TERHANGAT

Selamat datang, Sobat! Jangan malu-malu untuk baca, komentar, dan share ya. Semoga coret-coretan ini bisa bermanfaat ya. Salam kenal. :)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya) dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Jumat, 20 April 2012

Yang Kecil pun Juga Mengajarkan


“Ga bisa, Kak. Ini caranya gimana?”
Hahahaa…. Polos sekali anak-anak SMP itu. Kita dulu pasti juga begitu. Bangun pagi-pagi sekali—bagi yang bangun, yang gak bangun ya tetep molor.haha… Mandi, siap-siap sekolah, sarapan, pake sepatu, salaman bapak sama ibu. Berangkat pagi-pagi, jam setengah tujuh-an lah kira-kira—buat yang rajin kayak saya. Apalagi kalo pas jatah piket, jadi juru kunci kelas dah. Pagi-pagi udah duduk di depan koramil tempat angkot-angkot pada ngetem. Angkot paling pertama yang warna ijo cerah selalu jadi inceran. Musik remix, supir gila. Criiiiit, kanan. Criiiiiit, kiri. Hwuuuuuzzzz.. kenceng banget gila! Satu mobil angkot gitu bisa muat belasan anak. 3 sampe 4 orang naik di atas. Serem. Tapi seru… Lampuuung lampuuung… daerah lain lebih parah nih kyaknya.hahaa… [No rasis]
Eh kok jadi ngelantur ke masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu, tapi yang dulu janganlah berdulu. Krik…krikk…
Di atas itu tadi pertanyaan dari adik SMP di Gunung Pati ketika kita mengajarkan mereka tentang design untuk web dan game. Kata-katanya itu biasa aja. Tapi ekspresi, mimic wajah, dan cara ngomongnya, itu lho yang polos. Tatapan mata yang jujur, ada ketertarikan dan antusias. Inilah anak-anak. Kalau orang-orang seumuran kita? Nanti dulu nanti dulu… Ada maksud di balik senyum. Ada sesuatu di balik hadiah. Ada… kok jadi su’uzhan? Bukan. Cuma refleksi, semakin besar kepolosan itu semakin terkikis oleh banyaknya keinginan, ambisi, dan kepentingan. Kejujuran berganti kemunafikan. Kepolosan berganti keserakahan. Ketulusan berganti maksud lain. Bukan menyamakan semua orang atau menggeneralisasikan. Hanya saja melihat kenyataan ini benar-benar membuat saya dan anda—kita, risau, gelisah, dan galau; sebagai mahasiswa, sebagai manusia, pemilik nurani dan kebebasan dalam artian merdeka. Tentang kursi-kursi yang diperebutkan dan intrik serta oknum dibalik kursi yang diduduki bapak berambut klimis itu. Tentang aturan dan kebijakan yang rapi namun rapi pula kepentingan di dalamnya. Tentang kegalauan kita bersama. Titik.
Eh iya, ini dia hasil karya anak cewe-cewe SMP didikan saya—sok sip sekaleee.
Dari garis-garis di gambarnya tampak kelurusan niat dan kepolosannya. Padahal pake Corel Draw. Yang jelas anak-anak itu kalau diperhatikan sangat menginspirasi dan mengajarkan kita banyak hal tentang sesuatu yang dulu kita pegang tapi tanpa pernah tahu dan tentang sesuatu yang sekarang mulai hilang.
Saya jadi makin tertarik dengan dunia anak-anak. Mereka begitu bebas berekspresi. Senang ya dibilang senang, ga senang ya dibilang ga senang. So, what gitu loh. Mau ya dibilang mau, males ya dibilang males. Lari-larian sana-sini, kejar-kejaran, teriak-teriak, kadang nangis terisak. Sering juga mereka berantem-beranteman, ngambek-ngambekan, ‘enggak temenan, ah.’ Eh besoknya udah manggil-manggil di depan rumah ngajak main. Hahahaa… Lucu sekali kita dulu.
Makin jatuh cinta dengan anak kecil. Cuek bebek, yang penting seneng. Kotor-kotoran, ujan-ujanan, panas-panasan. Kulit nyampe item. Rambut sampe pirang kebakar matahari. Bau! Ingus kemana-mana. Di-elap-in dengan ujung lengan. Sruuutt.. Iiiih.. Ahahaaa… Bebas! Yang penting seneng!
Siapa yang ga pernah kecil? Siapa yang ga pernah ngeliat temen punya sesuatu atau mainan bar uterus ngerengek-rengek sama bapak buat beliin juga yang begitu? Setiap yang hidup pastilah melewati fase ini. Ga mungin enggak. Kita coba tengok alay. Eh salah, bukan ‘y’ tapi ‘m’(males ngapus, mending lanjut). Ralat: Kita coba tengok alam. Kembang sepatu di depan kelas SD yang pangkal bunganya dulu sering kita jadikan mainan yang ditempel-tempelkan ke hidung dulu, yang bunga merah-merah itu. Mulanya kuncup hijau kecil. Kecil, seperti anak-anak itu, kita dahulu. Lebih mulanya lagi, adalah bibit yang tumbuh di tanah, semakin besar, dan penyerbukan. Seperti itulah hidup. Ia adalah siklus yang tak bisa dilengkah seberapa keras pun usaha kita untuk melompati. Sunnatullahnya begitu. Siapapun.
Orang-orang besar itu. Founding fathers itu. Orang-orang kaya dan terkenal itu. Orang-orang cerdas, bersahaja, cendikiawan dan ilmuwan itu. Pun para orang-orang terbaik tabi’ut tabi’in, tabi’in, sahabat, hingga Sang Nabi pun, pernah kecil.
Sekali lagi ada teladan menarik dari anak-anak kecil itu. Yang TK, yang manja selalu diantar jemput sambil bawa kotak-kotak bekal. Yang SD, yang bau-bau, keringetan, dan ingus-ingusan. Yang SMP, yang mulai sok asik bawa-bawa gitar, mulai nge-band, dan puber-pubernya ABG. Yang SMA, yang meng-kakak dan mencoba mencari arti idealisme. Semakin kecil mereka semakin menginspirasi. Memberi teladan tentang kemerdekaan, kepolosan dan ketulusan, tentang kejernihan hati, tentang kesungguhan dan antusiasme, dan tentang keberanian.
Ingat, kita pernah kecil, maka sejarahnya milik kita. Ambil teladan dari prajurit-prajurit kecil itu.
Yang kecilpun juga mengajarkan, maka kita tak boleh diam. Menebar hikmah, memberi makna. Dari karya kita: bicara dan tindakan. Banyak hal, banyak jalan.

0 komentar: