TERHANGAT

Selamat datang, Sobat! Jangan malu-malu untuk baca, komentar, dan share ya. Semoga coret-coretan ini bisa bermanfaat ya. Salam kenal. :)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya) dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Minggu, 26 Agustus 2012

Merah Putihku, Merah Putihmu, Merah Putih Kita


Setiap 17 Agustus maka pasti Indonesia yang hijau berubah warnanya menjadi merah-putih. Lautnya yang biru membentang sejenak menjadi lautan merah-putih yang berkibar. Hampir setiap rumah memancangkan tiang-tiang nan kokoh tempat berkibar Sang Merah Putih di depan pekarangan. Hampir setiap kendaraan dipasangi kain kecil berwarna merah-putih di kaca spionnya. Ketika akan mendekati tanggal 17 layar televisi pun segera dihiasi dua warna istimewa ini. Puncaknya adalah ketika putra-putri terbaik Indonesia yang terpilih dari tiap provinsi mengibarkan Sangsaka Merah Putih di istana negara, Jakarta.
Pun begitu dengan tiap-tiap daerah. Baik provinsi, kabupaten, hingga tingkat kecamatan, serentak mengibarkan merah-putih.  Pada hari itu Sang Merah-putih sangat gagah berkibar di langit yang mengharu-biru diiringi dengan lagu ciptaan Wage Soepratman yang membahana ke seluruh alam raya, Indonesia Raya.
Saya sangat bangga pernah menjadi bagian dari barisan putih-putih yang gagah itu. Sampai hari ini pun saya tetap menjadi bagiannya. Selamanya. Meski paling tinggi saya hanya bisa mengibarkan di tingkat kabupaten. Tak masalah mengibarkannya dimana saja. Semangat dan niatnya yang utama. Dua kali dalam dua tahun berturut-turut menjadi komandan pasukan di Kecamatan Tumijajar-2007 (Bersama Pak Kardion, Acong, Jailangkung, Tukul, Inem, dkk) dan Kabupaten Tulang Bawang-2008 (Bersama Pak Suwardi, Kak Albari, Syaiful, Dora, Yeyen, Fiska, Kartika, dkk) merupakan kebanggan yang amat dalam buat saya. Masih sangat jelas dalam ingatan pada tahun 2007 kami menggunakan formasi U dan pada 2008 menggunakan formasi V. Ada rasa puas bercampur haru ketika perjuangan seleksi, berlatih, membentuk kekompakan dan kebersamaan selama kurang lebih 3 minggu akhirnya mampu mengibarkan Sang Merah-putih dalam waktu kurang lebih 15-20 menit. Seperti konyol memang, waktu hampir sebulan hanya untuk 15 menit. Tapi ini perjuangan kami!
Cukup dulu sekapur sirih dan seulas pinangnya ya. Tulisan ini akan mengajak pembaca sekalian berpikir dan merenungi sesuatu yang baru-baru ini saya rasakan. Sejujurnya, kesedihan yang mendalam buat saya melihat merah-putih hari ini berkibar. Tanya Kenapa?
Saya hanya ingin bicara soal sejarah—meski saya anak teknik. Tentang bagaimana merah-putih itu menjadi bagian bangsa kita dan kondisi kekinian kita sekarang. Merupakan hal yang berat untuk mengibarkan merah-putih itu. Bukan usahanya, tapi tanggung jawabnya yang berat. Tanggung jawab kepada orang-orang di masa lalu bangsa ini dan orang-orang di masa depan bangsa ini. Setelah paragraf ini, sejarah akan bercerita kepada kita, dan setelah itu akan saya sampaikan perenungan saya.
Bicara tentang sesuatu yang menjadi milik bangsa ini akan membutuhkan banyak sekali waktu serta referensi untuk menelusurinya jauh ke belakang. Maka pasti di dalamnya terdapat jejak-jejak sejarah yang menjadi sebab akibat mengapa sesuatu tersebut menjadi milik Indonesia.
Dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di Jakarta berkumpullah putera-puteri Indonesia yang berasal dari berbagai keragaman—saya enggan menyebutnya perbedaan. Seperti yang kita ketahui dalam mata pelajaran Sejarah di bangku sekolah dulu, pada hari itu dihasilkan dan diikrarkanlah Soempah Pemoeda yang mengaku bertumpah darah yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Dalam pada itu, pada tempat dan waktu yang sama, disepakatilah dua piranti kemerdekaan. Pertama, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Kedua, Sang Saka Merah Putih sebagai bendera nasional.
Sebagaimana bahasa Indonesia yang sebelumnya sudah disepakati dan ternyata berasal dari bahasa melayu pasar, Sang Saka Merah Putih pun begitu. Merah-putih punya ceritanya sendiri. Bukan muncul secara tiba-tiba atau hanya karena usulan dari seseorang lalu disepakati begitu saja oleh forum kala itu. Bukan. Tulisan ini tidak bercerita tentang bagaimana Bunda Fatmawati menjahitkan Bendera Pusaka. Tapi jauh sebelum itu.
Pendiri-pendiri negara ini amat pintar dan jeli dalam menyarikan dan merancang bangsa ini. Mereka mengambilkan dasar-dasar dari apa yang memang sudah mengkristal sejak lama dalam diri bangsa ini—meskipun kala itu belum dikenal istilah nasionalisme dan patriotisme. Merah-putih sudah sejak lama bersanding dalam sanubari bangsa ini.
Di atas sempat saya sebutkan Sekapur Sirih dan Seulas Pinang. Dua frase warisan orang-orang tua kita ini tampaknya sudah terlalu tua untuk digunakan di masa ini. Tapi inilah warisan pendahulu kita. Cobalah buka buku-buku lama, maka akan sering kita temukan dua frase tersebut menjadi judul dari pembuka. Bukankah kapur dengan sirih akan melahirkan warna merah dan apabila buah pinang dibelah akan terlihat di dalamnya berwarna putih?
Cendikiawan bangsa ini muncul bukan hanya ketika anak-anak priyai disekolahkan dan dikirim ke Belanda. Tapi sudah muncul sejak lama ketika Islam menyentuh sanubari bangsa ini dan mengubahnya dari dominasi Kerajaan Hindu-Budha menjadi hagemoni Islam abad ke 7 M. Sebut saja ulama dan santri. Mereka ini yang dulunya mengobarkan semangat kemerdekaan (jauh sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan) dan kebebasan. Bahwa penjajahan itu tidak berkeperikemanusiaan dan perikeadilan. Bahwa kaum-kaum tertindas haruslah melawan! Hingga meletuslah Perang Suci/Perang Sabil yang dipimpin oleh Soeltan Abdoelhamid Eroetjakra Amiroel Moekminin Syaijidin Panatagama Khalifah Rasoeloellah saw ing Tanah Djawa—Pangeran Diponegoro, anak dari Hamengkubuwono III 1825-1830 M.
Para ulama dan santri tersebutlah yang mengajarkan kita menggunakan frase Sekapur Sirih dan Seulas Pinang. Hingga dalam tiap-tiap pembukaan buku zaman dahulu kala selalu kita temukan dua frase tersebut. Namun sekarang kita lebih akrab dengan “editorial” atau “salam redaksi” atau “kata pengantar”. Merah-putih.
Pada saat membangun rumah. Di sahunan atas dikibarkan Sang Merah Putih. Setiap hari jum’at, mimbar Jum’at di Masjid Agung atau Masjid Raya dihias dengan bendera merah putih. Tampaknya para ulama dan santri berusaha sangat keras untuk membudayakan merah-putih untuk bangsa ini.
Dasar pembudayaan Merah-putih ini bertolak dari ajaran Al-Qur’an. Kita semua mengetahui jasmani manusia diciptakan Allah dari darah. Khalaqal Insaana min ‘alaq (QS. Al-Alaq: 2). Darah ibu dikonsumsi oleh bayi dalam rahim ibu selama Sembilan bulan sepuluh hari dan warnanya merah. Sesudah dilahirkan, bayi masih membutuhkan darah ibu, selama 20 bulan 20 hari, lewat air susu ibu (ASI) yang berwarna putih.
Dalam Al-Qur’an disebutkan Syalasuuna Syahra atau 9 bulan 10 hari ditambah 20 bulan 20 hari, menjadi 30 bulan (QS. Al-Ahqaf: 15). Oleh karena itu, kelahiran dan pemberian nama disertai dengan pembuatan bubuer merah putih sebagai symbol darah ibu yang dikonsumsi oleh seorang bayi, minimal selama 30 bulan. Pemberian ASI dapat dilengkapkan waktunya selama 24 bulan (QS. Al-Baqarah: 233).
Proses kehamilan dan kelahiran dalam Al-Qur’an dilukiskan sebagai pengorbanan akbar yang penuh kesabaran dari ibu yang mengandung dan melahirkan penuh derita selama 9 bulan 10 hari (QS. Luqman: 14 dan Al-Ahqaf: 15). Proses kelahiran pun disertai dorongan darah ibu yang tumpah di saat persalinan.
Kenyataan ini mendorong Wage Soepratman, sebagai seorang pujangga Muslim, untuk menciptakan lagu kebangsaan yang melukiskan tanah air sebagai tanah tumpah darah. Tanah tumpah darah ibu dijadikan tekad untuk menjadi pandu ibuku. Pada teks asli syair Lagu Kebangsaan Indonesia Raya pada Kongres Pemoeda II 28 Oktober 1928 tertulis: “Indonesia tanah airkoe, tanah toempah darahkoe, disanalah akoe berdiri, mendjaga Pandoe Iboekoe.” Pribadi Wage Soeprtaman yang religius dan memahami realitas bahwa masyarakat Probumi adalah Muslim, memengaruhi jiwa syair Indonesia Raya, misalnya, “Marilah kita mendoa: Indonesia bahagia.” Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 kata “mendoa” berubah menjadi berseru.
Mengejutkan buat saya ketika saya mengetahui Rasulullah pernah menyebut merah-putih. Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan, Jilid X, halaman 340, dari Hamisy Qasthalani: Rasulullah saw bersabda: Innallaha zawaliyal ardha—Allah menunjukkan kepadaku dunia
Masyaariqaha wa maghribaha—Allah menunjukkan pula timur dan barat
Wa a’thanil kanzaini—Allah menganugerahkan dua perbendaharaan kepadaku
Al-Ahmar wal Abjadh—Merah putih
Busana Rasulullah yang indah itu juga berwarna merah. Seperti yang disampaikan oleh Al-Barra:
“Pada suatu hari Nabi saw duduk bersila dan aku melihatnya beliau memakai hullah (busana rangkap dua) yang berwarna merah. Aku belum pernah melihat pakaian seindah itu.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Busana putih juga dikenakan oleh Rasulullah saw. Demikian pula sarung pedang Rasulullah saw dan pedang Sayidina Ali ra pun berwarna merah. Sedang sarung pedang Khalid bin Walid berwarna merah putih.
Semakin kesini, setelah Kerajaan Saudi Arabia dan Raja Ibnu Saud menggunakan bendera berwarna dasar hijau (1924 M), menyebarlah warna hijau menjadi ciri warna Islam pembaharuan atau Wahabisme. Sementara itu, warna merah putih bendera Rasulullah saw tergantikan dengan warna hijau bendera kerajaan Saudi Arabia. Selain itu, warna hijau menjadi warna kubah makam Rasulullah saw. Kemudian terkesan warna merah bukan warna Islami, walaupun Masjid Rasulullah berwarna merah bata dan masjid di Spanyol, disebut Al-Hambra atau Al-Ahmar yang artinya merah. Islam Indonesia meniru menggunakan warna hijau seperti kubah makam Rasulullah saw. Padahal, warna karpet di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah merah. Sedang di Indonesia terjadi hijaunisasi sampai ke warna karpet masjid dan bendera lambing organisasi.
Dampaknya dalam penulisan sejarah, Sang Saka Merah Putih tidak dihubungkan dengan warna bendera Rasulullah saw, Merah Putih. Hal ini karena gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah dan Wahabisme di Arabia beralih ke warna hijau.
Mencoba untuk menelusuri kembali asal-muasal merah putih. Kekhalifahan Islam yang terakhir adalah Kekhalifahan Turki Utsmani. Kerajaan-kerajaan di nusantara amat dekat hubungannya dengan kekhalifahan Turki Utsmani. Dibuktikan dengan kesamaan simbol yang ada. Di bendera Turki ada simbol bulan dan bintang. Dan di kubah-kubah masjid di negeri ini ada simbol bulan dan bintang. Simbol yang sama. Dan warna bendera Turki pun merah dan putih.
***
Setelah penjabaran dan pengungkapan yang cukup detil di atas, saya mengajak pembaca untuk kembali berpikir. Tentang realita hari ini yang jauh dari hubungan sejarahnya. Inilah yang saya sebut berat tanggung jawabnya. Tanggung jawab terhadap sejarah.
Bangsa kita merdeka bukan dengan sekonyong-konyong. Ada perjuangan dan pengorbanan besar di dalamnya. Yang perlu diingat, Indonesia merdeka bukan karena perjuangan dan pengorbanan itu. Tapi Indonesia merdeka karena rahmat Allah.
“Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan dan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Bukan bermaksud menafikan perjuangan dan pengorbanan besar orang-orang dahulu, tapi yang saya tekankan adalah pengakuan para pendiri negara sekaligus pendahulu kita tentang kemerdekaan, tentang bendera merah putih yang berkibar gagah.
Pengakuan bahwa Sang Merah Putih itu bisa berkibar gagah adalah karena rahmat Allah. Bukan karena yang lain. Pertanda dasar pijakannya adalah keimanan dan ketaqwaan yang mendalam.
Bahwa kemerdekaan bangsa ini tidak diraih dengan sekonyong-konyong oleh satu generasi. Tapi turun-temurun berikut dengan perjuangan dan pengorbanannya. Perjuangan dan pengorbanan yang tiada tara. Perjuangan dan pengorbanan atas nama cinta tanah kelahiran. Perjuangan dan pengorbanan atas nama keimanan.
Kakek kita, Pangeran Diponegoro, Nampak gagah dalam lukisannya. Di atas kudanya, memegang keris, bersorban, dan berbaju gamis, pakaian tanda keimanan. Anak Hamengkubuwono ini dengan gagah mengobarkan peperangan melawan penjajah hingga menimbulkan kerugian yang amat besar di tangan lawan.
Masih ingat Bung Tomo? Orasi dan pekikkan takbirnya tanda keimanan mampu menggelorakan arek-arek Surabaya melawan penjajah.
Yang ingin saya petik adalah bahwa bangsa ini merdeka dengan perjuangan panjangnya yang dilandasi keimanan yang mendalam.
Tapi hal ini menjadi paradoks ketika kita melihat realita. Negara ini carut-marut. Pemerintahnya bobrok. Anak mudanya malah “begini”—silahkan definisikan sendiri. Namun bukan disini tempat saya untuk bicara soal pemerintah dan anak muda secara umum. Saya hanya ingin mengingatkan kepada putra-putri pilihan yang mengibarkan Sang Merah Putih panji pusaka bangsa.
Sudahkah pengibaran tahun ini memenuhi tanggung jawabnya terhadap sejarah?
Menjadi ironi ketika pendahulu kita mengibarkan Sang Merah Putih dengan mati-matian beriring pekikan takbir atas dasar keimanan yang kuat. Sedang kita hari ini (bertepatan dengan Ramadhan pula—persis seperti pada tahun 1945!) seperti apa? Melupakan pijakan keimanannya. Melupakan frase “Atas berkat rahmat Allah”. Kita asyik latihan, tapi lupa puasa—semoga tak ada yang begini. Kita latihan sampai malam tapi lupa tarawih—semoga pula taka da yang begini. Maka apa arti berkibarnya Merah Putih?
Jangan sampai Sang Merah Putih enggan untuk berkibar di tangan kita dan menolak.
Yang saya khawatirkan di masa depan orang-orang bilang perjuangan kita untuk mengibarkan Sang Merah Putih tiap tahunnya itu bullshit. Dan inilah tanggung jawab kita terhadap masa depan.


Tanah airku, 22 Agustus 2012
Untuk pasukanku dan adik-adikku.

0 komentar: