Yang Kecil pun Juga Mengajarkan
“Ga bisa, Kak. Ini caranya gimana?”
Hahahaa…. Polos sekali anak-anak SMP itu. Kita dulu pasti
juga begitu. Bangun pagi-pagi sekali—bagi yang bangun, yang gak bangun ya tetep
molor.haha… Mandi, siap-siap sekolah, sarapan, pake sepatu, salaman bapak sama
ibu. Berangkat pagi-pagi, jam setengah tujuh-an lah kira-kira—buat yang rajin
kayak saya. Apalagi kalo pas jatah piket, jadi juru kunci kelas dah. Pagi-pagi
udah duduk di depan koramil tempat angkot-angkot pada ngetem. Angkot paling
pertama yang warna ijo cerah selalu jadi inceran. Musik remix, supir gila.
Criiiiit, kanan. Criiiiiit, kiri. Hwuuuuuzzzz.. kenceng banget gila! Satu mobil
angkot gitu bisa muat belasan anak. 3 sampe 4 orang naik di atas. Serem. Tapi seru…
Lampuuung lampuuung… daerah lain lebih parah nih kyaknya.hahaa… [No rasis]
Eh kok jadi ngelantur ke masa lalu. Yang lalu biarlah
berlalu, tapi yang dulu janganlah berdulu. Krik…krikk…
Di atas itu tadi pertanyaan dari adik SMP di Gunung Pati
ketika kita mengajarkan mereka tentang design untuk web dan game. Kata-katanya
itu biasa aja. Tapi ekspresi, mimic wajah, dan cara ngomongnya, itu lho yang
polos. Tatapan mata yang jujur, ada ketertarikan dan antusias. Inilah
anak-anak. Kalau orang-orang seumuran kita? Nanti dulu nanti dulu… Ada maksud
di balik senyum. Ada sesuatu di balik hadiah. Ada… kok jadi su’uzhan? Bukan.
Cuma refleksi, semakin besar kepolosan itu semakin terkikis oleh banyaknya
keinginan, ambisi, dan kepentingan. Kejujuran berganti kemunafikan. Kepolosan
berganti keserakahan. Ketulusan berganti maksud lain. Bukan menyamakan semua
orang atau menggeneralisasikan. Hanya saja melihat kenyataan ini benar-benar
membuat saya dan anda—kita, risau, gelisah, dan galau; sebagai mahasiswa,
sebagai manusia, pemilik nurani dan kebebasan dalam artian merdeka. Tentang kursi-kursi
yang diperebutkan dan intrik serta oknum dibalik kursi yang diduduki bapak
berambut klimis itu. Tentang aturan dan kebijakan yang rapi namun rapi pula
kepentingan di dalamnya. Tentang kegalauan kita bersama. Titik.
Eh iya, ini dia hasil karya anak cewe-cewe SMP didikan saya—sok
sip sekaleee.
Dari garis-garis di gambarnya tampak kelurusan niat dan
kepolosannya. Padahal pake Corel Draw. Yang jelas anak-anak itu kalau
diperhatikan sangat menginspirasi dan mengajarkan kita banyak hal tentang
sesuatu yang dulu kita pegang tapi tanpa pernah tahu dan tentang sesuatu yang
sekarang mulai hilang.
Saya jadi makin tertarik dengan dunia anak-anak. Mereka
begitu bebas berekspresi. Senang ya dibilang senang, ga senang ya dibilang ga
senang. So, what gitu loh. Mau ya dibilang mau, males ya dibilang males. Lari-larian
sana-sini, kejar-kejaran, teriak-teriak, kadang nangis terisak. Sering juga
mereka berantem-beranteman, ngambek-ngambekan, ‘enggak temenan, ah.’ Eh
besoknya udah manggil-manggil di depan rumah ngajak main. Hahahaa… Lucu sekali
kita dulu.
Makin jatuh cinta dengan anak kecil. Cuek bebek, yang penting seneng. Kotor-kotoran, ujan-ujanan, panas-panasan. Kulit nyampe item. Rambut sampe pirang kebakar matahari. Bau! Ingus kemana-mana. Di-elap-in dengan ujung lengan. Sruuutt.. Iiiih.. Ahahaaa… Bebas! Yang penting seneng!
Makin jatuh cinta dengan anak kecil. Cuek bebek, yang penting seneng. Kotor-kotoran, ujan-ujanan, panas-panasan. Kulit nyampe item. Rambut sampe pirang kebakar matahari. Bau! Ingus kemana-mana. Di-elap-in dengan ujung lengan. Sruuutt.. Iiiih.. Ahahaaa… Bebas! Yang penting seneng!
Siapa yang ga pernah kecil? Siapa yang ga pernah ngeliat
temen punya sesuatu atau mainan bar uterus ngerengek-rengek sama bapak buat
beliin juga yang begitu? Setiap yang hidup pastilah melewati fase ini. Ga
mungin enggak. Kita coba tengok alay. Eh salah, bukan ‘y’ tapi ‘m’(males
ngapus, mending lanjut). Ralat: Kita coba tengok alam. Kembang sepatu di depan
kelas SD yang pangkal bunganya dulu sering kita jadikan mainan yang ditempel-tempelkan
ke hidung dulu, yang bunga merah-merah itu. Mulanya kuncup hijau kecil. Kecil,
seperti anak-anak itu, kita dahulu. Lebih mulanya lagi, adalah bibit yang
tumbuh di tanah, semakin besar, dan penyerbukan. Seperti itulah hidup. Ia adalah
siklus yang tak bisa dilengkah seberapa keras pun usaha kita untuk melompati. Sunnatullahnya
begitu. Siapapun.
Orang-orang besar itu. Founding fathers itu. Orang-orang
kaya dan terkenal itu. Orang-orang cerdas, bersahaja, cendikiawan dan ilmuwan
itu. Pun para orang-orang terbaik tabi’ut tabi’in, tabi’in, sahabat, hingga
Sang Nabi pun, pernah kecil.
Sekali lagi ada teladan menarik dari anak-anak kecil itu.
Yang TK, yang manja selalu diantar jemput sambil bawa kotak-kotak bekal. Yang SD,
yang bau-bau, keringetan, dan ingus-ingusan. Yang SMP, yang mulai sok asik
bawa-bawa gitar, mulai nge-band, dan puber-pubernya ABG. Yang SMA, yang
meng-kakak dan mencoba mencari arti idealisme. Semakin kecil mereka semakin menginspirasi.
Memberi teladan tentang kemerdekaan, kepolosan dan ketulusan, tentang
kejernihan hati, tentang kesungguhan dan antusiasme, dan tentang keberanian.
Ingat, kita pernah kecil, maka sejarahnya milik kita. Ambil
teladan dari prajurit-prajurit kecil itu.
Yang kecilpun juga mengajarkan, maka kita tak boleh diam. Menebar
hikmah, memberi makna. Dari karya kita: bicara dan tindakan. Banyak hal, banyak
jalan.
0 komentar: