TERHANGAT

Selamat datang, Sobat! Jangan malu-malu untuk baca, komentar, dan share ya. Semoga coret-coretan ini bisa bermanfaat ya. Salam kenal. :)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya) dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Rabu, 18 April 2012

Kecil, bulet, pesek, kotor, dan bau; yang tinggal kenangan


“Ooopiiikk…. Ooopiiikk…!”
“Aapaaa…?”
“Maeen yook!”
atau
“Beliiiiiikkk…. Beeliiiikkk….”
atau
“Leeekkkk, tunggu Lek…”
“Leekkkk tuku Leeekkk…”
“Maang tunggu Mang…”
atau
Toet-toet, Gulali, Es Tungtung, Es Balon, Cilok, Es Lek Diran sebungkus Rp. 100,00 Perak, Nasi Mak Mis, Opak colek sambel, Es Payung Lek Barjo, dan seabrek pernak-pernik lainnya di kala kecil dulu….
Hahahaaaaa…. Barangkali kita akan menyeringai kecil ketika mengingat hal-hal yang bisa jadi sudah lama kita tinggalkan di atas. Jujur saja, seperti itu saya dahulunya ketika kanak-kanak. Pendek, gendut, bulet, kriting, putih, rambut pirang. Plus idung pesek. Hahahaaa…. Pastinya kawan-kawan semua punya cerita masing-masing yang tak kalah serunya. Dan saya percaya itu ga akan bisa dilupakan. Tentang bagaimana kita nangis pulang ke rumah kemudian mengadu ke ibu kalau ada teman yang nakal. Tentang bagaimana kita begitu antusiasnya terhadap suatu hal atau permainan yang baru dan menurut konsensus dunia anak-anak pada waktu itu hal atau permainan tersebut merupakan sesuatu yang harus digeluti tiap harinya. Tentang bagaimana kita sangat kuat egonya hingga pernah, sering, atau bahkan selalu saja ribut dengan teman sepermainan, meski hanya gara-gara rebutan atau dulu-duluan, atau aku-akuan barang, atau bahasa saya dulu cup-cupan. Tentang bagaimana kita dulu mengendap-endap keluar tanpa diketahui orang rumah menuju stier, tanggul, irigasi, atau galian, untuk mandi di bawah sinar mentari yang menyengat kulit yang memang sudah hitam karena biasa main bola atau main kasti atau main petak umpet di lapangan kecil di depan rumah teman.
Itu aku dulu, mungkin kau juga, Kawan.
Tidak pernah habisnya kalau mau mengenang masa-masa dulu, selalu ada cerita yang seru. Pagi-pagi di kelas kala jam istirahat, si Herman selalu mengawali percakapan dengan cerita filem semalam, kemudian yang lain juga memberi kesan yang sangat antusias. Atau ada si Dimas yang selalu membawa hal-hal baru ke sekolah, bisa mainan baru, atau apa sajalah yang baru, berbeda, dan belum dimiliki anak-anak yang lain. Kemudian pamer—lebih tepatnya mendemonstrasikan di depan kawan-kawan yang menyimak dengan antusias. Bagus sih itu kataku, sebagai bahan untuk menambah wawasan buat anak-anak lainnya.
Polos dan jujur, itulah kita dulu. Saking polosnya, iklan-iklan di tivi selalu saja dituruti. Parahnya sampai begitu antusiasnya memperhatikan iklan di tivi, bahkan sampai hapal tiap kata dan intonasi dari iklan tersebut. Saking polosnya, setiap yang baru dan menarik selalu saja menjadi perbincangan menarik dan booming. Aku ingat dulu ketika SD aku dan kawan begitu sekali hobi memotokopi gambar-gambar poster Dragonball, Digimon, dan lain sebagainya. Terus dikoleksi. Hey, itu kan hitam putih. Pada saat itu harga fotokopi sekitar Rp 100,00 perak perlembar. Berlembar-lembar kita habiskan. “Mas, fotokopi bolak-balik ya…” “Mas, saya tolong ditebalkan ya hitamnya…”… yang kalau kita bandingkan dengan harga poster tersebut yang notabene berwarna dan lebih menarik malah lebih besar budget untuk memotokopi. Hahahaa.. entah apa motif di balik ini semua. Yang jelas ketika itu kami tertarik dengan yang namanya hasil fotokopi. Hampir setiap hari sepulang sekolah toko fotokopi di depan pasar selalu sesak dipenuhi teman-temanku yang mengantree. Aku pun ikut.
Lagi-lagi memang amat polosnya kita dulu. Dimas lagi Dimas lagi. Dia membawa sepeda baru yang ada per nya ke sekolah. Kalau naik sepeda itu jadi terasa empuk. Ada rem cakramnya pula, tampak seperti sepeda motor. Setelah itu beramai-ramai anak-anak yang lain minta dibelikan ke bapaknya. Aku tidak, cukup aku bisa pinjam dan nebeng sajalah. Hehee…
Hemmm…. Cukuplah preface di atas…. Panjang kali agaknya… Ah tak apa… Syukur-syukur bisa membantu kita bernostalgila… Tulisan ini sebenarnya mencoba menggiring teman-teman pembaca kepada kegelisahan saya terhadap realitas sosial yang kita hadapi hari ini, utamanya anak-anak hari ini.
Saya melihat pada setiap generasinya dari tahun ke tahun terjadi perubahan yang cukup serius. Terutama pada budayanya. Dulu saya sering bermain bola di depan rumah tetangga sampai-sampai bola sering menyasar ke kaca nako jendela. Sering juga bermain kasti yang bolanya juga sering bertamu ke dalam rumah. Main petak umpet, gobak sodor, kelereng, main karet, ingkling/demprak, beragamlah. Dan sekarang saya lihat permainan-permainan itu menghilang.
Jujur, taka da penyesalan untuk masa kecil saya. Tak ada kata kurang bahagia. Malahan seru sekali! Nah, kalau dikaitkan dengan kenyataan hari ini lantas bagaimana nasib anak-anak jaman sekarang? Mereka secara usia tetaplah kanak-kanak, mungkin secara  perkembangan psikis juga anak-anak. Tapi yang saya sesalkan adalah mereka kehilangan sebagian atau bahkan seluruh momen yang penting kalau kata saya. Penting untuk perkembangan kreativitas dan intelegensi mereka.
Perlahan permainan semacam gundu/kelerang tergantikan oleh Tamiya—mobil-mobilan. Play Station dengan beragam permainannya, Memang lebih seru. Tapi itu hanya membuat adik-adik saya duduk mantengin monitor dan PSnya berjam-jam. Dia menjadi lupa dengan permainan lain yang lebih seru—buat saya sih lebih seru. Dulu, saya dan kawan-kawan mencuri-curi kesempatan untuk mandi dan berenang di tanggul/galian/stier/irigasi—meskipun saya Cuma jadi penonton setia.hehee…. Sekarang, tinggal minta uang ke ibu, terus pergi ke water boom atau kolam renang. Sekilas lebih aman dan bersih. Tapi bukannya berani kotor itu baik? Tak hanya itu, tantangannya hilang. Keberanian melawan arus di air yang beriak dan kecoklat-coklatan, sambil terkadang ada ‘sesuatu’ yang lewat dan membuat kami segera berhamburan keluar dengan gelak dan tawa yang riuh rendah menyapu keheningan di tanggul itu. CS, game online, internet, semakin merebak, merenggut waktu anak-anak dari permainan-permainan kita tempo dulu. Sepintas asyik dan seperti mengasah otak. Tapi sesungguhnya seusia itu lebih butuh kombinasi dari perkembangan fisik dan psikis. Kematangan emosi, ketangkasan fisik, kelincahan, dan lain sebagainya.
TPA? Masih ingat kan kita? Ketika dulu sepulang sekolah kita sholat, makan, naro tas, kemudian mengenakan baju biru muda, atau cokelat, atau hijau, sesuai seragam TPAnya, dan beranjak pergi ke TPA yang ada di TK ABA, atau di Al-Azhar, atau Al-Hidayah, atau yang lainnya. Kita dulu masih kecil-kecil, pendek, bulet, gemuk, pesek, dan bau. Jalan rame-rame menuju TPA, tentunya dengan terpaksa disuruh ibu, atau dengan polosnya keikhlasan kita dulu untuk belajar baca Al-Qur’an. Ya, kitab suci kita. Kitab cinta dari Rabb kita.
Hari ini masihkah TPA-TPA di kala sore itu masih ramai? Atau surau-surau itu masih ramai dengan tingkah polah anak-anak di depan pak haji yang membawa rotan kecil—bukan buat mukul, Cuma buat gaya aja.hehee…. yang di awalnya selalu dibaca dengan irama dan tempo yang khas:
Bismillaahirrahmaanirrahiim… radhiitubillaahirabba wabil-islaamidina wabimuhammadinnabiyyawwarasuula… rabbidzitni ‘ilma, warzuqni fahma…
Kemudian ditutup lagi dengan irama dan tempo yang khas:
Bissmillaahirrahmaanirrahiim… wal’ashr, innal-insaana lafii khusrin illalladziina aamanu wa’amilushshalihati watawashshaubilhaq watawashshaubishshabr…
terus dengan riang berhamburan menuju rumah masing-masing…
Semalam saya berdiskusi dengan teman saya, dia bercerita tentang TPA di kampung halamannya yang punah. Mungkin begitu juga di daerah lainnya. Berbagai macam aktivitas lainnya ternyata telah menyedot terlalu banyak tenaga, biaya, dan waktu anak-anak jaman sekarang. Bimbel, les, tambahan belajar. Ini yang sekarang muncul menyaingi pamor TPA di kalangan anak-anak. Padahal, ruh anak-anak lebih utama untuk diisi dengan mengenal siapa Rabbnya, siapa Nabi dan Rasul-Nya, dan bagaimana agamanya, supaya sejahtera hidupnya di dunia dan akhirat nanti, supaya tidak pincang akal dan ilmunya.
Dulu ketika SD, masih polos. Kata dan perilaku ‘pacaran’ mungkin kita hanya dengar dari tivi. Selebihnya dalam kehidupan kita merasa tabu. Dan itu sepertinya hanya pantas untuk kakak kita yang sudah SMA. Tapi di generasi saya, saya benar-benar shock, ketika kelas 1 SMP sudah banyak teman-teman yang punya pacar. Apel. Dan bla-bla. Dan saya waktu itu berpikir, oh pacaran itu beneran ada ya.
Dan sekarang apakah ini kenyataan pahit atau kenyataan manis karena anak SD saja sudah bisa romantis-romantisan, anak SD pacaran, Guys! Hellooooowww…. Gue aja ga laku-laku, terus harus gebet anak SD gtu biar laku? OMG!
Tapi permasalahannya adalah lagi-lagi ke arah sosiologinya—maap bgt ni buat yang anak sosiologi kalo istilah ato teori di tulisan ini ada yang salah.heheee…. Nilai, norma, budaya, ketiganya berubah. Drastis. Dan akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak-anak yang nantinya akan memimpin peradaban. So how?

#dalam renungan malam sampai pagi hari

0 komentar: