Sampah-sampah, jangan dibuang!
Keren! Orang-orang heboh soal film ini udah
berbulan-bulan yang lewat. Iya, nama filmnya Omar. Dan saya baru
sekarang kebagian hebohnya. Karena saya baru nonton dengan penuh pneghayatan. Liatin
gambarnya sampai khusyuk bacain subtitlenya.
Dan dialah Umar bin Khaththab ra Sang Pejuang sejati. Awalnya
ia seperti menolak kehadiran risalah yang dibawa Rasulullah. Tapi ternyata
bukan. Dia hanya kokoh pikiran dan akalnya. Dia tampak sangat elegan dan
independen sekali dalam tiap tindakan dan keputusan pribadinya ketika
berdiskusi dengan Abu Jahl dan kroni-kroninya. Dia berpikir bebas dan lepas. Dengan
sudut pandang yang adil dan objektif, terbebas dari kepentingan pribadi atau
golongan. Dia kokoh memegang prinsip-prinsip yang menurut dia benar. Tidak asal
ikut kemana arah angina bertiup. Inilah integritas. Dan nyatalah ternyata sosok
Umar ini benar-benar sangat tinggi dan kuat integritasnya. Ketika kalam-kalam
Rabb-nya terbaca olehnya (QS. Thaaha), baginya yang hitam tetap hitam, yang
putih tetap putih. Bukti integritas dan independensinya adalah ia mampu memilih
dengan bebas untuk segera bersaksi dan berkomitmen kepada Allah dan Muhammad
saw. Tanpa berpikir panjang tentang klan (suku) beliau, tentang omongan orang,
dan lainnya.
Bener-bener top markotop ini film *meski rada susah
juga bacain subtitlenya mulu*. Banyak prinsip yang bisa dijadikan hikmah. Ah,
terlalu panjang ini intronya. Sebenarnya saya bukan mau bahas film ini atau
sosok Umar bin Khaththab ra yang luar biasa hebat. Di tulisan ini saya Cuma mau
nyampah, cuma mau sepik-sepik doang, Cuma mau talk doang *tapi talking and
writing itu juga action lho*. Yap, sampah yang kamu baca ini cocok untuk dibaca
semua kalangan; anak-anak, dewasa; semua agama; dan semua ras. *Opo tho Le Le*.
Disini sampahnya adalah tentang diri kita, lebih focus lagi tentang integritas,
indepedensi sebagai pribadi dan manusia. Dan sampah ini bakalan nyepik lebih
dalam lagi tentang sosok pemimpin kita hari ini. *Monggo mau didefinisiin diri
sendiri, kepala keluarga, ketua RT, ato Pak Presiden (temennya Pak Bud)*
Saya punya KBBI elektronik *agaknya ini ga cukup untuk
masuk landasan teori*, tapi bolehlah saya tengok sedikit apa sih yang KBBI
elektronik ini bilang tentang integritas. Integritas itu mutu, sifat, atau
keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Yah, kira-kira begitulah. Sederhananya integritas itu
adalah kesetiaan pada apa yang benar. Itu saja. Mungkin dimensi kebenaran buat
kita itu yang susah untuk medefinisikannya. Tapi cukuplah akal dan hati manusia
yang bermain disini. Tak usah banyak berdebat tentang dimana itu kebenaran. Karena
yang benar itu Cuma satu, ya yang kau yakini benar itulah *dengan jujur tapi
ya, ga pake ikut-ikutan orang lain atau terpengaruh sentiment antar kelompok*.
Integritas itu kau jujur pada nurani. Integritas itu
kau utuh sebagai pribadi dan manusia, tak perlu dikurangi atau ditambahi orang
lain. Integritas itu kau independen, merdeka dan bebas dengan pilihan-pilihan
kebenaranmu. Integritas itu lurus antara perkataan dan perbuatan. Integritas itu
satu, kesatuan antara raga, jiwa, pikiran, dan imanmu. *hahaha abstrak n normatif
sekali*
Tak banyak saya menyampahi itegritas. Sekarang sampah
berikutnya adalah pertanyaan tentang kemana integritas kita?
Dan tentang independensi, kalau yang dimaksud adalah
kemerdekaan atau kebebasan dengan integritasnya jelas sangat sepakat. Sangat
kasihan orang-orang yang integritasnya tak utuh lagi terjajah *yuk evaluasi
diri masing-masing*. Merdeka, Bung!
Ah, saya bukan mahasiswa cerdas. Saya tak pandai
menulis, apalagi retorika. *Huuweeeekkk, muntah*. Saya berikut tulisan ini
hanyalah sampah, sampah yang merealita di tengah kita. Dan sekarang adalah
gilirannya sampah ini bercerita tentang kejengahannya tadi siang.
“Bro, motormu
mau kau pakai tak?”
“Iya, ini mau
ke bawah.”
*aaaahhhh…
pelit kali kau!*
“Nah ada Eko,
pinjam motormu dong, Ko. Mau ngumpulin berkas ini ke PKM plus minta KHS. Boleh,
ya?”
“Iya, nih pake
aja.”
*alamaaakk
baik kali*
Bingung? Ya,
bukan ini yang mau saya ceritakan. *hahaha benar-benar sampah, kan?*
Kemarin saya yang jualas susu pasteurisasi ini dibuat bingung kala melihat pangkalan susu tempat biasa saya restock dipenuhi laki-laki tegap badan berisi dengan pakaian hijau loreng-loreng. TNI, Cuy! OMG! Apa susu yang saya jual ini beracun atau mengandung senjata kimia yang menularkan virus mematikan? *Nyampah lagi*
Kemarin saya yang jualas susu pasteurisasi ini dibuat bingung kala melihat pangkalan susu tempat biasa saya restock dipenuhi laki-laki tegap badan berisi dengan pakaian hijau loreng-loreng. TNI, Cuy! OMG! Apa susu yang saya jual ini beracun atau mengandung senjata kimia yang menularkan virus mematikan? *Nyampah lagi*
Rupanya Senin kemarin ada gladi bersih pengamanan Pak
Boed *ini Wakil Presiden kita lho, bukan yang jual angkringan depan mushola*.
Dan hari ini, Selasa, Pak Boed tepat datang dan lewat ketika saya sudah
terpaksa nyasar sampai hamper di Sumurboto. Padahal saya mau ke kampus. Yang ada
saya malah disuruh Pak Pol “lurus aja mas, lewat sana”. Ya saya percaya. Saya
lurus. Tapi kok ga ada jalan yang bisa untuk masuk kampus? Semua ditutup dengan
barisan-barisan tentara kita. Tak dinyana Pak Boed lewat di depan saya. Dan saya
baru paham kenapa semua ditutup. Setelah itu dibuka lagi.
Tapi secara spontan dan sangat subjektif saya ingin
nyampah sekali lagi. Ini kok Pak Wapres kita malah mengacaukan lalu lintas? Ratusan
manusia tadi siang berjibaku dan berjubel di jalanan tanpa arah sambil
berdesak-desakan. Wah, bukannya kasih solusi kemacetan, malah nambah masalah.
*Wuuh sampah banget paragraph ini*.
Idih, pengamanannya lebay banget, saya baru bisa ambil
stok susu jam sebelas kurang gara-gara pengamanan yang kayak begini. Lah, malah
menghambat rezeki. *hahaha rezeki itu diatur Allah Le*. Alhamdulillahnya habis
semua kok. *tepuk tangan, sujud syukur*. Pak Boed banyak musuh apa ya? Takut
teroris? Yah, berlebihan! *Subjektif dan spontan? Emang!*
Tapi tak apa juga sih, upaya preventif kok. Secara
beliau orang besar. Oh iya, tadi katanya adik-adik SD menyambut kedatangan Pak
Wapres di pinggir jalan. Seneng banget kalo jadi adik-adik ini ya. Tapi di
posisi saya sekarang, itu miris. Kenapa Pak Wapres tidak turun untuk sekadar
memberi do’a pada adik kita. Simple sih, tapi imposible buat beliau. *kan kita
butuh pemimpin yang simpatik dan membumi tho?*
Eh yang buat saya kaget ada sebaris brimob di depan
polines seperti sedang sholat berjamaah. Shaf rapat. Pundak rapat. Kaki rapat.
Gila! Barisannya rapet banget! Oh rupanya di tengah-tengah itu ada sejumlah
mahasiswa yang ingin ‘menyambut’ Pak Wapres dengan tumpeng dan orasinya. Saya jadi
geli kalau denger kata ‘sejumlah’, ini kesannya banyak, tapi sebenernya relative
sedikit. Ah, sayang sekali saya pagi tadi tak jadi bagian orang-orang dengan
megaphone udangnya yang menganga ke udara itu. Tapi saya boleh geli sekali lagi
ya, gerakan kita masih kurang massif, masih sebatas sang penyelengara.
Pencerdasan massa serta follow up yang kurang. Aksi masih sebatas konsolidasi h-1,
besok demonstrasi, masuk media, dan sudah. *Ya emang gitu. Iya, gitu realitanya*.
Tapi saya tak pesimis, saya optimis. Diponegoro sedang tumbuh, dan akan jadi
besar.
Tapi herannya saya, di negara demokrasi *sori kalau salah*
ini bukannya boleh ya demonstrasi? Tapi kenapa sejumlah sedikit mahasiswa ini
diperlakukan dengan kasar ya? Padahal hanya ingin menyapa dengan caranya. Tak ada
peluru yang meyasar kok. Tak ada botol kaca yang terlempar kok. Tak ada kayu
yang menghantam kok. Atau karena kata-kata mereka yang membuat pasukan pengaman
takut Pak Boed tersinggung, sakit hati, sedih, atau galau? *sempit sekali
prediksi saya* Tapi Pak Boed pastilah lebih cerdas dan mengerti tentang tabiat
serta ‘labil’nya anak-anak muda ini. Polosnya=mereka ini peduli, punya
aspirasi, kritik, ingin didengar, cape dengan birokrasi yang berbelit serta
suara yang tak terwakili di kursi perwakilan rakyat.
(Berjalan
dengan gaya yang sengaja pongah dan dada membusung serta kepala sedikit
mendangak ke atas tepat di depan para lelaki pengaman)
“Hey Dek,
kalau jalan yang sopan sedikit dong!”
“Oh, bapak masih ngerti yang namanya sopan? Masih ngerti yang namanya santun? Atau bapak hanya sopan dan santun pada orang yang memerintah bapak untuk memberi pengamanan kualitas bintang 5? Sementara anak muda ‘ini’ hanyalah seonggok sampah yang bisa kau bawa dengan serokan dan kau lempar ke dalam tong?”
“Oh, bapak masih ngerti yang namanya sopan? Masih ngerti yang namanya santun? Atau bapak hanya sopan dan santun pada orang yang memerintah bapak untuk memberi pengamanan kualitas bintang 5? Sementara anak muda ‘ini’ hanyalah seonggok sampah yang bisa kau bawa dengan serokan dan kau lempar ke dalam tong?”
Teruuss? Mana
korelasinya dengan integritas? *hahaha terserah saya yang nulis, kan nyampah*
Saya ga ragu lagi, peran-peran mahasiswa yang berupa
teori itu sekarang ibarat sampah bagi temen-temen. Udah sering denger, udah
tau. Udah hapal di luar kepala. Udah bolehlah kalau teori-teori itu mau
dibuang, yang penting sekarang action-nya. Sebel juga sih kalo liat anak-anak
muda adu argumen, adu kepentingan, atau malah terjebak dalam primordialismenya
(baca: aku yang hebat, aku yang pinter, aku yang benar), atau malah saling
tuding menyalahkan. Kita punya idealisme *bukan idealisme sampah*. Dan mana
integritasnya? Kok ga sehat? Mana budaya diskusi yang baik dan santun? Mana integritasnya?
Kok gak elegan? Mana ke-Indonesia-annya? Mana ke-bhineka-tunggal-ika-annya?
Udah selesai tuding-tudingan dan lalala-nya, terus
statement yang keluar: biarlah anjing menggonggong, kafila berlalu.
Hah, bener-bener sampah kan isi tulisan ini. Dan akhirnya
pun saya lega, sampah ini bisa keluar dari kepala saya lewat tulisan yang
sepik-sepiknya nyampah.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat
orang-orang yang bukan sampah untuk ga nyampah. Kalau ada sampah, mbok yo
disampu bareng-bareng. Bukan malah nambah kasih sampah. Mana yang solutif itu?
Kan kita cerdas. Kan kita Indonesia.
Tapi sampah-sampah ini adalah surat terbuka buat orang-orang
yang bukan anjing menggonggong untuk menunjukkan bahwa kita masih benar-benar
sebagai manusia utuh dengan integritasnya. Masih manusia, bukan anjing kok.
Selamat menikmati sampah-sampah.
Permulaan
pagi, 17 Oktober 2012
0 komentar: