Euforia Pemilu, Pencerdasan Politik Terabaikan
Adalah
hal yang sangat penting ketika kita menyoroti semakin besarnya persentase
masyarakat yang memilih golput pada pemilu 5 tahunan di negara ini. Pada pemilu
1999 tercatat 10% yang tidak menggunakan hak pilihnya. Pemilu 2004 meningkat
dua kali lipatnya sebesar 23,34%. Dan terakhir pada pemilu 2009 juga meningkat
dua kali lipatnya sebanyak 40%. Inilah yang dituturkan Gamawan Fauzi yang saya
kutip dari salah satu portal berita online.
Dalam
diskusi Ungkap Caleg (3/4) yang diadakan BEM KM Undip, Bapak Susilo Utomo,
panelis, memaparkan data yang menunjukkan mayoritas masyarakat menentukan
pilihannya karena faktor figuritas dan uang. Yang paling santer diberitakan
media, itulah yang dipilih masyarakat. Tidak peduli setidak rasional apapun.
Yang paling getol memberi uang saweran atau serangan fajar, dialah yang
dipilih.
Semua
sepakat bahwa Indonesia jika benar ingin sejahtera dan menjadi negara adidaya,
negara ini harus dipimpin oleh seorang yang mumpuni, memiliki visi dan gagasan
pasti, serta teruji. Demokrasi yang kita anut memberi ruang semacam kompetisi
untuk menjadi pemimpin negeri ini. Ini yang sedang kita hadapi di depan mata
tepat, Pemilu. Di depan sana sudah banyak orang mengantri dan menjajaki diri
untuk memimpin negeri ini.
Salah
satu fungsi partai politik adalah melakukan sosialisasi politik yang akan
membentuk sikap dan orientasi politik masyarakat. Dengan kata lain partai
politik juga memiliki tanggung jawab melaksanakan pencerdasan politik. Hanya
saja hal ini belum banyak dilakukan karena banyak partai politik yang
disibukkan dengan urusan pemilihan umum dan menyelesaikan konflik internal.
Partai politik juga belum mampu memberi suri tauladan bagi perilaku politik
yang etis dan sesuai dengan nilai budaya bangsa yang bermartabat.
Dan
pada gilirannya masyarakat jadi bulan-bulanan. Terjadi kegamangan di tengah
masyarakat. Yang selalu jadi makanan bagi masyarakat adalah berita-berita
negatif dunia politik negeri ini sehingga banyak kekecewaan muncul. Wajar jika
semakin banyak yang apatis.
Belum lagi sangat marak politik
pencitraan akhir-akhir ini. Lewat media-media yang dikuasai oleh satu atau
beberapa orang, sangat mudah mencitrakan pihak-pihak yang memiliki ambisi untuk
menguasai negeri ini. Yang paling laku adalah sosok spesial yang ‘suka blusukan’
dan turun langsung ke tengah masyarakat. Hal ini jelas terjadi sebab masyarakat
sangat merindukan pemimpin seperti ini. Pencitraan jelas boleh, tapi kalau
berlebihan dan mengenyampingkan sisi rasionalitas rasanya ini sudah masuk ke
dalam kategori pembohongan publik.
Masyarakat kita secara umum,
tertutama kalangan menengah ke bawah, masih terlalu lugu untuk bisa menyaring
segala informasi yang masuk. Maka, jadilah semua ditelan mentah-mentah dan
gampang disetir wacananya. Skarang lembaga survei semakin marak dan berjamuran.
Tentunya ini lahan yang sangat komersial, apalagi jelang pemilu. Tanpa mengurangi
kesantunan saya kepada semua lembaga survei, saya katakan disini amat besar
peluang terjadinya penyelewengan data sehingga lagi-lagi sangat mudah menyetir
wacana. Dan kita sangat mafhum bahwa negara ini meyakini bahwa kekuasaan di
negara ini dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka, apa jadinya jika
rakyat yang merupakan penguasa sah negara ini sangat mudah dikendalikan oleh
pihak-pihak tertentu?
Kembali pada bahasan sebelumnya
bahwa pencerdasan politik ini penting agar masyarakat tidak jadi bola yang
mudah digiring kemana pun perginya. Masyarakat harus mengerti tentang kondisi
riil hari ini. Masyarakat harus mampu memilah dan memilih secara rasional di
antara pilihan yang ada. Jangan sampai terbutakan hanya karena wacana media.
Pada kasus pemilu ini masyarakat
hendaknya mampu melihat mana pemimpin yang memang siap sebagai pemimpin,
lengkap dengan gagasannya. Bukan sekadar pencitraan lewat blusukan. Sebab blusukan
bukanlah prestasi, tapi sekadar kebiasaan baik yang amat jarang. Hendaknya pula
masyarakat mampu melihat mana pihak-pihak yang bersih dan profesional dalam
mengemban tugasnya.
Ketika kondisi hari ini seperti
penjabaran di atas dimana partai politik amat acuh dengan pencerdasan
masyarakat dan terkesan memanfaatkan keluguan masyarakat, serta media telah
kehilangan porsinya sebagai media netral lewat pencitraan lebay-nya, maka pencerdasan politik menjadi tanggung jawab siapa?
Tulisan ini hendak memaksa
pemerintah, parpol, dan media, melakukan pencerdasan politik yang mencerdaskan.
Lebih dari itu tulisan ini ingin mengetuk hati dan menggerak rasionalitas kita
untuk mampu melakukan satu dua hal demi terwujudnya masyarakat yang cerdas
dalam menentukan pilihan. Tidak disetir figuritas terlalu dalam dan uang
sepeser.
0 komentar: