Kecil, bulet, pesek, kotor, dan bau; yang tinggal kenangan
“Ooopiiikk…. Ooopiiikk…!”
“Aapaaa…?”
“Maeen yook!”
atau
“Beliiiiiikkk…. Beeliiiikkk….”
atau
“Leeekkkk, tunggu Lek…”
“Leekkkk tuku Leeekkk…”
“Maang tunggu Mang…”
atau
Toet-toet, Gulali, Es Tungtung, Es Balon, Cilok, Es Lek
Diran sebungkus Rp. 100,00 Perak, Nasi Mak Mis, Opak colek sambel, Es Payung
Lek Barjo, dan seabrek pernak-pernik lainnya di kala kecil dulu….
Hahahaaaaa…. Barangkali kita akan menyeringai kecil ketika
mengingat hal-hal yang bisa jadi sudah lama kita tinggalkan di atas. Jujur
saja, seperti itu saya dahulunya ketika kanak-kanak. Pendek, gendut, bulet,
kriting, putih, rambut pirang. Plus idung pesek. Hahahaaa…. Pastinya
kawan-kawan semua punya cerita masing-masing yang tak kalah serunya. Dan saya
percaya itu ga akan bisa dilupakan. Tentang bagaimana kita nangis pulang ke
rumah kemudian mengadu ke ibu kalau ada teman yang nakal. Tentang bagaimana
kita begitu antusiasnya terhadap suatu hal atau permainan yang baru dan menurut
konsensus dunia anak-anak pada waktu itu hal atau permainan tersebut merupakan
sesuatu yang harus digeluti tiap harinya. Tentang bagaimana kita sangat kuat
egonya hingga pernah, sering, atau bahkan selalu saja ribut dengan teman
sepermainan, meski hanya gara-gara rebutan atau dulu-duluan, atau aku-akuan
barang, atau bahasa saya dulu cup-cupan. Tentang bagaimana kita dulu
mengendap-endap keluar tanpa diketahui orang rumah menuju stier, tanggul,
irigasi, atau galian, untuk mandi di bawah sinar mentari yang menyengat kulit yang
memang sudah hitam karena biasa main bola atau main kasti atau main petak umpet
di lapangan kecil di depan rumah teman.
Itu aku dulu, mungkin kau juga, Kawan.
Tidak pernah habisnya kalau mau mengenang masa-masa dulu,
selalu ada cerita yang seru. Pagi-pagi di kelas kala jam istirahat, si Herman
selalu mengawali percakapan dengan cerita filem semalam, kemudian yang lain
juga memberi kesan yang sangat antusias. Atau ada si Dimas yang selalu membawa
hal-hal baru ke sekolah, bisa mainan baru, atau apa sajalah yang baru, berbeda,
dan belum dimiliki anak-anak yang lain. Kemudian pamer—lebih tepatnya
mendemonstrasikan di depan kawan-kawan yang menyimak dengan antusias. Bagus sih
itu kataku, sebagai bahan untuk menambah wawasan buat anak-anak lainnya.
Polos dan jujur, itulah kita dulu. Saking polosnya,
iklan-iklan di tivi selalu saja dituruti. Parahnya sampai begitu antusiasnya
memperhatikan iklan di tivi, bahkan sampai hapal tiap kata dan intonasi dari
iklan tersebut. Saking polosnya, setiap yang baru dan menarik selalu saja
menjadi perbincangan menarik dan booming. Aku ingat dulu ketika SD aku dan
kawan begitu sekali hobi memotokopi gambar-gambar poster Dragonball, Digimon,
dan lain sebagainya. Terus dikoleksi. Hey, itu kan hitam putih. Pada saat itu
harga fotokopi sekitar Rp 100,00 perak perlembar. Berlembar-lembar kita
habiskan. “Mas, fotokopi bolak-balik ya…” “Mas, saya tolong ditebalkan ya
hitamnya…”… yang kalau kita bandingkan dengan harga poster tersebut yang
notabene berwarna dan lebih menarik malah lebih besar budget untuk memotokopi.
Hahahaa.. entah apa motif di balik ini semua. Yang jelas ketika itu kami
tertarik dengan yang namanya hasil fotokopi. Hampir setiap hari sepulang
sekolah toko fotokopi di depan pasar selalu sesak dipenuhi teman-temanku yang mengantree.
Aku pun ikut.
Lagi-lagi memang amat polosnya kita dulu. Dimas lagi Dimas
lagi. Dia membawa sepeda baru yang ada per nya ke sekolah. Kalau naik sepeda
itu jadi terasa empuk. Ada rem cakramnya pula, tampak seperti sepeda motor.
Setelah itu beramai-ramai anak-anak yang lain minta dibelikan ke bapaknya. Aku
tidak, cukup aku bisa pinjam dan nebeng sajalah. Hehee…
Hemmm…. Cukuplah preface di atas…. Panjang kali agaknya… Ah
tak apa… Syukur-syukur bisa membantu kita bernostalgila… Tulisan ini sebenarnya
mencoba menggiring teman-teman pembaca kepada kegelisahan saya terhadap
realitas sosial yang kita hadapi hari ini, utamanya anak-anak hari ini.
Saya melihat pada setiap generasinya dari tahun ke tahun
terjadi perubahan yang cukup serius. Terutama pada budayanya. Dulu saya sering
bermain bola di depan rumah tetangga sampai-sampai bola sering menyasar ke kaca
nako jendela. Sering juga bermain kasti yang bolanya juga sering bertamu ke
dalam rumah. Main petak umpet, gobak sodor, kelereng, main karet, ingkling/demprak,
beragamlah. Dan sekarang saya lihat permainan-permainan itu menghilang.
Jujur, taka da penyesalan untuk masa kecil saya. Tak ada
kata kurang bahagia. Malahan seru sekali! Nah, kalau dikaitkan dengan kenyataan
hari ini lantas bagaimana nasib anak-anak jaman sekarang? Mereka secara usia
tetaplah kanak-kanak, mungkin secara
perkembangan psikis juga anak-anak. Tapi yang saya sesalkan adalah
mereka kehilangan sebagian atau bahkan seluruh momen yang penting kalau kata
saya. Penting untuk perkembangan kreativitas dan intelegensi mereka.
Perlahan permainan semacam gundu/kelerang tergantikan oleh
Tamiya—mobil-mobilan. Play Station dengan beragam permainannya, Memang lebih
seru. Tapi itu hanya membuat adik-adik saya duduk mantengin monitor dan PSnya
berjam-jam. Dia menjadi lupa dengan permainan lain yang lebih seru—buat saya
sih lebih seru. Dulu, saya dan kawan-kawan mencuri-curi kesempatan untuk mandi
dan berenang di tanggul/galian/stier/irigasi—meskipun saya Cuma jadi penonton
setia.hehee…. Sekarang, tinggal minta uang ke ibu, terus pergi ke water boom
atau kolam renang. Sekilas lebih aman dan bersih. Tapi bukannya berani kotor
itu baik? Tak hanya itu, tantangannya hilang. Keberanian melawan arus di air
yang beriak dan kecoklat-coklatan, sambil terkadang ada ‘sesuatu’ yang lewat
dan membuat kami segera berhamburan keluar dengan gelak dan tawa yang riuh
rendah menyapu keheningan di tanggul itu. CS, game online, internet, semakin
merebak, merenggut waktu anak-anak dari permainan-permainan kita tempo dulu.
Sepintas asyik dan seperti mengasah otak. Tapi sesungguhnya seusia itu lebih
butuh kombinasi dari perkembangan fisik dan psikis. Kematangan emosi,
ketangkasan fisik, kelincahan, dan lain sebagainya.
TPA? Masih ingat kan kita? Ketika dulu sepulang sekolah kita
sholat, makan, naro tas, kemudian mengenakan baju biru muda, atau cokelat, atau
hijau, sesuai seragam TPAnya, dan beranjak pergi ke TPA yang ada di TK ABA,
atau di Al-Azhar, atau Al-Hidayah, atau yang lainnya. Kita dulu masih
kecil-kecil, pendek, bulet, gemuk, pesek, dan bau. Jalan rame-rame menuju TPA,
tentunya dengan terpaksa disuruh ibu, atau dengan polosnya keikhlasan kita dulu
untuk belajar baca Al-Qur’an. Ya, kitab suci kita. Kitab cinta dari Rabb kita.
Hari ini masihkah TPA-TPA di kala sore itu masih ramai? Atau
surau-surau itu masih ramai dengan tingkah polah anak-anak di depan pak haji
yang membawa rotan kecil—bukan buat mukul, Cuma buat gaya aja.hehee…. yang di
awalnya selalu dibaca dengan irama dan tempo yang khas:
Bismillaahirrahmaanirrahiim…
radhiitubillaahirabba wabil-islaamidina wabimuhammadinnabiyyawwarasuula…
rabbidzitni ‘ilma, warzuqni fahma…
Kemudian ditutup lagi dengan irama dan tempo yang khas:
Bissmillaahirrahmaanirrahiim…
wal’ashr, innal-insaana lafii khusrin illalladziina aamanu wa’amilushshalihati
watawashshaubilhaq watawashshaubishshabr…
terus dengan riang berhamburan menuju rumah masing-masing…
terus dengan riang berhamburan menuju rumah masing-masing…
Semalam saya berdiskusi dengan teman saya, dia bercerita
tentang TPA di kampung halamannya yang punah. Mungkin begitu juga di daerah
lainnya. Berbagai macam aktivitas lainnya ternyata telah menyedot terlalu
banyak tenaga, biaya, dan waktu anak-anak jaman sekarang. Bimbel, les, tambahan
belajar. Ini yang sekarang muncul menyaingi pamor TPA di kalangan anak-anak.
Padahal, ruh anak-anak lebih utama untuk diisi dengan mengenal siapa Rabbnya,
siapa Nabi dan Rasul-Nya, dan bagaimana agamanya, supaya sejahtera hidupnya di
dunia dan akhirat nanti, supaya tidak pincang akal dan ilmunya.
Dulu ketika SD, masih polos. Kata dan perilaku ‘pacaran’
mungkin kita hanya dengar dari tivi. Selebihnya dalam kehidupan kita merasa
tabu. Dan itu sepertinya hanya pantas untuk kakak kita yang sudah SMA. Tapi di
generasi saya, saya benar-benar shock, ketika kelas 1 SMP sudah banyak
teman-teman yang punya pacar. Apel. Dan bla-bla. Dan saya waktu itu berpikir, oh pacaran itu beneran ada ya.
Dan sekarang apakah ini kenyataan pahit atau kenyataan manis
karena anak SD saja sudah bisa romantis-romantisan, anak SD pacaran, Guys!
Hellooooowww…. Gue aja ga laku-laku, terus harus gebet anak SD gtu biar laku?
OMG!
Tapi permasalahannya adalah lagi-lagi ke arah
sosiologinya—maap bgt ni buat yang anak sosiologi kalo istilah ato teori di
tulisan ini ada yang salah.heheee…. Nilai, norma, budaya, ketiganya berubah.
Drastis. Dan akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak-anak yang
nantinya akan memimpin peradaban. So how?
#dalam renungan malam sampai pagi hari
0 komentar: