TERHANGAT

Selamat datang, Sobat! Jangan malu-malu untuk baca, komentar, dan share ya. Semoga coret-coretan ini bisa bermanfaat ya. Salam kenal. :)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya) dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Selasa, 23 Oktober 2012

LKMM Madya di Tengah Sorotan


                              
                Pengembangan sumber daya manusia dalam dunia kampus khususnya mahasiswa sangat penting untuk diberikan perhatian lebih dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kita semua sepakat dalam sesuatu yang setia kita sebut kampus ini terdapat ribuan bahkan ratusan ribu manusia dengan beragam bidang keahlian serta potensi yang bisa dikembangkan. Untuk membentuk manusia Indonesia yang sempurna tidak cukup hanya dengan proses akademik saja. Harus melihat dan mengembangkan segala potensi yang ada.
                “Berikan aku 1000 orang tua, maka akan kucabut Semeru dari akarnya. Tapi berikan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia.” –Ir. Soekarno
Seperti itulah ilustrasi yang sangat tepat untuk menggambarkan amat besarnya potensi yang terdapat pada diri pemuda khususnya mahasiswa. Sangat disayangkan jika potensi ini terabaikan atau bahkan tak tersentuh. Maka, gagasan yang dibawa tulisan ini adalah perlunya pola pengembangan sumber daya mahasiswa yang efektif serta dinamis untuk memenuhi tuntutan zamannya.
                Menyoroti pola pengembangan sumber daya mahasiswa di Universitas Diponegoro, apa yang sudah diterapkan sangat perlu diapresiasi. Sudah cukup baik konsepnya. Sudah banyak event berupa seminar, training, workshop, dan forum dengan berbagai tema yang beragam seperti leadership, manajemen organisasi, riset dan teknologi, dan entrepreneurship. Event-event ini selelu ada tiap tahunnya. Semakin kesini kesadaran akan pengembangan SDM semakin meningkat.
                Dan bicara tentang alur kaderisasi baku, ini pun sudah disepakati dan diterapkan. Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB), LKMM Pra Dasar, Leadership Training, LKMM Dasar, dan LKMM Madya. Masing-masing jenjang diperuntukka untuk mahasiswa tingkat tertentu, dari PMB untuk mahasiswa baru hingga LKMM Madya untuk mahasiswa tahun ketiga. Tiap jenjang ini ada adalah untuk mempersiapkan mahasiswa yang telah diseleksi untuk naik dan memimpin di jenjang berikutnya. Kita semua tahu bahwa pemimpin itu tak lahir sekonyong-konyong, tapi ia dipersiapkan, agar tak putus rantai perjuangan yang telah dibangun.
                Secara keseluruhan semua jenjang sudah terlaksana dengan cukup baik. Tapi tulisan ini hendak sedikit saja memberi masukan dan kritik halus tentang pelaksanaan LKMM Madya yang sedang berlangsung saat tulisan ini dibuat. *karena taka da laptop dan modem, maka belum dipublish kemarin*. Taka da maksud lain kecuali hanya ingin kebaikan dan pengembangan yang dinamis untuk LKMM Madya berikutnya.
                Hotel di tengah semilirnya angin Bandungan dengan fasilitas spring bed yang empuk, televisi, dan air panas, hall yang cukup luas, coffee break tiga kali sehari, makan tiga kali sehari; dan ini semua adalah fasilitas yang didapat oleh peserta. Tentu ini sangat baik dan perlu dipertahankan sebab ini memberikan kenyamanan dan menyokong peserta mengikuti dan menyerap semua materi yang disampaikan dalam LKMM Madya 2012 ini.
                Namun di sisi lain ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki ke depannya. Pertama, penyelenggaraan LKMM Madya dan sosialisasi serta seleksinya sangat mendadak sehingga kesannya penyelenggara dalam hal ini rektorat terkesan terburu-buru atau mengejar sesuatu. Ini yang terjadi pada tiap fakultas, sosialisasi, pendaftaran, seleksi, dan pelaksanaan LKMM Madya 2012 selesai hanya dalam satu pecan, lebih tepatnya enam hari. Poin pertama ini terlepas dari persiapan acara, pemandu, dan lain sebagainya.  
                Kedua, management event dari penyelenggara terkesan kurang professional. Pasalnya banyak hal yang menguatkan argument kedua ini. Tampak dari timing yang mundur dari rundown acara, pembagian tugas serta perlengkapan acara yang kurang siap dan detil—peserta bisa mengamati. Padahal inti dari LKMM Madya ini adalah ‘keterampilan manajemen’. Ironis rasanya, kita mengajari manajemen, tapi ada yg kurang siap dari manajemen kita. Banyak komentar yang muncul dari para peserta bahwa management event dari event-event yang mereka gawangi seperti LKMM PD, LT, hingga LKMM Dasar, masih lebih baik dari yang sekarang, meskipun dengan dana minim. Saya sepakat dengan ini. Hal ini sangat perlu menjadi perhatian semua pihak untuk segera diperbaiki mengingat nama acara ini adalah ‘…keterampilan manajemen….’.
                Ketiga, dan ini yang paling penting, yakni konten materi. Secara general, materi yang disajikan mencakup pengembangan wawasan dan pengembangan sikap dan keterampilan. Dalam pengamatan penulis, dari 13 sesi materi dan diskusi hanya tiga sesi yang membahas karakter dan integritas bangsa. Selebihnya adalah mengenai manajemen organisasi.
                Tentang poin ketiga ini harus benar-benar mendapat perhatian dari banyak pihak. Pasalnya ini sudah turun temurun, bahkan slide presentasi yang sekarang pun sama denga tahun kemarin—komentar peserta LKMM Madya 2011 saat mendengar bahwa ada gambar tidak senonoh di slide. Permasalahan intinya bukan pada slide. Tapi lebih kepada konten dan apa yang disampaikan.
                Dalam ekspektasi peserta, pada level LKMM Madya ini peserta akan diajak lebih banyak untuk berpikir tentang peran mereka dan organisasinya dalam membangun Indonesia, berdiskusi tentang beragam pemikiran dan masalah. Tak sekadar membahas manajemen organisasi. Mayoritas peserta adalah tahun ketiga, sangat penting rasanya untuk segera diajak secara aktif memikirkan masalah bangsanya. Sudah saatnya pada tingkatan kaderisasi madya ini para mahasiswa memikirkan perannya untuk bangsanya.
                Hal ini bukan berarti bahwa konten manajemen organisasi tidak penting, dan bukan juga bahwa peserta sudah expert dalam hal manajemen organisasi. Tapi perkembangan zaman telah memberi ruang lebih kepada peserta untuk dapat belajar banyak tentang manajemen organisasi dalam waktu dua tahun yang sudah dilalui dengan beragam momen dan event yang ada. Seperti pembuka tulisan ini, bahwa hari ini sudah banyak event yang memberi semangat dan pemahaman tentang banyak hal, mulai dari organisasi dan leadership hingga entrepreneurship.
                Maka sangat bijak jika kita memahami realitas zaman hari ini. Zaman memiliki tuntutan lain dan lebih. Dan lebih bijak lagi jika kita melakukan ekspansi pada konten materi LKMM Madya di tahun berikutnya.
                Pernah pada satu sesi ada seorang peserta yang mencoba menyampaikan pendapatnya tentang konten materi yang sangat fokus pada manajemen organisasi. Tanggapannya adalah ‘kita beda perspektif’. Atau malah dijawab bahwa kurikulum standar dari dikti ya seperti ini—seperti pada buku biru yang dibagikan satu per satu itu.
                Nah, dalam pandangan penulis justru disinilah titik kritisnya. Kita terjebak dalam kotak. Kita sangat saklek terhadap aturan dan kurikulum. Tuntutannya adalah agar kita berpikir bukan lagi di luar kotak, tapi tanpa kotak. Kita bisa berpikir dan memutuskan sesuatu sesuai kebutuhan. Katakanlah lebih fleksibel. Permasalahannya LKMM Madya ini bukan untuk memenuhi laporan pertanggungjawaban saja, tapi memenuhi kebutuhan zaman. Konten materi penulis rasa masih bisa diperluas.
                Berdasar pada statement Ir. Soekarno di atas, dengan apakah beliau akan mengguncang dunia? Dengan pemuda yang lihai dalam skill manajerial organisasi dan analisis SWOTnya? Jelas tidak, tapi sebelum itu adalah pemuda yang kenal siapa dirinya, perannya, dan bangsanya.
***
                Sebagai penutup, tulisan ini tidak ditujukan kepada  personal. Tulisan ini hanyalah reaksi atas nama kepedulian. Tulisan ini sangat menghargai semua pihak penyelenggara terutama bagian minarik yang sangat baik dalam penyelenggaraan. Tulisan ini hanya ingin sedikit saja menyentuh hati dan pikiran pengambil kebijakan.

0 komentar:

Rabu, 17 Oktober 2012

Sampah-sampah, jangan dibuang!


Keren! Orang-orang heboh soal film ini udah berbulan-bulan yang lewat. Iya, nama filmnya Omar. Dan saya baru sekarang kebagian hebohnya. Karena saya baru nonton dengan penuh pneghayatan. Liatin gambarnya sampai khusyuk bacain subtitlenya.
Dan dialah Umar bin Khaththab ra Sang Pejuang sejati. Awalnya ia seperti menolak kehadiran risalah yang dibawa Rasulullah. Tapi ternyata bukan. Dia hanya kokoh pikiran dan akalnya. Dia tampak sangat elegan dan independen sekali dalam tiap tindakan dan keputusan pribadinya ketika berdiskusi dengan Abu Jahl dan kroni-kroninya. Dia berpikir bebas dan lepas. Dengan sudut pandang yang adil dan objektif, terbebas dari kepentingan pribadi atau golongan. Dia kokoh memegang prinsip-prinsip yang menurut dia benar. Tidak asal ikut kemana arah angina bertiup. Inilah integritas. Dan nyatalah ternyata sosok Umar ini benar-benar sangat tinggi dan kuat integritasnya. Ketika kalam-kalam Rabb-nya terbaca olehnya (QS. Thaaha), baginya yang hitam tetap hitam, yang putih tetap putih. Bukti integritas dan independensinya adalah ia mampu memilih dengan bebas untuk segera bersaksi dan berkomitmen kepada Allah dan Muhammad saw. Tanpa berpikir panjang tentang klan (suku) beliau, tentang omongan orang, dan lainnya.
Bener-bener top markotop ini film *meski rada susah juga bacain subtitlenya mulu*. Banyak prinsip yang bisa dijadikan hikmah. Ah, terlalu panjang ini intronya. Sebenarnya saya bukan mau bahas film ini atau sosok Umar bin Khaththab ra yang luar biasa hebat. Di tulisan ini saya Cuma mau nyampah, cuma mau sepik-sepik doang, Cuma mau talk doang *tapi talking and writing itu juga action lho*. Yap, sampah yang kamu baca ini cocok untuk dibaca semua kalangan; anak-anak, dewasa; semua agama; dan semua ras. *Opo tho Le Le*. Disini sampahnya adalah tentang diri kita, lebih focus lagi tentang integritas, indepedensi sebagai pribadi dan manusia. Dan sampah ini bakalan nyepik lebih dalam lagi tentang sosok pemimpin kita hari ini. *Monggo mau didefinisiin diri sendiri, kepala keluarga, ketua RT, ato Pak Presiden (temennya Pak Bud)*
Saya punya KBBI elektronik *agaknya ini ga cukup untuk masuk landasan teori*, tapi bolehlah saya tengok sedikit apa sih yang KBBI elektronik ini bilang tentang integritas. Integritas itu mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Yah, kira-kira begitulah. Sederhananya integritas itu adalah kesetiaan pada apa yang benar. Itu saja. Mungkin dimensi kebenaran buat kita itu yang susah untuk medefinisikannya. Tapi cukuplah akal dan hati manusia yang bermain disini. Tak usah banyak berdebat tentang dimana itu kebenaran. Karena yang benar itu Cuma satu, ya yang kau yakini benar itulah *dengan jujur tapi ya, ga pake ikut-ikutan orang lain atau terpengaruh sentiment antar kelompok*.
Integritas itu kau jujur pada nurani. Integritas itu kau utuh sebagai pribadi dan manusia, tak perlu dikurangi atau ditambahi orang lain. Integritas itu kau independen, merdeka dan bebas dengan pilihan-pilihan kebenaranmu. Integritas itu lurus antara perkataan dan perbuatan. Integritas itu satu, kesatuan antara raga, jiwa, pikiran, dan imanmu. *hahaha abstrak n normatif sekali*
Tak banyak saya menyampahi itegritas. Sekarang sampah berikutnya adalah pertanyaan tentang kemana integritas kita?
Dan tentang independensi, kalau yang dimaksud adalah kemerdekaan atau kebebasan dengan integritasnya jelas sangat sepakat. Sangat kasihan orang-orang yang integritasnya tak utuh lagi terjajah *yuk evaluasi diri masing-masing*. Merdeka, Bung!
Ah, saya bukan mahasiswa cerdas. Saya tak pandai menulis, apalagi retorika. *Huuweeeekkk, muntah*. Saya berikut tulisan ini hanyalah sampah, sampah yang merealita di tengah kita. Dan sekarang adalah gilirannya sampah ini bercerita tentang kejengahannya tadi siang.
“Bro, motormu mau kau pakai tak?”
“Iya, ini mau ke bawah.”

*aaaahhhh… pelit kali kau!*
“Nah ada Eko, pinjam motormu dong, Ko. Mau ngumpulin berkas ini ke PKM plus minta KHS. Boleh, ya?”
“Iya, nih pake aja.”
*alamaaakk baik kali*
Bingung? Ya, bukan ini yang mau saya ceritakan. *hahaha benar-benar sampah, kan?*
Kemarin saya yang jualas susu pasteurisasi ini dibuat bingung kala melihat pangkalan susu tempat biasa saya restock dipenuhi laki-laki tegap badan berisi dengan pakaian hijau loreng-loreng. TNI, Cuy! OMG! Apa susu yang saya jual ini beracun atau mengandung senjata kimia yang menularkan virus mematikan? *Nyampah lagi*
Rupanya Senin kemarin ada gladi bersih pengamanan Pak Boed *ini Wakil Presiden kita lho, bukan yang jual angkringan depan mushola*. Dan hari ini, Selasa, Pak Boed tepat datang dan lewat ketika saya sudah terpaksa nyasar sampai hamper di Sumurboto. Padahal saya mau ke kampus. Yang ada saya malah disuruh Pak Pol “lurus aja mas, lewat sana”. Ya saya percaya. Saya lurus. Tapi kok ga ada jalan yang bisa untuk masuk kampus? Semua ditutup dengan barisan-barisan tentara kita. Tak dinyana Pak Boed lewat di depan saya. Dan saya baru paham kenapa semua ditutup. Setelah itu dibuka lagi.
Tapi secara spontan dan sangat subjektif saya ingin nyampah sekali lagi. Ini kok Pak Wapres kita malah mengacaukan lalu lintas? Ratusan manusia tadi siang berjibaku dan berjubel di jalanan tanpa arah sambil berdesak-desakan. Wah, bukannya kasih solusi kemacetan, malah nambah masalah. *Wuuh sampah banget paragraph ini*.
Idih, pengamanannya lebay banget, saya baru bisa ambil stok susu jam sebelas kurang gara-gara pengamanan yang kayak begini. Lah, malah menghambat rezeki. *hahaha rezeki itu diatur Allah Le*. Alhamdulillahnya habis semua kok. *tepuk tangan, sujud syukur*. Pak Boed banyak musuh apa ya? Takut teroris? Yah, berlebihan! *Subjektif dan spontan? Emang!*
Tapi tak apa juga sih, upaya preventif kok. Secara beliau orang besar. Oh iya, tadi katanya adik-adik SD menyambut kedatangan Pak Wapres di pinggir jalan. Seneng banget kalo jadi adik-adik ini ya. Tapi di posisi saya sekarang, itu miris. Kenapa Pak Wapres tidak turun untuk sekadar memberi do’a pada adik kita. Simple sih, tapi imposible buat beliau. *kan kita butuh pemimpin yang simpatik dan membumi tho?*
Eh yang buat saya kaget ada sebaris brimob di depan polines seperti sedang sholat berjamaah. Shaf rapat. Pundak rapat. Kaki rapat. Gila! Barisannya rapet banget! Oh rupanya di tengah-tengah itu ada sejumlah mahasiswa yang ingin ‘menyambut’ Pak Wapres dengan tumpeng dan orasinya. Saya jadi geli kalau denger kata ‘sejumlah’, ini kesannya banyak, tapi sebenernya relative sedikit. Ah, sayang sekali saya pagi tadi tak jadi bagian orang-orang dengan megaphone udangnya yang menganga ke udara itu. Tapi saya boleh geli sekali lagi ya, gerakan kita masih kurang massif, masih sebatas sang penyelengara. Pencerdasan massa serta follow up yang kurang. Aksi masih sebatas konsolidasi h-1, besok demonstrasi, masuk media, dan sudah. *Ya emang gitu. Iya, gitu realitanya*. Tapi saya tak pesimis, saya optimis. Diponegoro sedang tumbuh, dan akan jadi besar.
Tapi herannya saya, di negara demokrasi *sori kalau salah* ini bukannya boleh ya demonstrasi? Tapi kenapa sejumlah sedikit mahasiswa ini diperlakukan dengan kasar ya? Padahal hanya ingin menyapa dengan caranya. Tak ada peluru yang meyasar kok. Tak ada botol kaca yang terlempar kok. Tak ada kayu yang menghantam kok. Atau karena kata-kata mereka yang membuat pasukan pengaman takut Pak Boed tersinggung, sakit hati, sedih, atau galau? *sempit sekali prediksi saya* Tapi Pak Boed pastilah lebih cerdas dan mengerti tentang tabiat serta ‘labil’nya anak-anak muda ini. Polosnya=mereka ini peduli, punya aspirasi, kritik, ingin didengar, cape dengan birokrasi yang berbelit serta suara yang tak terwakili di kursi perwakilan rakyat.
(Berjalan dengan gaya yang sengaja pongah dan dada membusung serta kepala sedikit mendangak ke atas tepat di depan para lelaki pengaman)
“Hey Dek, kalau jalan yang sopan sedikit dong!”
“Oh, bapak masih ngerti yang namanya sopan? Masih ngerti yang namanya santun? Atau bapak hanya sopan dan santun pada orang yang memerintah bapak untuk memberi pengamanan kualitas bintang 5? Sementara anak muda ‘ini’ hanyalah seonggok sampah yang bisa kau bawa dengan serokan dan kau lempar ke dalam tong?”
Teruuss? Mana korelasinya dengan integritas? *hahaha terserah saya yang nulis, kan nyampah*
Saya ga ragu lagi, peran-peran mahasiswa yang berupa teori itu sekarang ibarat sampah bagi temen-temen. Udah sering denger, udah tau. Udah hapal di luar kepala. Udah bolehlah kalau teori-teori itu mau dibuang, yang penting sekarang action-nya. Sebel juga sih kalo liat anak-anak muda adu argumen, adu kepentingan, atau malah terjebak dalam primordialismenya (baca: aku yang hebat, aku yang pinter, aku yang benar), atau malah saling tuding menyalahkan. Kita punya idealisme *bukan idealisme sampah*. Dan mana integritasnya? Kok ga sehat? Mana budaya diskusi yang baik dan santun? Mana integritasnya? Kok gak elegan? Mana ke-Indonesia-annya? Mana ke-bhineka-tunggal-ika-annya?
Udah selesai tuding-tudingan dan lalala-nya, terus statement yang keluar: biarlah anjing menggonggong, kafila berlalu.
Hah, bener-bener sampah kan isi tulisan ini. Dan akhirnya pun saya lega, sampah ini bisa keluar dari kepala saya lewat tulisan yang sepik-sepiknya nyampah.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat orang-orang yang bukan sampah untuk ga nyampah. Kalau ada sampah, mbok yo disampu bareng-bareng. Bukan malah nambah kasih sampah. Mana yang solutif itu? Kan kita cerdas. Kan kita Indonesia.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat orang-orang yang bukan anjing menggonggong untuk menunjukkan bahwa kita masih benar-benar sebagai manusia utuh dengan integritasnya. Masih manusia, bukan anjing kok.
Selamat menikmati sampah-sampah.

Permulaan pagi, 17 Oktober 2012


0 komentar:

Sabtu, 13 Oktober 2012

Ini Wisudaku, wisudamu?




Pagi yang berbeda. Buatku ini sangat cerah. Matahari seperti sedikit lebih cepat memanjat langit. Di luar sana kicau burung-burung kecil bersaut-sautan, seperti suara Kutilang yang hampir tiap pagi berkicau tiap pagi di kampung. Kupandangi halaman depan kos, rumput-rumput mulai lebat menghijau bak permadani hijau. Akhirnya kemarau panjang sudah berakhir, dan rumput-rumput kecil ini bisa kembali tersenyum padaku lewat butiran-butiran embun kecil di atasnya yang membiaskan cahaya matahari ke mataku. Cantik. Secantik hari ini serta orang yang paling bahagia dengan datangnya hari ini.
Terdengar suara krasak-krusuk dari dalam.
“Bang, lu ada kalkulator? Aku pinjam dulu… Duh, udah telat nih.”
“Ambil saja di laci kedua. Disana ada bungkusan warna abu-abu, disitu. Santai aja, jangan buru-buru.” Jawabku.
“Makasih, Bang. Gue berangkat dulu. Sukses ya buat wisudanya! Assalammu’alaykum.”
“Yo. Ojo lali ntar dateng ya. Wa’alaykumsalam!”
Tak lama terdengar suara motor yang segera tancap gas.
Handphoneku bordering.
“Pik, kok lama betul? Mamak sama Bapak udah siap nih.”
“Iya, Mak. Sebentar lagi Opik kesana. Lagi manasin mobil.”
Ayah dan Ibuku sudah tak sabar untuk acara yang dinanti.
Aku teringat sesuatu.
“Mas, ojo lali jemput dulur-dulurku di hotel ya. Jam 8 teng udah di kampus ya.”
“Njeh, Mas.”
Aku meminta supir mobil yang kusewa untuk menjemput saudara-saudaraku yang jauh-jauh datang ke Semarang.
Hari ini benar-benar hari yang cerah untuk jiwa yang cerah dan rezeki berlimpah. Seakan hari ini mengerti bahwa dia adalah special, untukku, ayah ibuku, dan orang-orang yang kucintai, dan orang yang kucintai. Aku sudah siap, toga kebanggaan juga sudah siap. Baru selangkah kaki keluar, angin semilir mengalir lembut di wajahku. Mobil sudah siap. Segera aku pergi menjemput ayah dan ibu yang baru sampai semalam dan menginap di hotel yang sudah dari jauh hari kubooking.
Hari ini, 24 April 2014, Tembalang seperti biasa, mulai ramai ketika jarum jam naik di angkat tujuh, mobil dan kendaraan motor lain berlalu lalang. Bahkan aku harus bersabar dengan macet di Patung Diponegoro—masih ingat kalau orang-orang selalu menyebutnya Patung Kuda. Tadi tampak sangat ramai mobil-mobil luar kota memenuhi jalanan antara Masjid Kampus dengan Gedung Prof. Sudharto, SH. Sepertinya mereka sama seperti ayah ibuku dan saudara-saudaraku, datang dari jauh untuk melihat anaknya wisuda.
Sampai di hotel, orang tua dan sanak saudara sudah stand by menunggu di lobi. Kusalami tangan ayah dan ibu, segera memeluk hangat. Tanpa menunggu lama, segera kami menuju Tembalang. Mata berbinar dan senyuman berseri di wajah mereka memberiku isyarat tentang kepuasan dan kebanggaan mereka padaku. Guratan-guratan di wajah mereka yang dimakan waktu seperi bicara padaku tentang perjuangan mereka yang harus bangun pukul tiga pagi untuk menyiapkan nasi uduk dan lontong sayur yang akan dijual pagi-pagi pukul 06.00 dan tentang perjuangan mereka yang harus pergi ke Jambi, Palembang, Jakarta, dan pulang dua bulan sekali untuk mencari jalan untuk terus menghidupiku. Aku ingat sekali masa-masa itu. Dan kedua orang tuaku inilah yang memberiku arti dan mengerti tentang hakikat hidup: kau adalah hamba yang harus mendekat sepenuhnya kepada penciptamu, tak peduli kau miskin atau kaya, surga tak pernah dinilai dengan uangmu, tapi kau harus bersyukur dalam hidupmu baik susah atau senang, sejatinya setiap yang terjadi dalam hidup patut disyukuri, karena sesuatu yang mengharuskanmu bersabar pun adalah juga nikmat yang perlu disyukuri sebab ia membuatmu menjadi sabar dan lebih dekat pada Allah yang menghidupkan dan mematikan. Mereka juga mengajariku survive dan bertahan dalam hidup ini dengan cara yang lurus untuk kemudian meraih prestasi setinggi-tingginya.
***
Gerbang III Undip lebih ramai dari biasanya. Satpam-satpam berdiri gagah mengatur lalu lintas. Jalanan dipenuhi hiruk-pikuk mahasiswa yang saling berpacu dengan kendaraannya. Gedung-gedung Undip tampak begitu megah. Lebih tepatnya indah. Tak hanya itu, mobil-mobil luar kota yang tadi kutemui di depan Masjid Kampus telah rapi berjejer parkir di tepian jalan depan Gedung Sukowati. Aku sedikit bingung harus parkir dimana.
Subhanallah aku lagi-lagi sangat gembira. Kulihat ayah dan ibuku senyum sumringah melihat suasana yang amat ramai, apalagi akan melihatku di wisuda. Tepat seperti yang beberapa tahun lalu kubayangkan, orang tua dan saudaraku memakai seragam batik terbaik yang sudah kupesan di pabrik terbaik Pekalongan.
Ayahku sudah pernah berkunjung kesini, ketika aku pertama masuk kuliah. Tapi untuk Ibu dan sanak-saudaraku ini adalah kali pertamanya.
“Bang Opik, beda banget ya sama SMAnya Abang di Lampung.” Celoteh keponakanku.
“Haha iya…”
Sepanjang jalan tadi dari Gerbang I sampai disni mereka tampah kagum melihat bangunan dan tata ruang di Universitas Diponegoro. Jujur aku pun begitu. Dulu ketika tahun 2010 saat awal kutiba di Undip, masjid kampus yang megah itu baru saja selesai pembangunannya. Dan sekarang sudah tiga kali renovasi. Gedung Dekanat Fakultas Teknik yang dulu sempat mangkrak lebih dari setahun sekarang sudah berdiri gagah di dekat Widya Puraya. Jurusanku, Sistem Komputer sekarang sudah memiliki gedung sendiri, gedung megah berlantai tujuh. Pemandangan yang sangat hijau selalu tertangkap mata kemanapun memandang. Tak hanya pembangunan fisiknya, tapi riset dan prestasi dari civitas akademika semakin menanjak. Dan hari ini Undip telah berubah, semua sudah saling sinergi. Tak ada lagi kecurigaan, sebab rektorat dan dekanat memberikan transparasi yang memuaskan. Tak ada lagi protes-protes keras dari mahasiswa, seperi masalah UKT dan Diploma Teknik Undip yang dulu sempat menjadi masalah, sebab pelayanan dari rektorat dan dekanat sudah sangat baik. Mahasiswanya pun semakin dewasa dan cerdas, lebih mengedepankan intelektualitas, profesionalisme, dan persamaan dari pada perbedaan organisasi, ideology, dan pemikiran. Kepentingan mereka disini Cuma satu, “Undip Jaya untuk Indonesia Jaya!” Aku akhirnya bisa meninggalkan kampus ini dengan tenang setelah perjuangan yang cukup panjang dengan teman-temanku di jurusan, fakultas, dan universitas.
“Mak, Pak, nanti Mamak sama Bapak duduk di depan sana ya Mak, Pak. Sudah Opik pesankan ke panitia untuk menyediakan dua kursi kosong di depan.”
***
Kejutan bagi orang tua dan keluargaku, namaku dipanggil untuk menyampaikan pidato wisudawan terbaik. Aku pun segera menuju podium dengan langkah sigap. Aku berpidato seperti dulu aku sering orasi di jalanan. Kadang aku berapi-api, kadang aku menurunkan intonasi. Aku sempat menitikkan air mata, sedikit, ketika kumengucap terimakasih untuk ayah dan ibu, kumelihat hal yang sama terjadi pada mata mereka berdua, titik air mata itu lebih deras. Bukan air mata kesedihan, tapi wujud kebahagiaan, kepuasan dan kebanggaan. Seperti rasanya perjuangan mereka selama ini telah terbayar. Namun sesungguhnya aku menyadari, ini belum seberapa dibanding perjuangan mereka, dan tak akan pernah lunas aku membayar semua itu meski dengan segenap jiwa, raga, dan harta. Itulah yang menguatkanku di saat kulemah untuk kemudian berdiri, kembali berlari, dan berkerja-berkarya.
“Mak, Pak, sekarang semuanya terbukti. Keajaiban yang selalu Mamak dan Bapak ceritakan ke Opik itu benar-benar ada. Hari ini kita semua menyaksikannya. Opik mohon maaf dulu terlalu sering mengeluh, Mak, Pak. Yang luar biasa Mamak dan Bapak selalu saja mampu tersenyum dengan ringan, lalu membangkitkan kembali semangat dan keyakinan Opik.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu kita semua bersepakat supaya Opik kuliah di kedokteran? Tapi kenyataan kala itu tak sepakat. Kita semua harus menerima hal yang mungkin untuk kita sulit. Dan opik tahu, ini lebih sulit lagi buat Mamak dan Bapak. Opik sayang sekali sama Mamak dan Bapak. Cuma Mamak dan Bapak yang menguatkan Opik untuk tetap optimis apapun kondisinya. Yang kita yakini kala itu adalah Allah punya rencana yang sangat indah. Kejutan dari surga.
Mak, Pak, masih ingat ketika dulu orang-orang seperti ragu dengan tanyanya: “Hah, si Topik bisa kuliah?” Dan Allah selalu menjadi penolong dan pengobat lelah dan sakit yang terasa. Kini kejutan surga telah membungkam semua keraguan orang-orang yang meremehkan itu. Terimakasih Mak Pak, sudah mengenalkan Opik pada pemilik kekayaan dan kekuatan sesungguhnya. Dia-lah yang selama ini mendengar do’a-do’a Opik, do’a-do’a Mamak dan Bapak kala malam akan berakhir.
Mak, Pak, terimakasih sudah memberi Opik semuanya. Bukan harta yang paling penting, tapi pengajaran, tentang Tuhan dan hidup. Mamak dan Bapak adalah malaikat yang Allah turunkan ke dunia untuk Opik. …”

Hadirin memberikan standing applause saat kusampaikan cerita perjuanganku dan orang tuaku. Dan terulang kembali saat kuturun podium.
Semua prosesi wisuda telah selesai. Luar biasa! Ayah dan ibu memelukku erat. Sangat hangat. Di luar menjadi surprise buatku, kawan dan adik-adik dari jurusan, HIMASKOM, BEM, KAMMI, U-Win Indonesia, semua menyambutku memberi selamat. Mereka berjejer rapi dengan MMT yang sepertinya sudah jauh-jauh hari dipesan. Dulu aku pernah mengalami ini, tapi di posisi pemegang MMT. Subhanallah. Hari ini aku menjadi objeknya.
Moment ini tak kusiakan, kupeluk merka erat satu per satu. Lalu berpose ria dalam sesi foto bareng seperti tak akan bertemu lagi.
“Bang, traktiran ya.”
“Oh, iya. Hampir lupa. Nanti malam kalian datang ya. Kita syukuran.”
Semua tampak gembira, tapi di sisi lain, ada sedih yang menanti. Aku harus meninggalkan Semarang esok hari. Perusahaanku (OneLine Technology Group, Perusahaan semikonduktor Indonesia yang berpusat di Bandung) dan NGO OPOPPY (One Person One Pon per Year) tak bisa lama-lama kutinggal. Aku harus bersiap untuk berlari dan terbang menggapai mimpi-mimpi selanjutnya.
Di dinding kamar kos yang sudah beberapa tahun ini sudah banyak garis merah menutupi daftar mimpiku. Tapi masih banyak lagi yang akan kutulis. Seperti mimpiku di awal, rumah sakit di tiap daerah Indonesia. Sebentar lagi terwujud insyaallah. Aamiin.
--To be continued—
Menjelang Maghrib
Semarang, 13 Oktober 2012
Kadang kita terlalu malu untuk menvisualisasikan impian, meski hanya dalam bayangan. Dan ini adalah visualisasi impian lewat tulisan. Semoga lebih berkah. 

2 komentar:

Jumat, 12 Oktober 2012

Kebijakan Publik: Teknik untuk Indonesia #PartLKMMDasarFT


  • #KP kebijakan publik merupakan salah satu dr Kelompok Bidang Keahlian pada @LKMMDFTUNDIP tahun ini.
  • #KP kebijakan publik jg mrpakan slh 1 dept di BEM FT KM Undip, tmpat sy ngabdi & brkarya skrg, fokusnya mmang ke ranah politik dan kebijakan
  • Sy dulu ntah bagaimana ceritanya bisa masuk #KP, awalnya sih ingin keren2an, jadi mahasiswa yg melek dn paham politik, apalagi bisa orasi
  • Itu sih awalnya, tapi lama2 ya mengakar juga ke #KP annya, orientasinya berubah bkn lg utk kren2an, tp lbh mnanyakan pran & aktualisasi diri
  • trmakasih buat mas-mas dan mba-mba yg sdh banyak kasih ilmu, pengalaman, inspirasi, dan katalisnya #KP
  • Oke, kita skrg bukan ingin bahas departemen yg sy kepalai tsb, tapi kebijakan publiknya yg jd slah stu KBK penting di @LKMMDFTUNDIP #KP
  • #KP itu apa sih? ini kaitannya dengan politik dan kebijakan tweeps. pertama kita belajar memahami politik
  • Kemudian di #KP kita bakal dipantik utk tahu dan paham dengan peran kita yg masih muda ini dg intelektualitas yg tinggi utk Indonesia
  • Ketiga tweeps bkal dsguhin prmslahan2 riil yg ada di bgsa kta, mlai dr yg sdrhana sampai yg kompleks, mulai dr yg dekat smpai yg jauh, #KP
  • Berikutnya tweeps ditanya, apa solusinya? #KP
  • Nah kalo ditanya solusi, masalahny hrus jelas. Di #KP tweeps bakal ngerti ttg memandang bnyak mslah dr beragam sdut pandang..
  • Biasanya kalau kita anak eksak mikirnya sistematis bgt, saklek. 10 kali 10 ya 100. Tp di #KP kita akan belajar bnyak.
  • Dr srntetan mslh yg ada, sbelum itu utk mnemukan mslhnya kta butuh sensitivitas, kepekaan, kepedulian, daya kritis dn analisa yg lbih #KP
  • Nah ini dlu deh yg prtama msti kta bngun di dalam diri kita kalau kita mau masuk lebih dalam ke dunia #KP; peka, peduli, kritis, dan solutif
  • Jgn dulu pesimis kalo kamu ga kritis, ga cerdas, ga mood utk yang begitu. Saya dulu juga, tp kita bisa karena biasa tweeps #KP
  • Utk bisa peka dan kritis, sy lebih senang menyendiri, merenung, dan berpikir bebas, tanpa kotak. Dg begitu sy bisa bnyak belajar #KP
  • Share aja nih. Di awal2, beuh semangatnya tinggi abis. Segala buku dilahap. Segala koran dibaca. Segala tipi ditonton. #KP
  • Ide, gagasan, dan pikirannya bagus. Cuma ga mengakar, ga aplikatif. Semangat yg over kadang bisa bikin pkiran kta terjebak dengan kotak. #KP
  • Ide dan gagasannya terlalu tinggi dan ga nyentuh tanah. Kita bicara Indonesia, tapi kita ga melibatka Jateng, Semarang, bahkan Tembalang #KP
  • Kita bicara ttg perubahan, pembangunan, tapi kitanya lupa dg lingkungan plus masyarakat. Banyak tuh di sekitar kita yg perlu diubah. #KP
  • Di jalan depan maskam dulu ada org gila cm satu, eh sekarang nambah jd dua. Pengemis makin banyak di Tembalang. #KP
  • Mahasiswanya ga respek sm warga. Bahkan sampe birokrasi kampus yg begitu, ga transparan soal keuangan, apresiasi yg salah tmpat, #KP
  • brokrsi yg brbelit-belit dg sstem sakleknya, kaderisasi teknik yg mulai digoyang, gedung yg mangkrak, kesenjangan D3 dg S1, dan lalalala #KP
  • G p2 kt brpkiran luas, global. Emg gt shrusny. Tp yg kluar dr mlut, yg trtulis olh pena, plus tindakan kta adl yg mngakar d tmpt kt brda #KP
  • Itu td sih contoh2 simplenya. #KP juga ga melulu ttg politik-politik praktis. Tp jg politik keteknikan. Kita kan engineer nih.
  • Hrsny kt lbh bs bcra mmbngun Indonesia pd bdang2 yg ssuai dg keilmuan kt. Bs dbilang adanya anak teknik ya utk mmbngun Indonesia. #KP
  • Ga ada anak teknik, ga ada Indonesia. Ir. Soekarno it ank arstek, bkn ank FISIP apalagi org militer. Ini faktanya. #KP #TeknikUntukIndonesia
  • So, Indonesia lg nunggu nih anak2 Teknik dg Wawasan global tp actionnya mengakar. Semangat ya buat temen2 yg mau belajar di KBK #KP
  • Inget, sebelum semuanya: cerdas, peka, peduli, kritis, solutif, mengakar. 5 hal ini nih yg prlu dibangun dlm diri kita. #KP Camkan! :-)

Bisa diakses juga di Chirpstory disini

0 komentar:

Sabtu, 06 Oktober 2012

Peran Kita yang Setia dengan Idealismenya


Peran yang Setia dengan Idealismenya
Oleh: Taufik Aulia Rahmat

Dunia kampus benar-benar memberi pemahaman yang sangat berbeda dibanding ketika dulu masih duduk di bangku sekolah. Pemahaman yang tidak lagi berkutat pada ‘aku’. Tapi pemahaman yang mulai peduli tentang ‘mereka’ dan ‘kita’ sebagai manusia dan bangsa. Pemahaman ini memberikan saya kesadaran tentang idealisme khas mahasiswa dan realitas yang kadang membuat idealisme tidak mampu berbicara banyak.
Idealisme khas mahasiswa yang saya maksud adalah sama seperti pemahaman dan keyakinan anak-anak muda generasi 1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998, dimana mereka adalah orang yang bebas dan merdeka dalam berpikir, mengekspresikan ide dan gagasannya sebagai kaum intelektual. Dan menginginkan kemerdekaan dan kejayaan untuk bangsanya. Yang saya kagumi dari mereka adalah mereka orang-orang dengan kapasitas dan prestasi luar biasa, namun memiliki akar yang kuat, yang tetap menyerap sari-sari pati kehidupan dan kebaikan (grass root understanding but have world competence).
Idealisme tersebut mengakar kuat dalam jiwa dan muncul ke permukaan sebagai integritas dan kredibilitas yang tinggi sebagai anak bangsa. Idealisme ini selalu berlaku tanpa ada masa kadaluarsa, selalu diwariskan dari generasi ke generasi untuk melanjutkan perubahan yang dinanti. Idealisme ini muncul tanpa dipaksa, murni dari dasar nurani dengan kesadaran tinggi dan kecintaan yang mendalam.
Tanpa perlu pretensi, setiap pemuda mewarisi idealisme ini dengan sepenuh hati. Idealisme yang menjiwai setiap perubahan. Idealisme yang mengajarkan turun ke jalan, bukan hanya sekadar demonstrasi dan orasi. Tapi aksi nyata membangun negeri berupa aksi kongkrit terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat tempat kita dibesarkan sebagai aktualisasi dari gelar kaum intelektual yang disandang. Idealisme ini mengajarkan keberanian dalam bertindak dan tanggung jawab bahwa masa kini dan masa depan negeri ini ada di tangan anak-anak muda.
Hingga sejarah bercerita kepada kita bahwa sejarah negeri ini adalah cerita anak-anak muda. Tahun 1908 menjadi momentum kebangkitan. Tahun 1928 menjadi momentum penyadaran tentang kesamaan(bukan perbedaan), persatuan, dan kesatuan. Tahun 1945 merupakan momentum yang dinanti dari perjuangan panjang untuk mengumandangkan kedaulatan di tanah sendiri. Tahun 1966 merupakan akhir dari PKI di Indonesia dan awal orde baru. Dan pada 1998 terjadi peristiwa besar yang menjadi momentum perantara kita menuju era sekarang.
Pada setiap momentum perubahan, pemuda terpelajar selalu ada di depan dan sangat penting perannya. Mereka menjadi inisiator sekaligus motor perubahan. Bahkan pada titik tertentu mereka menjadi katalisator yang memaksa dan memberi arah perubahan. Setiap jaman ada rijalnya.
Saya sadar betul bahwa rijal atau pemuda terpelajar di zaman ini salah satunya adalah saya. Berbeda ketika dulu di masa sebelum kuliah, saya adalah anak kecil ingusan yang fokus hidupnya hanya seputar ego dan pemenuhan kebutuhan pribadi. Dan kini saya berada pada fase yang pernah dilalui orang-orang besar pengusung perubahan dulu, yakni mahasiswa.
Sebenarnya sudah sejak SMA saya dikenalkan dengan sesuatu bernama agent of change, iron stock, dan social control. Tapi ketika itu masih belum membekas dan hanya sekadar tahu saja. Dan sekarang saya hadir di lingkungan kampus yang mengajarkan banyak hal, termasuk idealisme ‘jalanan’ ala mahasiswa. Sepertinya saya benar-benar mewarisi idealisme tersebut.
Semakin kesini saya semakin sadar, idealisme warisan itu kini mendapat banyak tantangan seiring perkembangan zaman. Apa jadinya ketika idealisme tak sesuai realita atau realita tak sesuai idealisme?
Globalisasi yang menghantui
Saya sempat tertawa membaca ilustrasi di notes Facebook-nya Bang Ridwansyah Yusuf Achmad, Presiden KM ITB 2009-2010, tentang globalisasi. Seseorang sempat ditanya perihal globalisasi.
Pertanyaan : “Apakah contoh yang paling kongkrit dari Globalisasi?”
Jawaban : “Kematian Lady Diana.”
Penasaran : “Bagaimana bisa seperti itu?”
Jawaban : “Lady Diana adalah orang Inggris yang mempunyai pacar orang Mesir, mengalami kecelakaan di sebuah terowongan di Perancis saat mengendarai mobil buatan Jerman yang mesinnya berasal dari Belanda. Supirnya orang Belgia yang mabuk karena minum whiskey Skotlandia.
Saat terjadinya kecelakaan itu, Sang Putri sedang dikejar-kejar paparazzi asal Italia yang mengendarai sepeda motor buatan Jepang. Sebelum meninggal, Lady Diana dirawat oleh seorang doktor Amerika dengan obat-obatan yang diproduksi di Brazil. Dan tulisan ini mulanya dikirim oleh seorang Armenia menggunakan teknologi Bill Gate.
Ketika Anda sedang membaca tulisan ini kemungkinan menggunakan salah perangkat komputer atau handphone yg memakai chip buatan Taiwan dengan monitor buatan Korea yang dirakit buruh-buruh asal Filipina di sebuah pabrik di Singapura. Diangkut dengan kereta oleh orang India dan dibajak oleh orang Indonesia dan akhirnya dibeli oleh Anda.”
Nah, humor ilustrasi di atas mengambarkan betapa globalisasi seperti meniadakan batas antarnegara. Menurut Anthony Giddens, globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial tingkat dunia yang mempertemukan erbagai tempat (lokalitas) sedemikian rupa sehingga kejadia-kejadian yang terjadi di suatu daerah dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang berlangsung di tempat-tempat yang sangat jauh dan demikian pula sebaliknya [1].
Globalisasi mempengaruhi tiap aspek kehidupan. Dalam praktiknya arus informasi tiap detiknya dapat diakses kapan saja dan dimana saja, bahkan dalam perdagangan pun sudah diberlakukan kawasan perdagangan bebas (free trade area) yang bagi beberapa negara hal ini menjadi ancaman.
Sebuah konsekuensi logis yang tercipta dari globalisasi adalah jejaring kerjasama yang semakin lebar dan telah melewati batas geografis, etnis, agama, bahkan idealisme. Bagi Indonesia tampaknya hal ini masih menjadi ancaman. Kita semua menyaksikan banyak produk-produk luar negeri masuk ke pasar-pasar Indonesia. Mulai dari barang elektronik berwujud telepon seluler dilengkapi televisi hingga tusuk gigi pun diimpor. Masyarakat ekonomi di negeri ini seperti sangat sulit bersaing dengan produk-produk buatan Cina yang terkenal murah-meriah.
Sisi lain dari globalisasi adalah berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi. Siapapun bisa mengakses informasi yang terjadi di belahan bumi manapun. Berkembangnya jejaring sosial media pun membawa dampak yang luar biasa. Seseorang dapat menjadi sangat terkenal hanya dengan mengunggah video lipsing atau tarian caiyya caiyya ala Norman Kamaru. Bahkan revolusi Mesir hingga menumbangkan Husni Mubarrak tidak lepas dari peran jejaring sosial media.
Zaman sudah berubah, globalisasi memberi warna tersendiri bagi zaman ini dan orang-orangnya. Hadirnya globalisasi hari ini lebih seperti ancaman atau momok yang menakutkan. Semula globalisasi diharapkan mampu menjanjikan masa depan dunia yang lebih indah. Tapi kenyataannya dunia—termasuk Indonesia dipaksa untuk menerima bahwa sistim ekonomi yang paling produktif adalah sistim yang ramah pada pasar. Maka jadilah pasar Indonesia sebagai pasar dengan watak market-friendly. Kita dipaksa lupa bahwa pasar tak pernah punya nurani, seratus persen mencari profit tanpa mempertimbangkan apa pun juga. Bila kita cermati, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin cenderung makin menganga lebar. Di akhir dasawarsa 1990-an, 20 persen penduduk dunia yang hidup di negara maju menikmati 86 persen penghasilan dunia, sedangkan 20 persen paling bawah hanya mendapat 1 persen penghasilan dunia. Sekitar 1/6 penduduk dunia berpenghasilan kurang dari satu dolar sehari. [2].
Belum lagi di negeri ini terdapat banyak sekali korporasi-korporasi besar yang mencengkeram kencang tanah-tanahnya, bahkan sampai mencekik leher rakyat-rakyatnya. Korporasi-korporasi besar tersebut dengan mudah mendikte, bahkan kadang-kadang membeli pemerintah meloloskan keinginan mereka. Sebut saja Freeport yang sejak dahulu sudah mengobrak-abrik kesucian ibu pertiwi di Papua. Di sisi lain sumber daya alam kita terus saja dikeruk dan dihabisi. Menurut data British Petroleum Statistical Review, Indonesia hanya memiliki cadangan batubara sebesar 4,3 miliar ton atau 0,5 persen dari total cadangan batubara dunia menjadi pemasok utama batubara China yang memiliki cadangan batubara sebesar 114,5 miliar ton atau 13,9 persen dari total cadangan batubara dunia. Saat ini, Indonesia telah mengekspor 240 juta ton dari rata-rata produksi 340 juta ton per tahun. Di sektor migas, penguasaan cadangan migas juga masih didominasi oleh perusahaan asing. Dari total 225 blok yang dikelola kontraktor kontrak kerjasama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, dan 77 blok sisanya dioperasikan oleh perusahaan gabungan asing dan lokal [3].
Globalisasi dapat menjadi ancaman juga sekaligus tantangan. Tergantung darimana sudut pandang kita melihat. Akan lebih baik jika kita memilih pendapat bahwa globalisasi adalah tantangan. Tantangan untuk lebih kreatif agar bisa survive dari serangan produk-produk luar negeri dan mampu bersaing di perdagangan internasional. Tantangan bagaimana pendidikan, riset, dan teknologi, kita mampu menyusul dan melampaui negara-negara maju. Tantangan untuk mampu menguasai teknologi informasi dan mengontrol masuknya nilai-nilai dari luar yang bisa mempengaruhi karakter anak-anak remaja khususnya dan masyarakat secara umum. Tantangan bagaimana membebaskan negara ini dari belenggu-belenggu asing atas penguasaan sumber dayanya.
Dengan demikian kita semua mafhum bahwa globalisasi yang terjadi dengan didukung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi benar-benar membawa ekses yang besar bagi dunia. Ia bisa menjadi tantangan, tapi juga bisa menjadi ancaman bak momok yang menakutkan.
Konsolidasikan Gerakan Kita Segera
Kembali kepada idealisme ‘jalanan’ ala mahasiswa dengan realita kekinian yang menghadang di depan. Kemudian kita melihat globalisasi ini juga memiliki pengaruh yang demikian besar pula pada gerakan mahasiswa. Globalisasi juga menjadi tantangan bagi gerakan pemuda dan mahasiswa hari ini. Tapi seketika globalisasi bisa saja menjadi ancaman kala gerakan kita belum mampu membaca trend globalisasi dan masih terjebak pada romantisme masa lalu di jalanan. Globalisasi menuntut gerakan mahasiswa lebih terbuka, inovatif, dan dinamis agar dapat selalu mengikuti ritme perkembangan globalisasi. Memang menjadi sebuah dilema, apakah mahasiswa akan tetap bergerak dengan “gaya lama” yang bisa jadi selama ini telah menuai banyak sejarah romantis yang sulit dilupakan, ataukah mahasiswa bersedia mereposisi, dan merevitalisasi gerakannya agar dapat diterima dan bermanfaat untuk masyarakat. Kunci utama dari perubahan ini adalah: tetap dengan idealisme ala mahasiswa. Ini PR kita bersama.
Nah, berikutnya yang akan kita hadapi adalah mahasiswa itu sendiri. Perkembangan zaman juga telah mempengaruhi dan mengarahkan pola pikir mahasiswa terjebak dalam arus yang cenderung materialistis. Coba saja lakukan survei pada sebagian mahasiswa tentang apa tujuan mereka mencari ilmu di perguruan tinggi. Kebanyakan akan menjawab supaya mendapat pekerjaan yang layak, agar nanti dapat hidup dengan mapan dan nyaman. Tak ada yang salah. Hanya saja yang jelas tampak adalah mahasiswa amat terpikat dengan hal ini sehingga lupa dengan tanggung jawab sebagai mahasiswa. Janganlah lupakan tanggung jawab dan idealisme ini!
Setelah idealisme warisan pusaka ini masih tetap terjaga dan terpelihara, selanjutnya gerakan mahasiswa harus mampu beradaptasi dan memanfaatkan semua peluang dan fasilitas yang ada untuk mendukung idealismenya menjadikan negeri ini sebagai negeri mandiri dan sejahtera. Gerakan mahasiswa sangat diharapkan mampu menstimulus keinginan menyuarakan ide, gagasan, dan opini dari pikiran seseorang ke publik.
Zaman ini juga mengisyarakan bahwa gerakan mahasiswa sekarang tidak melulu adalah sekadar soal politik, kebijakan, dan kekuasaan. Tapi juga yang paling penting adalah menyiapkan diri kita sendiri untuk memberikan kontribusi nyata sesuai bidang-bidang yang ada ketika saatnya tiba kita memimpin.
Mahasiswa dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori minat dan potensi, yakni: aktivis, atlet, seniman, akademisi, dan entrepreneur. Bila setiap kategori ini mampu dibesarkan secara massif, maka potensi yang besar ini setidaknya melegakan kita sementara bahwa kita sudah siap untuk berkontribusi dan memimpin di segala bidang untuk membangun Indonesia yang mandiri dan sejahtera. Kita percaya Indonesia akan mandiri dan sejahtera manakala kelima potensi tersebut dikelola dan dikembangkan dengan baik.
Jangan sampai gerakan mahasiswa tidak melibatkan seluruh potensi yang dimiliki oleh mahasiswa yang ada. Karena salah satu tujuan keberadaan gerakan mahasiswa adalah untuk mengoptimalisasi dan mengsinergikan potensi. Bila gerakan mahasiswa hanya didominasi oleh sekelompok kecil mahasiswa yang menghegemoni, maka gerakan tersebut sangat dipertanyakan kredebilitas dan representasinya.
Tentu fokus kita tetap pada bagaimana Indonesia mampu benar-benar meraih kemerdekaannya secara riil sehingga kita bisa hidup mandiri dan sejahtera. Untuk bisa menjadi Indonesia yang mandiri dan sejahtera, ada beberapa parameter yang harus dipenuhi. Pertama, aspek ekonomi. Disini kita butuh sumber daya manusia yang unggul, teknologi tepat guna, dan kesejahteraan sosial.
Kedua, aspek politik. Merupakan hal yang penting dan perlu disegerakan adalah: kestabilan politik dalam dan luar negeri, pemimpin yang tidak terikat dengan rakyat, serta produk politik dan kebijakan poliik yang memakmurkan rakyat.
Ketiga, aspek sosial budaya. Bangsa kita menjadi bangsa yang berkarakter, pendidikan berkualitas dan terjangkau oleh semua kalangan, serta kualitas hidup yang layak.
Keempat, aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepercayaan diri untuk menggunakan dan memberikan teknologi buatan anak bangsa kepada masyarakat kita dan dunia, nilai tamah potensi kekayaan alam dan kompetensi kekayaan insani Indonesia, serta sinergisasi kebijakan IPTEK nasional
Di atas sudah dibahas tentang lima minat dan potensi yang harus dikembangkan secara massif untuk menyokong perubahan. Pada tataran berikutnya, dari kelima minat dan potensi ini kita mencoba menyarikan menjadi tiga kekuatan utama untuk membangun Indonesia yang mandiri dan sejahtera: akademisi, bisnis, dan pemerintah. Dan inilah yang disebut konsep Triple Helix yang merupakan konsep sinergi tiga kekuatan antara akademisi, bisnis, dan pemerintah. Kalangan akademisi dengan sumber daya, ilmu pengetahuan, dan teknologinya memfokuskan diri untuk menghasilkan berbagai temuan dan inovasi yang aplikatif. Kalangan bisnis melakukan kapitalisasi yang memberikan keuntungan ekonomi dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sedang pemerintah menjamin dan menjaga stabilitas hubungan keduanya dengan regulasi kondusif.
Konsep ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang dilirik asing. Kita berharap kita benar-benar mandiri. Manusia-manusia kita mampu mengolah dan menguasai sendiri sumber daya alamnya. Merancang dan membangun sendiri teknologinya. Mengeluarkan kebijakan yang memproteksi kepentingan rakyat dan sumber dayanya. Dan mampu memberikan sokongan dana serta memasarkan produk-produk dalam negeri secara efektif.
Menurut Global Competitiveness Report terkini, Indonesia duduk di peringkat ke-30 dari 142 negara, ditilik dari kapasitas inovasinya. Ini merupakan keunggulan komparatif yang tak bisa dipandang sebelah mata karena Indonesia bahkan mengungguli negara berekonomi lebih maju, seperti Spanyol di peringkat ke-36 dan Hongkong peringkat ke-39. Namun, ironisnya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi di Indonesia mencapai 1,2 juta orang (2012).
Kondisi ini menunjukkan bahwa belum ada padu padan (link and match) antara kampus dan pasar kerja. Dalam tataran ideal, kampus seharusnya menjadi motor penggerak penciptaan lapangan kerja, bukan sekadar menghasilkan pencari kerja. Kita terpaksa harus mengakui, perguruan tinggi baru sebatas menjadi ”mesin” yang memproduksi sebanyak mungkin sarjana. Dan inilah yang juga menjadi tantangan kita selanjutnya [4].
Terakhir dalam tulisan ini, tentang peranku dalam membangun Indonesia yang mandiri dan sejahtera. Secara sangat sadar bahwa saya adalah bagian yang tak terpisahkan dari gerakan anak-anak muda, gerakan dengan idealisme ‘jalanan’ ala mahasiswa yang memperjuangkan kebenaran atas nama rakyat Indonesia. Saya adalah bagian dari gerakan yang mulai meluaskan manuvernya pada sector-sektor vital untuk membangun negeri ini.
Agent of change, iron stock, dan social control, harus dimaknai dengan makna yang meluaskan peranannya. Mencoba mencari-cari peran saya dalam membangun Indonesia yang mandiri dan sejahtera dengan melihat posisi dan amanah saya saat ini maka:
1.      Saya adalah pewaris idealisme yang menjadi semangat perubahan dan kejayaan tiap zamannya. Namun, saya harus jeli dalam melihat tantangan dan menangkap peluang sebab zaman terus berubah dan gerakan yang fleksibel dan adaptif sangat diperlukan.
2.      Saya memiliki tanggung jawab besar. Tanggung jawab terhadap sejarah yang telah ditorehkan dan tanggung jawab terhadap masa depan yang akan diukir. Tanggung jawab tentang kesadaran diri dan penyadaraan orang-orang di sekitar saya.
3.      Saya bersyukur ditakdirkan menuntut ilmu di Program Studi Sistem Komputer Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Peran saya adalah mengaktualisasikan keilmuan saya ini dan menjadi solusi atas banyaknya sarjana yang menganggur. Sejujurnya saya memiliki mimpi untuk membangun lembah yang akan mengkatalis tumbuhnya perusahaan-perusahaan bidang IT, seperti Stanford University dengan Silicon Valley-nya. Harapan saya adalah pengembangan IT ini mampu menjadi katalisator kemajuan di bidang-bidang lainnya.
4.      Amanah saya sebagai Kepala Departemen Kebijakan Publik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Keluarga Mahasiswa Universitas Diponegoro mengharuskan saya untuk setia mengawal setiap kebijakan dan produk politik negeri ini sambil sesekali turun ke jalan. Teori Lord Acton mengingatkan saya bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, dan manusia dengan kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely) [5].

Referensi:
[1]       Rais. Amien, Agenda-agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia,Yogyakarta: PSSK, 2008.
[2]        Ibid.
[3]        Kompas, Rabu, 25 Mei 2011.
[4]       Bakrie. Anindya N, Triple Helix dan Percepatan Inovasi,” September 4, 2012, Available: http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11805.
[5]       X. Sultan Hamengku Buwono, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, Jakarta: Gramedia, 2008.

0 komentar: