terbang menggapai mimpi-mimpi
selanjutnya.
Di dinding kamar kos yang sudah beberapa
tahun ini sudah banyak garis merah menutupi daftar mimpiku. Tapi masih banyak
lagi yang akan kutulis. Seperti mimpiku di awal, rumah sakit di tiap daerah
Indonesia. Sebentar lagi terwujud insyaallah. Aamiin.
--To be continued—
Menjelang Maghrib
Semarang, 13 Oktober 2012
Kadang kita terlalu malu untuk menvisualisasikan impian, meski hanya dalam bayangan. Dan ini adalah visualisasi impian lewat tulisan. Semoga lebih berkah.
Kebijakan Publik: Teknik untuk Indonesia #PartLKMMDasarFT
Bisa diakses juga di Chirpstory
disini
Peran Kita yang Setia dengan Idealismenya
Peran yang
Setia dengan Idealismenya
Oleh: Taufik Aulia Rahmat
Dunia kampus benar-benar memberi pemahaman yang sangat berbeda dibanding
ketika dulu masih duduk di bangku sekolah. Pemahaman yang tidak lagi berkutat
pada ‘aku’. Tapi pemahaman yang mulai peduli tentang ‘mereka’ dan ‘kita’
sebagai manusia dan bangsa. Pemahaman ini memberikan saya kesadaran tentang
idealisme khas mahasiswa dan realitas yang kadang membuat idealisme tidak mampu
berbicara banyak.
Idealisme khas mahasiswa yang saya maksud adalah sama seperti pemahaman
dan keyakinan anak-anak muda generasi 1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998, dimana
mereka adalah orang yang bebas dan merdeka dalam berpikir, mengekspresikan ide
dan gagasannya sebagai kaum intelektual. Dan menginginkan kemerdekaan dan
kejayaan untuk bangsanya. Yang saya kagumi dari mereka adalah mereka
orang-orang dengan kapasitas dan prestasi luar biasa, namun memiliki akar yang
kuat, yang tetap menyerap sari-sari pati kehidupan dan kebaikan (grass root
understanding but have world competence).
Idealisme tersebut mengakar kuat dalam jiwa dan muncul ke permukaan
sebagai integritas dan kredibilitas yang tinggi sebagai anak bangsa. Idealisme
ini selalu berlaku tanpa ada masa kadaluarsa, selalu diwariskan dari generasi
ke generasi untuk melanjutkan perubahan yang dinanti. Idealisme ini muncul
tanpa dipaksa, murni dari dasar nurani dengan kesadaran tinggi dan kecintaan
yang mendalam.
Tanpa perlu pretensi, setiap pemuda mewarisi idealisme ini dengan
sepenuh hati. Idealisme yang menjiwai setiap perubahan. Idealisme yang
mengajarkan turun ke jalan, bukan hanya sekadar demonstrasi dan orasi. Tapi
aksi nyata membangun negeri berupa aksi kongkrit terjun langsung ke
tengah-tengah masyarakat tempat kita dibesarkan sebagai aktualisasi dari gelar
kaum intelektual yang disandang. Idealisme ini mengajarkan keberanian dalam
bertindak dan tanggung jawab bahwa masa kini dan masa depan negeri ini ada di
tangan anak-anak muda.
Hingga sejarah bercerita kepada kita bahwa sejarah negeri ini adalah
cerita anak-anak muda. Tahun 1908 menjadi momentum kebangkitan. Tahun 1928 menjadi
momentum penyadaran tentang kesamaan(bukan perbedaan), persatuan, dan kesatuan.
Tahun 1945 merupakan momentum yang dinanti dari perjuangan panjang untuk
mengumandangkan kedaulatan di tanah sendiri. Tahun 1966 merupakan akhir dari
PKI di Indonesia dan awal orde baru. Dan pada 1998 terjadi peristiwa besar yang
menjadi momentum perantara kita menuju era sekarang.
Pada setiap momentum perubahan, pemuda terpelajar selalu ada di depan
dan sangat penting perannya. Mereka menjadi inisiator sekaligus motor perubahan.
Bahkan pada titik tertentu mereka menjadi katalisator yang memaksa dan memberi
arah perubahan. Setiap jaman ada rijalnya.
Saya sadar betul bahwa rijal atau pemuda terpelajar di zaman ini salah
satunya adalah saya. Berbeda ketika dulu di masa sebelum kuliah, saya adalah
anak kecil ingusan yang fokus hidupnya hanya seputar ego dan pemenuhan
kebutuhan pribadi. Dan kini saya berada pada fase yang pernah dilalui
orang-orang besar pengusung perubahan dulu, yakni mahasiswa.
Sebenarnya sudah sejak SMA saya dikenalkan dengan sesuatu bernama agent
of change, iron stock, dan social control. Tapi ketika itu
masih belum membekas dan hanya sekadar tahu saja. Dan sekarang saya hadir di
lingkungan kampus yang mengajarkan banyak hal, termasuk idealisme ‘jalanan’ ala
mahasiswa. Sepertinya saya benar-benar mewarisi idealisme tersebut.
Semakin kesini saya semakin sadar, idealisme warisan itu kini mendapat
banyak tantangan seiring perkembangan zaman. Apa jadinya ketika idealisme tak
sesuai realita atau realita tak sesuai idealisme?
Globalisasi yang menghantui
Saya sempat tertawa membaca ilustrasi di notes Facebook-nya Bang
Ridwansyah Yusuf Achmad, Presiden KM ITB 2009-2010, tentang globalisasi.
Seseorang sempat ditanya perihal globalisasi.
Pertanyaan : “Apakah contoh yang paling kongkrit dari Globalisasi?”
Jawaban : “Kematian Lady Diana.”
Penasaran : “Bagaimana bisa seperti itu?”
Jawaban : “Lady Diana adalah orang Inggris yang mempunyai pacar orang
Mesir, mengalami kecelakaan di sebuah terowongan di Perancis saat mengendarai
mobil buatan Jerman yang mesinnya berasal dari Belanda. Supirnya orang Belgia
yang mabuk karena minum whiskey Skotlandia.
Saat terjadinya kecelakaan itu, Sang Putri sedang dikejar-kejar paparazzi
asal Italia yang mengendarai sepeda motor buatan Jepang. Sebelum meninggal,
Lady Diana dirawat oleh seorang doktor Amerika dengan obat-obatan yang
diproduksi di Brazil. Dan tulisan ini mulanya dikirim oleh seorang Armenia
menggunakan teknologi Bill Gate.
Ketika Anda sedang membaca tulisan ini kemungkinan menggunakan salah
perangkat komputer atau handphone yg memakai chip buatan Taiwan
dengan monitor buatan Korea yang dirakit buruh-buruh asal Filipina di sebuah
pabrik di Singapura. Diangkut dengan kereta oleh orang India dan dibajak oleh
orang Indonesia dan akhirnya dibeli oleh Anda.”
Nah, humor ilustrasi di atas mengambarkan
betapa globalisasi seperti meniadakan batas antarnegara. Menurut Anthony
Giddens, globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial tingkat dunia yang
mempertemukan erbagai tempat (lokalitas) sedemikian rupa sehingga
kejadia-kejadian yang terjadi di suatu daerah dipengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa yang berlangsung di tempat-tempat yang sangat jauh dan
demikian pula sebaliknya [1].
Globalisasi mempengaruhi tiap aspek kehidupan. Dalam praktiknya arus
informasi tiap detiknya dapat diakses kapan saja dan dimana saja, bahkan dalam
perdagangan pun sudah diberlakukan kawasan perdagangan bebas (free trade
area) yang bagi beberapa negara hal ini menjadi ancaman.
Sebuah
konsekuensi logis yang tercipta dari globalisasi adalah jejaring kerjasama yang
semakin lebar dan telah melewati batas geografis, etnis, agama, bahkan idealisme. Bagi
Indonesia tampaknya hal ini masih menjadi ancaman. Kita semua menyaksikan
banyak produk-produk luar negeri masuk ke pasar-pasar Indonesia. Mulai dari
barang elektronik berwujud telepon seluler dilengkapi televisi hingga tusuk
gigi pun diimpor. Masyarakat ekonomi di negeri ini seperti sangat sulit
bersaing dengan produk-produk buatan Cina yang terkenal murah-meriah.
Sisi lain dari globalisasi adalah berkembang pesatnya teknologi informasi
dan komunikasi. Siapapun bisa mengakses informasi yang terjadi di belahan bumi
manapun. Berkembangnya jejaring sosial media pun membawa dampak yang luar
biasa. Seseorang dapat menjadi sangat terkenal hanya dengan mengunggah video lipsing
atau tarian caiyya caiyya ala Norman Kamaru. Bahkan revolusi Mesir
hingga menumbangkan Husni Mubarrak tidak lepas dari peran jejaring sosial
media.
Zaman sudah berubah, globalisasi memberi warna tersendiri bagi zaman ini
dan orang-orangnya. Hadirnya globalisasi hari ini lebih seperti ancaman atau
momok yang menakutkan. Semula globalisasi diharapkan mampu menjanjikan masa
depan dunia yang lebih indah. Tapi kenyataannya dunia—termasuk Indonesia
dipaksa untuk menerima bahwa sistim ekonomi yang paling produktif adalah sistim
yang ramah pada pasar. Maka jadilah pasar Indonesia sebagai pasar dengan watak market-friendly.
Kita dipaksa lupa bahwa pasar tak pernah punya nurani, seratus persen mencari
profit tanpa mempertimbangkan apa pun juga. Bila kita cermati, kesenjangan
antara yang kaya dan yang miskin cenderung makin menganga lebar. Di akhir
dasawarsa 1990-an, 20 persen penduduk dunia yang hidup di negara maju menikmati
86 persen penghasilan dunia, sedangkan 20 persen paling bawah hanya mendapat 1 persen
penghasilan dunia. Sekitar 1/6 penduduk dunia berpenghasilan kurang dari satu
dolar sehari. [2].
Belum lagi di negeri ini terdapat banyak sekali korporasi-korporasi
besar yang mencengkeram kencang tanah-tanahnya, bahkan sampai mencekik leher
rakyat-rakyatnya. Korporasi-korporasi besar tersebut dengan mudah mendikte,
bahkan kadang-kadang membeli pemerintah meloloskan keinginan mereka. Sebut saja
Freeport yang sejak dahulu sudah mengobrak-abrik kesucian ibu pertiwi di Papua.
Di sisi lain sumber daya alam kita terus saja dikeruk dan dihabisi. Menurut data
British Petroleum Statistical Review, Indonesia hanya memiliki cadangan
batubara sebesar 4,3 miliar ton atau 0,5 persen dari total cadangan batubara
dunia menjadi pemasok utama batubara China yang memiliki cadangan batubara
sebesar 114,5 miliar ton atau 13,9 persen dari total cadangan batubara dunia.
Saat ini, Indonesia telah mengekspor 240 juta ton dari rata-rata produksi 340
juta ton per tahun. Di sektor migas, penguasaan cadangan migas juga masih
didominasi oleh perusahaan asing. Dari total 225 blok yang dikelola kontraktor
kontrak kerjasama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28
blok yang dioperasikan perusahaan nasional, dan 77 blok sisanya dioperasikan
oleh perusahaan gabungan asing dan lokal [3].
Globalisasi dapat menjadi ancaman juga sekaligus tantangan. Tergantung
darimana sudut pandang kita melihat. Akan lebih baik jika kita memilih pendapat
bahwa globalisasi adalah tantangan. Tantangan untuk lebih kreatif agar bisa survive
dari serangan produk-produk luar negeri dan mampu bersaing di perdagangan
internasional. Tantangan bagaimana pendidikan, riset, dan teknologi, kita mampu
menyusul dan melampaui negara-negara maju. Tantangan untuk mampu menguasai
teknologi informasi dan mengontrol masuknya nilai-nilai dari luar yang bisa
mempengaruhi karakter anak-anak remaja khususnya dan masyarakat secara umum.
Tantangan bagaimana membebaskan negara ini dari belenggu-belenggu asing atas
penguasaan sumber dayanya.
Dengan demikian kita semua mafhum bahwa globalisasi yang terjadi
dengan didukung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi benar-benar
membawa ekses yang besar bagi dunia. Ia bisa menjadi tantangan, tapi juga bisa
menjadi ancaman bak momok yang menakutkan.
Konsolidasikan Gerakan Kita Segera
Kembali kepada idealisme ‘jalanan’ ala mahasiswa dengan realita kekinian
yang menghadang di depan. Kemudian kita melihat globalisasi ini juga memiliki
pengaruh yang demikian besar pula pada gerakan mahasiswa. Globalisasi juga
menjadi tantangan bagi gerakan pemuda dan mahasiswa hari ini. Tapi seketika
globalisasi bisa saja menjadi ancaman kala gerakan kita belum mampu membaca trend
globalisasi dan masih terjebak pada romantisme masa lalu di jalanan. Globalisasi
menuntut gerakan mahasiswa lebih terbuka, inovatif, dan dinamis agar dapat
selalu mengikuti ritme perkembangan globalisasi. Memang menjadi sebuah dilema,
apakah mahasiswa akan tetap bergerak dengan “gaya lama” yang bisa jadi selama
ini telah menuai banyak sejarah romantis yang sulit dilupakan, ataukah
mahasiswa bersedia mereposisi, dan merevitalisasi gerakannya agar dapat
diterima dan bermanfaat untuk masyarakat. Kunci utama dari perubahan ini adalah:
tetap dengan idealisme ala mahasiswa. Ini PR
kita bersama.
Nah, berikutnya yang akan kita hadapi adalah
mahasiswa itu sendiri. Perkembangan zaman juga telah mempengaruhi dan
mengarahkan pola pikir mahasiswa terjebak dalam arus yang cenderung
materialistis. Coba saja lakukan survei pada sebagian mahasiswa tentang apa
tujuan mereka mencari ilmu di perguruan tinggi. Kebanyakan akan menjawab supaya
mendapat pekerjaan yang layak, agar nanti dapat hidup dengan mapan dan nyaman.
Tak ada yang salah. Hanya saja yang jelas tampak adalah mahasiswa amat terpikat
dengan hal ini sehingga lupa dengan tanggung jawab sebagai mahasiswa. Janganlah
lupakan tanggung jawab dan idealisme ini!
Setelah idealisme warisan pusaka ini masih tetap terjaga dan
terpelihara, selanjutnya gerakan mahasiswa harus mampu beradaptasi dan
memanfaatkan semua peluang dan fasilitas yang ada untuk mendukung idealismenya
menjadikan negeri ini sebagai negeri mandiri dan sejahtera. Gerakan mahasiswa
sangat diharapkan mampu menstimulus keinginan menyuarakan ide, gagasan, dan
opini dari pikiran seseorang ke publik.
Zaman ini juga mengisyarakan bahwa gerakan mahasiswa sekarang tidak
melulu adalah sekadar soal politik, kebijakan, dan kekuasaan. Tapi juga yang
paling penting adalah menyiapkan diri kita sendiri untuk memberikan kontribusi
nyata sesuai bidang-bidang yang ada ketika saatnya tiba kita memimpin.
Mahasiswa dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori minat dan potensi,
yakni: aktivis, atlet, seniman, akademisi, dan entrepreneur. Bila setiap
kategori ini mampu dibesarkan secara massif, maka potensi yang besar ini
setidaknya melegakan kita sementara bahwa kita sudah siap untuk berkontribusi
dan memimpin di segala bidang untuk membangun Indonesia yang mandiri dan
sejahtera. Kita percaya Indonesia akan mandiri dan sejahtera manakala kelima
potensi tersebut dikelola dan dikembangkan dengan baik.
Jangan sampai gerakan mahasiswa tidak melibatkan seluruh potensi yang
dimiliki oleh mahasiswa yang ada. Karena salah satu tujuan keberadaan gerakan
mahasiswa adalah untuk mengoptimalisasi dan mengsinergikan potensi. Bila
gerakan mahasiswa hanya didominasi oleh sekelompok kecil mahasiswa yang
menghegemoni, maka gerakan tersebut sangat dipertanyakan kredebilitas dan
representasinya.
Tentu fokus kita tetap pada bagaimana Indonesia mampu benar-benar meraih
kemerdekaannya secara riil sehingga kita bisa hidup mandiri dan sejahtera.
Untuk bisa menjadi Indonesia yang mandiri dan sejahtera, ada beberapa parameter
yang harus dipenuhi. Pertama, aspek ekonomi. Disini kita butuh sumber daya
manusia yang unggul, teknologi tepat guna, dan kesejahteraan sosial.
Kedua, aspek politik. Merupakan hal yang penting dan perlu disegerakan
adalah: kestabilan politik dalam dan luar negeri, pemimpin yang tidak terikat
dengan rakyat, serta produk politik dan kebijakan poliik yang memakmurkan
rakyat.
Ketiga, aspek sosial budaya. Bangsa kita menjadi bangsa yang
berkarakter, pendidikan berkualitas dan terjangkau oleh semua kalangan, serta
kualitas hidup yang layak.
Keempat, aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepercayaan diri untuk
menggunakan dan memberikan teknologi buatan anak bangsa kepada masyarakat kita
dan dunia, nilai tamah potensi kekayaan alam dan kompetensi kekayaan insani
Indonesia, serta sinergisasi kebijakan IPTEK nasional
Di atas sudah dibahas tentang lima minat dan potensi yang harus
dikembangkan secara massif untuk menyokong perubahan. Pada tataran berikutnya,
dari kelima minat dan potensi ini kita mencoba menyarikan menjadi tiga kekuatan
utama untuk membangun Indonesia yang mandiri dan sejahtera: akademisi, bisnis,
dan pemerintah. Dan inilah yang disebut konsep Triple Helix yang
merupakan konsep sinergi tiga kekuatan antara akademisi,
bisnis, dan pemerintah. Kalangan akademisi dengan sumber daya, ilmu
pengetahuan, dan teknologinya memfokuskan diri untuk menghasilkan berbagai
temuan dan inovasi yang aplikatif. Kalangan bisnis melakukan kapitalisasi yang
memberikan keuntungan ekonomi dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sedang
pemerintah menjamin dan menjaga stabilitas hubungan keduanya dengan regulasi
kondusif.
Konsep ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang
dilirik asing. Kita berharap kita benar-benar mandiri. Manusia-manusia kita
mampu mengolah dan menguasai sendiri sumber daya alamnya. Merancang dan
membangun sendiri teknologinya. Mengeluarkan kebijakan yang memproteksi
kepentingan rakyat dan sumber dayanya. Dan mampu memberikan sokongan dana serta
memasarkan produk-produk dalam negeri secara efektif.
Menurut Global
Competitiveness Report terkini, Indonesia duduk di peringkat ke-30 dari 142
negara, ditilik dari kapasitas inovasinya. Ini merupakan keunggulan komparatif
yang tak bisa dipandang sebelah mata karena Indonesia bahkan mengungguli negara
berekonomi lebih maju, seperti Spanyol di peringkat ke-36 dan Hongkong
peringkat ke-39. Namun, ironisnya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi di
Indonesia mencapai 1,2 juta orang (2012).
Kondisi ini
menunjukkan bahwa belum ada padu padan (link and match) antara kampus dan pasar
kerja. Dalam tataran ideal, kampus seharusnya menjadi motor penggerak
penciptaan lapangan kerja, bukan sekadar menghasilkan pencari kerja. Kita
terpaksa harus mengakui, perguruan tinggi baru sebatas menjadi ”mesin” yang
memproduksi sebanyak mungkin sarjana. Dan inilah
yang juga menjadi tantangan kita selanjutnya [4].
Terakhir dalam tulisan ini, tentang peranku dalam membangun Indonesia
yang mandiri dan sejahtera. Secara sangat sadar bahwa saya adalah bagian yang
tak terpisahkan dari gerakan anak-anak muda, gerakan dengan idealisme ‘jalanan’
ala mahasiswa yang memperjuangkan kebenaran atas nama rakyat Indonesia. Saya
adalah bagian dari gerakan yang mulai meluaskan manuvernya pada sector-sektor
vital untuk membangun negeri ini.
Agent of change, iron stock,
dan social control, harus dimaknai dengan makna yang meluaskan peranannya.
Mencoba mencari-cari peran saya dalam membangun Indonesia yang mandiri dan
sejahtera dengan melihat posisi dan amanah saya saat ini maka:
1. Saya adalah pewaris idealisme yang menjadi semangat perubahan dan
kejayaan tiap zamannya. Namun, saya harus jeli dalam melihat tantangan dan
menangkap peluang sebab zaman terus berubah dan gerakan yang fleksibel dan
adaptif sangat diperlukan.
2. Saya memiliki tanggung jawab besar. Tanggung jawab terhadap sejarah yang
telah ditorehkan dan tanggung jawab terhadap masa depan yang akan diukir.
Tanggung jawab tentang kesadaran diri dan penyadaraan orang-orang di sekitar
saya.
3. Saya bersyukur ditakdirkan menuntut ilmu di Program Studi Sistem
Komputer Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Peran saya adalah mengaktualisasikan
keilmuan saya ini dan menjadi solusi atas banyaknya sarjana yang menganggur.
Sejujurnya saya memiliki mimpi untuk membangun lembah yang akan mengkatalis
tumbuhnya perusahaan-perusahaan bidang IT, seperti Stanford University dengan
Silicon Valley-nya. Harapan saya adalah pengembangan IT ini mampu menjadi
katalisator kemajuan di bidang-bidang lainnya.
4. Amanah saya sebagai Kepala Departemen Kebijakan Publik Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Teknik Keluarga Mahasiswa Universitas Diponegoro mengharuskan
saya untuk setia mengawal setiap kebijakan dan produk politik negeri ini sambil
sesekali turun ke jalan. Teori Lord Acton mengingatkan saya bahwa manusia yang
mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, dan manusia
dengan kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to
corrupt, absolute power corrupts absolutely) [5].
Referensi:
[1] Rais. Amien, Agenda-agenda
Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia,Yogyakarta: PSSK, 2008.
[2] Ibid.
[3] Kompas, Rabu, 25
Mei 2011.
[5] X. Sultan Hamengku
Buwono, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, Jakarta: Gramedia, 2008.
0 komentar: